Energi dan Kita Pasca-2019
Tiga bulan belakangan ini kita disuguhi berita menggembirakan di sektor energi. Pertama, penandatanganan head of agreement pengembangan lapangan Gas Abadi Blok Masela, lepas pantai Maluku, antara Pemerintah Indonesia—melalui SKK Migas—dan Inpex Corporation. Pengembangan hulu migas ini diharapkan memberikan tambahan gas bumi setara 10,5 juta ton per tahun mulai 2027.
Yang kedua, tim Teknologi Reaksi dan Katalis Kimia (TRKK) ITB—setelah memulai riset pada 2010—berhasil membuat dan melakukan uji coba temuan Katalis Merah Putih untuk mempercepat dan mengarahkan reaksi proses minyak sawit menjadi bahan bakar nonfosil kualitas tinggi setara diesel DEX, bensin Pertamax 98, atau avtur.
Sementara itu, pada kesempatan lain Presiden Jokowi menyampaikan kegalauan terkait lambannya pembangunan kilang minyak dan petrokimia dalam empat tahun terakhir.
Perkembangan kilang 2015-2019
Keprihatinan Presiden bisa jadi didasarkan pada laporan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Sebagaimana dimuat dan dapat dibaca oleh publik di laman https://kppip.go.id/proyek-prioritas/minyak-gas/—maka proyek kilang baru Bontang dan Tuban serta revitalisasi lima kilang (refinery development master plant/RDMP), yakni Dumai, Plaju, Balongan, Cilacap, dan Balikpapan, yang dirintis sejak Desember 2015, masih mengalami kendala.
Padahal, target kapasitas sudah memperhitungkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) hingga sepuluh tahun mendatang yang mencapai 2,1 juta barel per hari. Jumlah tersebut bakal berasal dari Bontang dan Tuban, masing-masing 300.000 barel per hari serta Proyek RDMP dengan sasaran 150 persen dari kapasitas terpasang atau menjadi 1,5 juta barel per hari.
Meski Pertamina sudah beroleh mitra strategis, proyek berskala investasi total senilai Rp 639,54 triliun atau 44,7 miliar dollar AS menghadapi tantangan utama: model bisnis (business model), pasokan bahan baku minyak mentah, dan pendanaan.
Kapasitas produksi hulu minyak Indonesia, yang 700.000 barel sehari, tentunya tak mencukupi kebutuhan kilang yang tiga kali lipat besarnya. Jika produksi minyak ExxonMobil Cepu—sekarang sekitar 220.000 barel sehari, berkurang drastis mulai 2022 , maka impor minyak mentah akan melonjak di atas 1,4 juta barel sehari saat semua proyek strategis nasional kilang minyak terbangun.
Kilang minyak serta umumnya gerai penjualan bahan bakar merupakan bisnis terintegrasi hulu-hilir dari korporasi migas.
Kilang minyak serta umumnya gerai penjualan bahan bakar merupakan bisnis terintegrasi hulu-hilir dari korporasi migas.
Jika dua pertiga pasokan minyak mentah diimpor (dalam dollar AS) dengan patokan harga pasar internasional, sementara sebagian besar dijual (dalam rupiah) bersubsidi di dalam negeri, maka secara makro dapat berdampak pada pengurasan devisa. Pun, secara mikro bisa sulit beroleh pendanaan mengingat tipisnya margin keuntungan bisnis kilang.
Bisa dimengerti jika rundingan antarmitra—contohnya ARAMCO dan Pertamina—bakal alot seperti yang terjadi sekarang ini. Tak mustahil yang di atas kertas bagus, pada level eksekusi kemudian mandek.
Terobosan nonkonvensional
Pada awal pemerintahan, tahun 2015, Presiden Jokowi sudah membuat terobosan luar biasa ketika menandatangani peraturan pemerintah tentang penghimpunan dana dan pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit. Kebijakan ini bertujuan ganda, mengerek harga pasar minyak sawit yang merosot dan sekaligus menyerap surplus produksi minyak sawit—di atas 40 juta ton setahun—sebagian menjadi BBM nonfosil.
Tim Nasional Bahan Bakar Nabati (Timnas BBN), tahun 2008 memetakan potensi pembangunan kilang BBM Non-Fosil berkapasitas 300.000 barel sehari yang bahan bakunya dipasok dari berbagai minyak nabati—termasuk sawit—sekitar 18 juta ton per tahun.
Di samping itu, Timnas BBN juga menghitung potensi kilang BBM 300.000 barel sehari berbahan baku batubara 60-an juta ton setahun (sumber ESDM: produksi batubara Indonesia 489 juta dan konsumsi domestik 115 juta ton). Impor elpiji, berdasarkan catatan Kementerian ESDM tahun 2017 sebesar 5 juta ton setahun dapat ditutup dari kilang DME (dimethyl ether sebagai substitusi elpiji) berasal dari gasifikasi batubara sebanyak 15 juta ton setahun.
Langkah-langkah non-konvensional itu kiranya dapat menjadi resep manjur guna mengobati penyakit akut energi kita sehingga tak setiap kali kita diguncang oleh kenaikan harga bahan baku pasokan kilang minyak, defisit transaksi berjalan yang didominasi impor migas, pelemahan rupiah, serta membengkaknya subsidi bahan bakar. Merumuskan kembali model bisnis kilang secara menyeluruh menjadi suatu keharusan. Intinya, bagaimana membangun proyek prioritas nasional ini terwujud dan berkelanjutan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar