Bahaya
Laten Intoleransi
Donny Gahral Adian ; Dosen Filsafat Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
02 Juni
2018
Intoleransi adalah hulu terorisme.
Jarak antara mereka bisa dibilang hanya setarikan napas. Namun, kita sering
menganggap enteng intoleransi. Intoleransi kita anggap habitus segelintir
orang. Jika kemudian sikap itu menjadi masif, itu hanya karena momentum dan
euforia spasio-temporal belaka.
Sementara, kita tersengat begitu
menyaksikan dinamika di media sosial. Banyak grup WhatsApp pecah berantakan
karena perbedaan pandangan dan keyakinan. Perpecahan dan konflik memang hakikat politik.
Namun, politik merupakan konflik
yang terkelola dengan baik dan terjadwal. Sementara, perpecahan akibat
intoleransi bisa menjadi liar dan mengarah pada segregasi yang membahayakan
hidup bersama.
Intoleransi
Intoleransi memang tidak bisa
serta merta agresif dan merusak. Dia adalah sikap yang bersembunyi dalam
keseharian manusia yang banal. Mulai dari penolakan untuk mengucapkan selamat
hari raya terhadap mereka yang tak seiman. Protes terhadap terpilihnya ketua
RT yang berbeda keyakinan. Keluar dari group WhatsApp hanya karena salah satu
anggota posting artikel tentang pluralisme. Dan masih banyak yang lainnya.
Kita hidup di kerimbunan
intoleransi tanpa sadar daya rusaknya. Paling banter kita menggerutu dan memberi
sederet label konyol pada kaum intoleran. Intoleransi dihadapi dengan canda
dan satir. Atau, kita membombardirnya dengan sederet argumentasi rasional.
Padahal intoleransi adalah
ideologi yang menggalang afeksi kolektif bukan kognisi. Ini letak persoalan
sesungguhnya. Kita sedang menghadapi ideologi afektif yang tidak mempan
argumentasi rasional. Intoleransi menggalang dan memobilisasi emosi komunal.
Artinya, dia semakin kokoh saat dilukai, dicemooh dan diremehkan.
Jargon-jargon kemajemukan mungkin
tercerna masyarakat akal sehat namun daya mobilisasi afektifnya tidak sekuat
jargon intoleran. Saya teringat saat Hittler berkampanye anti semitisme.
Secara teatrikal dia berpidato di depan gudang milik Yahudi. Hittler berkata
lantang, “Siapa selama ini yang mengisap kekayaan bangsa Jerman?”.
Dia tidak perlu menjelaskan
panjang lebar soal dominasi Yahudi dalam perekonomian Jerman. Dia cukup
menyentuh emosi khalayak yang sedang galau dan butuh biang keladi. Cukup itu
saja. Namun, mobilisasi yang terjadi kemudian di luar bayangan mereka yang
mengatakan, “Ah, propaganda murahan seperti itu tidak akan mempan”
Intoleransi adalah sikap yang
memisahkan kami dan mereka. Kami adalah korban dan mereka adalah biang keladi
yang membuat hidup kami berkesusahan. Intoleransi menjadi masif dan solid
karena bersembunyi di balik argumen ketidakadilan. Di sini berbagai kekuatan
konservatif menemukan titik temunya.
Trump misalnya menolak imigran
bukan semata karena perkara ekonomi tetapi juga politik identitas. Bukan cuma
keamanan nasional, melainkan juga “kepribadian Amerika” berada dalam bahaya
apabila imigran dari Timur Tengah berhamburan masuk. Kita menyaksikan betapa
intoleransi memenangkan pemilihan umum di Amerika Serikat. Perasaan tidak
aman dikapitalisasi secara elektoral. Kebencian terbukti memiliki dampak
elektoral yang dahsyat.
Di kita pun tidak jauh berbeda.
Masyarakat yang merasa ekonomi lesu adalah mangsa bagi ideologi afektif
intoleransi. Berawal dari sikap anti komunisme yang secara serampangan
disamakan dengan ateisme. Kehadiran tenaga kerja asing dari China pun
dipersepsi sebagai intrusi komunisme ke jantung Pertiwi. Itu kemudian dibalut
dengan argumen ketidakadilan.
Saat pekerja lokal sulit
mendapatkan pekerjaan, kita malah membuka keran bagi tenaga kerja dari China.
Mobilisasi afeksi semacam ini terjadi di semua ruang sosial. Tanpa sadar,
kita diajari membenci dan kebencian adalah keniscayaan sejarah untuk
menyelamatkan republik dari malapetaka.
Potensi
malapetaka
Intoleransi seperti dikatakan tadi
hanya setarikan napas dari terorisme. Terorisme memang bentuk paling brutal
karena memuat kekerasan. Namun, intoleransi bisa dengan mudah bertransformasi
menjadi terorisme lunak. Terorisme lunak adalah saat intoleransi tidak
disimpan dalam hati melainkan diumbar secara agresif di ruang publik.
Agresi publik itu semakin menguat
saat politik mesianisme turun tangan. Keselamatan ada di tangan mereka yang
membela keyakinan, identitas dan primordialisme. Para intoleran pun berubah
menjadi pejuang keselamatan. Militansi ditempa dan mobilisasi terus berjalan
secara masif.
Terorisme lunak lebih berbahaya
ketimbang yang keras. Mengapa? Terorisme keras mengundang antipati publik.
Semua mengutuk. Jalan kekerasan tidak akan menciptakan emosi kolektif.
Sementara, terorisme lunak justru memobilisasi emosi kolektif dengan
argumentasi ketidakadilan dan kemurnian keyakinan.
Dua bentuk terorisme ini tidak
bisa berjalan beriringan. Politik tidak akan memakai terorisme keras. Sebab,
itu hanya akan berdampak buruk bagi elektoralitas. Politik membutuhkan
simpati. Maka, seperti kita saksikan, berbondong tokoh-tokoh fundamentalis
pun turut mengutuk terorisme keras.
Namun, apakah terorisme lunak
tidak berbahaya? Justru saya melihat daya rusak terorisme lunak jauh lebih
kuat tinimbang yang keras.
Saat politik memanipulasi emosi
publik dengan jargon “serba anti”, maka kita bisa menghadapi dua masalah yang
cukup fatal. Pertama, politik teror mendapatkan tempat di hati publik dan
mengambil alih negara. Jika itu terjadi maka negara akan diselenggarakan
berdasarkan politik identitas yang segregatif.
FIS (Front Islamique du Salut)
atau Front Keselamatan Islam merupakan partai politik di Aljazair yang
didirikan pada tahun 1989. FIS
berkampanye dengan jargon “serba anti”
dan mendapatkan simpati. Pada tahun 1991, FIS yang diakui berideologi
kanan ini, ikut pemilihan umum.
Hasilnya, putaran pertama (20 Juni
1991) FIS meraup 54 persen suara dan mendapat 188 kursi (81 persen) di
parlemen. Meski akhirnya hasil pemilu dibatalkan penguasa militer, namun itu
menunjukkan betapa terorisme lunak mampu menggalang suara dan memenangkan
pemilihan umum.
Kedua, di tangan terorisme lunak
segregasi sosial dapat bertransformasi
menjadi segregasi politik dan berakhir di segregasi nasional. Eskalasi ini
tentu tidak terjadi dalam waktu singkat. Namun, kehadirannya bisa berupa
unanticipated shock.
Saat kita tidak mencermati betul
evolusi segregasi di ruang publik, maka kita tahu-tahu sudah berada dalam
intensitas segregasi yang membahayakan. Perang saudara di Suriah, misalnya.
Intoleransi berwujud terorisme lunak sudah mengoyak tubuh sosial masyarakat
Suriah sejak lama.
Namun, tidak ada yang menyangka
tubuh sosial itu secara tiba-tiba terbelah dua dan berperang. Intoleransi
adalah bahaya laten yang bisa sewaktu-waktu meledak. Apabila tidak ditangani
sejak subuh, maka malapetaka pasti datang di penghujung hari. Semoga intuisi
saya salah. Namun, jika benar harga yang harus dibayar teramat mahal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar