Siklus
Kepemimpinan Personal Partai
Moch Nurhasim ; Peneliti pada Pusat
Penelitian Politik-LIPI
|
KOMPAS,
06 November
2017
Ada yang mengkhawatirkan dengan
perkembangan partai politik di Indonesia. Realitas pertumbuhan partai tak
bisa lepas dari orang kuat dan orang “besar”. Partai berada pada
bayang-bayang sosok tertentu yang bisa dianggap telah menjadi “pemilik”
organisasi sosial yang keberadaannya diakui oleh konstitusi yang seharusnya
menjadi organisasi masyarakat politik.
Akan tetapi, apa hendak dikata,
organisasi parpol justru terjerembab dalam kubang personalisasi yang akut.
Menurut Bauman, 2001, personalisasi parpol adalah proses individualisasi
dalam organisasi partai, di mana sosok yang kuat memengaruhi seluruh proses
kerja di dalam parpol. Senada dengan Bauman, Sartori mengasumsikan bahwa
personalisasi parpol bukan terjadi karena kecelakaan, tetapi karena
keterbatasan kemampuan partai dalam menentukan pilihan dan perubahan atas
lembaganya.
Asal-usul pendirian parpol
Secara teori atau praktik
organisasi, personalisasi partai tak dapat dilepaskan dari faktor
kepemimpinan dan format kelembagaannya. Asal-usul pendirian partai jadi
penentu. Partai yang lahir karena kesadaran ideologis idealnya akan berbeda,
tumbuh dan berkembang ke arah PartyID atau partai kader. Demikian sebaliknya,
pendirian partai yang hanya modal orang kuat akan cenderung berkembang
menjadi catch all party dan partai kartel.
Pendirian partai yang sejak
awal tidak dirancang sebagai organisasi yang modern umumnya lahir dari
masyarakat yang tingkat pembelahan sosialnya tinggi. Faktor budaya
patrimonial, patron-klien, dan patriaki telah mendorong tipe organisasi
partai yang bukan hanya personal, tetapi sekaligus clientism. Sejumlah studi
tentang partai di Indonesia, begitu sering menyebut parpol menjadi organisasi
yang makin tertutup dan makin menguat oligarkinya.
Dari sisi itu, apakah sama
antara partai lama dan partai baru? Kecenderungan umumnya memiliki kesamaan-mengarah
pada siklus kepemimpinan personal dengan derajat yang tidak sama dan identik.
Bahkan partai baru sekalipun memiliki kecenderungan itu. Salah satu
penyebabnya karena mahalnya mendirikan partai politik.
Struktur organisasi partai yang
besar dan gemuk, sebagai ilustrasi untuk bisa ikut pemilu, partai politik
minimal harus menghimpun antara 900.000-1,4 juta orang sebagai pengurus.
Jumlah itu belum ditambah kader dan anggota yang dimilikinya. Mengelola
partai butuh dana tidak sedikit. Rata-rata partai mengalami masalah dalam hal
pendanaan. Peluang itu akhirnya dimanfaatkan para pemodal dan orang-orang
yang “berduit “untuk menguasai partai pada setiap jenjang struktur yang
berbeda.
Ketergantungan pendanaan partai
jadi salah satu biang keroknya. Ketergantungan ini menyebabkan dampak negatif
karena partai bukan saja “dikooptasi”, tetapi bekerja atau tidaknya
organisasi partai juga bergantung pada kekuatan ekonomi dan finansial yang
memimpinnya. Jadi, jangan pernah membayangkan orang berintegritas, cerdas,
dan pintar dapat memimpin partai.
Pola kepemimpinan partai yang
menonjolkan pada ketokohan atau orang, menyebabkan kerugian dalam wujud
de-institusionalisasi parpol dalam jangka panjang. Hal tersebut sebagai
dampak dari tergerusnya kelembagaan partai, karena hampir tak berfungsinya
institusi partai. Parpol jadi bergantung pada figur dan politik kekeluargaan,
baik sebagai basis sumber kepemimpinan atau sumber pendanaan.
Dampak buruk lain, partai
mengalami “stagnasi struktural”. Salah satu indikasinya, partai sulit mencari
tokoh alternatif untuk memimpin dan meneruskan regenerasi partai. Itu
merupakan ganjalan terberat yang dialami oleh partai yang bergantung pada
karisma tokoh sehingga terjadi monopoli identitas dan ideologi partai
mengalami pembelokan. Pada kasus seperti itu, yang paling parah partai
dimaknai sebagai “warisan” politik sehingga keluarga atau trah kekerabatan
yang berhak meneruskannya.
Pergantian kepemimpinan juga
terjadi secara impersonal. Dalam beberapa kasus, partai bahkan kesulitan
mencari sosok pemimpin dan calon presiden. Pergantian kepemimpinan di tubuh
partai juga terkadang menciptakan faksi-faksi. Faksi politik ini akhirnya
mendorong sebagian kadernya keluar dari partai dan mendirikan partai baru.
Kasus-kasus keluarga menguasai
partai melalui pembagian peran seperti itu terjadi di sejumlah tempat,
seperti di Sulsel, Banten, Jombang, dan sejumlah lokasi lainnya, bukanlah
fenomena yang kebetulan. Ada peluang yang diberikan oleh sistem kepartaian
kita yang longgar dan tak ketatnya aturan tentang organisasi partai. Juga karena permisifnya masyarakat akibat
tergerus politik transaksional.
Bangsa dipertaruhkan
Apa dampaknya bagi bangsa kita
dan masa depan Indonesia? Bangsa Indonesia nasibnya dipertaruhkan oleh model
generasi politik yang lahir dari sifat dan pertumbuhan partai yang kurang
sehat. Partai yang memiliki fungsi penting bagi demokrasi, dalam praktiknya
semakin jauh dari cita-cita demokrasi.
Ada tiga argumentasi yang
memperkuat hal itu. Pertama, fenomena jual beli badan hukum partai. Sebagai
organisasi yang diberi amanat konstitusi, badan hukum partai telah berubah
menjadi kepemilikan personal.
Kedua, pola kepemimpinan
tradisional rasanya “sulit dihapuskan” karena tumbuh dalam parasit
kekerabatan yang praktik sosialnya telah mengakar. Sulit rasanya membayangkan
basis kepemimpinan partai bukan karena uang, kerabat atau hubungan dekat.
Situasi ini dampak dari orientasi politik masyarakat yang lebih ke arah
“kelompok”. Masih jauh mendambakan pengisian kepemimpinan di organisasi
partai atau di organisasi mana pun tanpa embel-embel mitologi, kerabat, dan
latar belakang sosial.
Gejala menguatnya dinasti
politik merupakan bagian dari proses apa yang saya sebut sebagai gejala buruk
oligarki terselubung. Instrumen demokrasi dalam proses elektoral, baik di
internal partai maupun elektoral dalam memilih jabatan-jabatan publik yang
penting, dikuasai dan bergantung pada orang kuat yang menguasai partai.
Ketiga, mencari pemimpin yang
bersandar pada elektabilitas telah memudarkan cita-cita para pendiri bangsa
kita di masa lalu. Apalagi mendorong partai seperti yang dicita-citakan oleh
Bung Hatta sebagai tempat pendidikan, tempat untuk mendidik orang, dan tempat
untuk membangun pikiran dan gagasan.
Kondisi demikian merupakan
ironi dari demokrasi kita saat ini. Partai yang memiliki posisi penting dalam
demokrasi, ternyata pertumbuhannya jauh dari nilai- nilai demokrasi itu
sendiri. Paradoks ini bukanlah sesuatu yang biasa. Anomali seperti itu
akankah terus terjadi atau berulang dan tidak dapat diakhiri?
Menjawab pertanyaan itu
bukanlah sesuatu yang mudah. Kita mengalami gagap politik. Sebab, pemilik
kewenangan yang diharapkan dapat membawa perubahan bangsa ini ke arah yang
lebih baik justru menjadi masalah dan bukan solusi.
Perubahan dan perbaikan politik yang hendak
didorong, rasanya kadang-kadang membentur tembok kokoh proses legislasi. Proses legislasi lagi-lagi bergantung pada
peran partai, apakah menguntungkan dirinya atau tidak. Sebagai institusi
penting demokrasi, partai idealnya menyadari fungsinya yang terikat oleh
kehendak bersama dalam membangun Indonesia.
Dari sisi itu, perubahan
kepemimpinan partai bisa menjadi salah satu harapan. Syaratnya, peta jalan
pertumbuhan fase organisasi partai-tidak berulang pada fase identifikasi,
tetapi bergerak ke arah organisasi dan stabilisasi. Kita menyadari dari
pengalaman banyak negara, setiap fase pertumbahan organisasi partai
membutuhkan kepemimpinan yang berbeda-beda.
Pada fase identifikasi dapat
saja dibutuhkan kepemimpinan yang kreatif dan perjuangan, bahkan partai perlu
tokoh besar yang karismatik agar partai tak mati. Pada fase selanjutnya,
akankah jalan panjang sejarah partai kita dapat mendorong tercipanya fase
stabilisasi, di mana pemimpin yang dibutuhkan adalah tipe stabilizer, menjadi
pelayan dan penjaga organisasi partai, tanpa mengooptasi partai sebagai kuda
tunggangan kepentingan politik.
Masalah yang kita hadapi saat
ini dan ke depan adalah kapan fase identifikasi ini akan berakhir. Akankah
lahir kepemimpinan baru dalam sejumlah parpol, yang masih dikuasai oleh
orang-orangtua atau generasi lama, sementara tantangan yang dihadapi semakin
kompleks. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar