Sabtu, 04 November 2017

Siapa Lagi Pengawas Desa

Siapa Lagi Pengawas Desa
Ivanovich Agusta  ;   Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
                                                    KOMPAS, 04 November 2017



                                                           
Nota kesepahaman dengan kepolisian guna turut mengontrol keuangan desa (Kompas, 21/10) adalah pernyataan kegagalan pengemban mandat pembina desa: Kementerian Dalam Negeri; Kementerian Keuangan; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; serta pemerintah daerah.

Selain bertentangan dengan UU No 6/2014 tentang Desa, bandul pengawasan bakal lebih kuat mengerem ketimbang mendukung dinamika desa. Apalagi, polisi menggenapi luapan kontrol dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Satgas Dana Desa, pendamping desa, inspektorat daerah, badan permusyawaratan desa, dan lembaga swadaya masyarakat.

”Pengamanan” UU Desa

Berlawanan dari pandangan umum, sebenarnya UU Desa telah menyiapkan ”pengamanan”. Untuk memastikan asas subsidiaritas atau wewenang desa berjalan secara partisipatif, pembinaan dan pengawasan dilaksanakan secara bertingkat dari pemerintah pusat, provinsi, hingga kabupaten (Bab XIV).

Aspek pembinaan yang positif lebih dikedepankan, berupa keharusan mempraktikkan pemberdayaan, pendidikan dan pelatihan, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memfungsikan institusi asli desa (Pasal 112). Pemerintah pusat diwajibkan memberikan penghargaan kepada desa terbaik (Pasal 113). Pemerintah provinsi hendaknya menyediakan bimbingan teknis serta mengawal pembentukan desa adat (Pasal 114). Pemerintah kabupaten menyampaikan anugerah kepada lembaga kemasyarakatan yang berprestasi, serta meningkatkan kapasitas badan usaha milik desa alias BUMDes (Pasal 115).

Namun, yang luput diperhatikan, Pasal 113 UU Desa sama sekali menihilkan mandat pengawasan bagi pemerintah pusat! Adapun pengawasan pemerintah provinsi justru diarahkan kepada kinerja pemerintah kabupaten dalam mendukung BUMDes (Pasal 114).

Dalam UU ini mandat pengawasan hanya diberikan kepada pemerintah kabupaten (Pasal 115). Substansi pengawasan diarahkan pada penyelenggaraan pemerintahan desa, pembentukan peraturan desa, pengelolaan keuangan dan aset desa.

Susunan pengawasan UU Desa ini sejalan dengan asas otonomi daerah tingkat II (kabupaten/kota) pada UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2016 telah menegaskan, desa sebagai ujung tombak pemerintahan kabupaten. Endang Basuni dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan buktinya: hanya pemerintah kabupaten yang memiliki hak legal untuk memberi sanksi kepada kepala desa lantaran menyimpang dari peraturan perundangan (UU No 6/2014 Pasal 115 huruf n).

Sebagai produk hukum yang khas, paling tepat UU Desa didudukkan sebagai lex specialis kala terkait pengelolaan desa. Dengan demikian, pelanggaran UU Desa bisa diterakan pada fungsi pengawasan langsung dari pemerintah pusat dan instansi vertikal, sebagaimana kini dipraktikkan polisi, Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Satgas Dana Desa, dan pendamping desa.

Hasrat panoptikon

Upaya memajang sebanyak mungkin mata pengawas ke desa-desa bersumber dari kue lezat dana desa sebesar Rp 127 triliun pada 2015-2017. Alih-alih dimaknai sebagai hak milik desa, seturut tafsir UU Desa, kenyataannya justru menyeleweng dipandang sebagai dana pemerintah pusat. Akibatnya ialah minimalnya tanggung jawab pengawasan oleh pemerintah kabupaten. Bahkan, mereka (baca: kabupaten) sendiri merasa diawasi pemerintah pusat lantaran kegagalan penyerapan dana desa berkonsekuensi pada pemotongan dana alokasi umum daerah.

Selama ini, kontrol vertikal terhadap desa gagal lantaran bolong dalam hal transaksi pengawasan. Transaksi ratusan juta antara aparat desa dan aparat kecamatan, kabupaten, dan kejaksaan di Madura, Jawa Timur— sebagai contoh kasus—telah memudarkan legitimasi inspektorat daerah dan aparat hukum.

Hasrat memenangi kompetisi politik menggerakkan pemerintah menetapkan PP No 47/2015 stentang Peraturan Pelaksana UU Desa yang menempatkan pendamping ke semua desa. Namun, mata panoptikon ini mengabur lewat terbukanya skandal upaya titipan partai-partai besar. Apalagi kapasitas pendamping tidak mumpuni membantu penyiapan laporan pertanggungjawaban kegiatan pembangunan.

Sayang, hasrat mengontrol desa terus bertumbuh. Laporan masyarakat ke Satgas Dana Desa pada Agustus-Oktober 2017 melonjak dari 900 menjadi 10.000 (Kompas, 28/10). Segera setelah penandatanganan nota kesepahaman dengan Mabes Polri, di daerah disusun perjanjian serupa dengan pemerintah daerah. Nomor telepon pejabat dinas pemberdayaan masyarakat mulai dikumpulkan.

Mengimbangi kontrol

Guna mengimbangi percepatan kontrol, pemerintah kabupaten perlu segera menetapkan harga satuan barang menurut wilayah desa dan laporan-laporan yang wajib diserahkan untuk tiap jenis kegiatan pembangunan. Pelatihan pelelangan pekerjaan desa, monitoring dan evaluasi proyek, serta pelaporan sudah sangat mendesak dijalankan bersama pemerintah desa.

Sesuai mandat UU Desa, penting bupati segera menyusun peraturan perihal jenis-jenis sanksi menurut pelanggaran administratif dan koreksi kebijakan desa. Harus didaftar pula jenis pelanggaran pidana korupsi yang layak diserahkan kepada kepolisian dan kejaksaan.

Berkaca pada kasus transaksi pengawasan, pemerintah desa rawan dikriminalisasi berdalih laporan sangkaan korupsi. Karena itu, mereka harus memahami jalur pelaporan pelanggaran aparat kepolisian melalui Divisi Profesi dan Pengamanan. Penyelewengan pendamping bisa dilaporkan ke telepon 1500040. Kriminalisasi dari pihak lain manjur pula digaungkan langsung ke presiden melalui https://lapor.go.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar