Satu
Pintu Keamanan Pangan
Adhi S Lukman ; Ketua Umum Gabungan
Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
(DKP) Indonesia
|
KOMPAS,
07 November
2017
Hari Pangan Sedunia usai
diperingati 16 Oktober dengan tema tahun ini “Change the Future of Migration,
Invest in Food Security and Rural Development”. Di Indonesia, tema dunia
disesuaikan menjadi “Menggerakkan Generasi Muda dalam Membangun Pertanian
Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia”.
Namun, sebelum menjadi lumbung
dunia, ketahanan pangan harus dipenuhi. Sesuai Undang-Undang Pangan Nomor 18
Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara
sampai perseorangan dengan tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya. Untuk mewujudkan ketahanan pangan, salah satu yang perlu dipenuhi
adalah keamanan pangan.
Tema keamanan pangan sebenarnya
sudah menjadi tema utama Hari Pangan Sedunia 2015, “How Safe is Your Food?
From Farm to Plate, Make Food Safe”. Namun, kelihatannya belum ada perbaikan
signifikan.
Budaya keamanan pangan yang
rendah memicu kerugian besar bagi negara, dari meningkatnya biaya kesehatan
yang harus ditanggung negara hingga loss generation. Ada hipotesis bahwa
meningkatnya biaya yang ditanggung BPJS Kesehatan salah satunya disebabkan
buruknya kondisi keamanan pangan, meskipun ini perlu dikaji dan bukti
empiris.
Karena itu, dalam Rembuk
Nasional III-2017, keamanan pangan jadi salah satu subtema rembuk. Dalam
target pemenuhan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB, tahun 2030 juga sudah
harus bebas kelaparan dan tersedia pangan yang cukup, bergizi, dan aman
dikonsumsi.
Kenyataannya, kondisi keamanan
pangan Indonesia masih rawan, seperti dilaporkan The Economist, Global Food
Security Index Indonesia tahun 2017 berada di peringkat ke-69 dari 113
negara, jauh di bawah negara ASEAN lain, seperti Singapura (4), Malaysia
(41), Thailand (55), dan Vietnam (64). Bahkan, untuk mutu dan keamanan pangan
berada di peringkat ke-86, di bawah Singapura (24), Malaysia (37), Thailand
(59), Vietnam (66), Filipina (69), dan Myanmar (71).
Salah satu laporan dari kajian
penyakit diare akibat pangan tercemar, seperti dikutip BPOM, diperkirakan
10-22 juta kasus dengan kerugian Rp 64 triliun-Rp 226 triliun (On &
Rahayu, 2017). Penggunaan bahan tambahan pangan nonpangan banyak ditemukan,
seperti formalin, boraks, dan pewarna tekstil.
Masih rawannya kondisi keamanan
pangan tak tergambar dari laporan. Dalam Rembuk Daerah di Aceh, 16 Oktober
2017, laporan akibat pangan tak aman hanya 2.500 orang meninggal dan 411.500
orang sakit (2015). Bandingkan dengan laporan Center for Disease Control and
Prevention AS (2015), satu dari enam orang sakit terkait pangan tidak aman, lebih
dari 3.000 orang meninggal dan kerugian 78 miliar dollar AS per tahun. Bisa
jadi ini disebabkan sistem pelaporan di Indonesia belum memadai atau
masyarakat belum acuh terhadap kejadian salah makan.
Satu pintu kebijakan
Pengawasan keamanan pangan di
Indonesia masih tersebar di sejumlah kementerian/lembaga, dan kebijakannya
belum sinkron satu sama lain. Pangan olahan produksi industri menengah besar
diawasi oleh BPOM, sedangkan pangan segar dengan proses sederhana di bawah
Kementerian Pertanian.
Semua produk yang mengandung
hasil ikan dan laut di bawah pengawasan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Demikian pula hasil industri kecil rumah tangga diawasi oleh dinas kesehatan
di bawah pemerintah daerah. Belum lagi pengawasan terhadap rumah makan, katering,
dan sebagainya. Padahal, semuanya harus dijamin aman.
Bisa dibayangkan bagaimana
rumitnya apabila terjadi kasus keracunan pangan (foodborne diseases), siapa
yang akan bertindak cepat? Belum lagi dengan kemajuan teknologi proses,
kemasan, logistik, dan modernisasi ritel, akan semakin sulit membedakan
pangan olahan dan segar sehingga dalam
beberapa kasus terjadi keterlambatan dalam antisipasi dan pengawasan.
Beredarnya isu beras plastik
menjadi salah satu contoh ketika beras yang sudah dikemas dalam kemasan
eceran masuk ranah pangan olahan atau segar? Contoh lain, di ritel modern
banyak beredar ikan atau daging beku kemasan eceran, siapa yang berwenang
mengawasi dan memberikan izin edar? Di mana batas pangan segar dan olahan?
Penetapan standar keamanan
pangan juga berbeda di hilir dan hulu. Lembaga yang mengawasi di sisi hilir
ingin menerapkan standar tinggi demi melindungi konsumen, tetapi di sisi
hulu, standar keamanan pangan bahan baku belum diatur.
Sudah saatnya kebijakan
keamanan pangan dikelola “satu pintu” sehingga Indonesia punya satu kebijakan
yang jelas. Misalnya penguatan BPOM, yang tentunya perlu UU BPOM, seperti di
beberapa negara. Bisa juga membentuk lembaga yang diamanatkan UU No 18/2012
tentang Pangan, berupa Badan Pangan Nasional, yang sampai saat ini belum ada.
Lembaga-lembaga itu membuat
kebijakan keamanan pangan dan mengoordinasikan semua lembaga yang pengawasan
pangan, termasuk membagi tugas pengawasan secara rinci. Juga berkoordinasi
dengan pemda, apalagi sudah terbit Perpres No 83/2017 tentang Kebijakan
Strategis Pangan dan Gizi.
Selanjutnya, mengkaji keamanan
pangan (risk assessment) untuk semua kategori pangan. Kemudian, membuat
standar keamanan pangan dan pengawasan dari hulu ke hilir. Lalu menyiapkan
infrastruktur keamanan pangan, termasuk sistem pelaporan wajib, pusat
informasi, serta sistem reaksi cepat. Setelah itu, monitoring dan evaluasi
pelaksanaan. Terakhir, edukasi konsumen agar sadar keamanan pangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar