Minggu, 05 November 2017

Revisi Perppu Ormas

Revisi Perppu Ormas
Danang Aziz Akbarona  ;   Peneliti Institute For Social, Law,
and Humanities Studies (ISLAH)
                                              KORAN SINDO, 04 November 2017



                                                           
PERPPU No 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) telah disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR RI 24 Oktober 2017. Betapapun sebagian pihak merasa kecewa terhadap pengesahan perppu ini, masih ada ruang yang dimungkinkan untuk menggugat perppu, yaitu melalui judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi.

Sejumlah elemen masyarakat menyatakan siap untuk melakukan JR ke MK, bahkan salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, turut mengonfirmasi rencana untuk JR tersebut. Muhammadiyah memang sejak awal bersikap kritis dan mengemukakan ketidaksetujuannya terhadap Perppu. Bleid ini dinilai tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa, sebaliknya berbahaya bagi masa depan demokrasi dan eksistensi negara hukum.

Terima tapi dengan Revisi

Sesuai ketentuan UUD 1945 jo  UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa perppu harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. DPR sendiri hanya memiliki dua pilihan, yaitu memberikan persetujuan (menerima) atau tidak memberikan persetujuan (menolak) (Vide: Pasal 52). Uniknya pada saat pengesahan perppu yang lalu terdapat tiga fraksi (Demokrat, PKB, dan PPP) yang menerima dengan syarat: Perppu harus segera direvisi begitu disahkan menjadi undang-undang. Bahkan, salah satu fraksi mengancam jika tidak ada jaminan revisi maka fraksi tersebut tegas akan menolak. Hasil lobi akhirnya menegaskan 7 fraksi dan pemerintah menerima perppu dengan kompromi akan dilakukan revisi segera setelah perppu disahkan.

Sikap ini tentu saja merupakan anomali dan kerancuan tersendiri dalam pengesahan perppu di DPR kemarin. Dengan sikap itu, publik bisa menangkap kesan bahwa sejatinya fraksi-fraksi dan pemerintah juga menganggap perppu bermasalah, hanya ‘tak kuasa’ untuk menolaknya dengan berbagai dalih dan kepentingan politik masing-masing. Normalnya, kalau dinilai bermasalah, ya  ditolak saja (atau sebaliknya tegas menyetujui perppu).

Apa pun dalilnya, publik tidak perlu terlalu fokus pada anomali tersebut. Saat ini yang penting adalah selain menempuh JR ke MK publik perlu memastikan perppu yang kini telah jadi undang-undang itu direvisi segera. Biarlah polemik revisi atas perppu itu dikaji para ahli hukum tata negara, yang penting bagi publik pasal-pasal yang mengancam demokrasi dan hak-hak sipil, termasuk eksistensi negara hukum terkoreksi segera.

Pasal yang Mengancam

Secara umum terdapat dua kekhawatiran (atau ancaman) atas terbitnya Perppu 2/2017. Pertama, ancaman terhadap demokrasi (hak berserikat dan berkumpul, termasuk kritisisme masyarakat). Kedua, ancaman terhadap supremasi hukum atau due process of law.

Perppu menganulir UU 17/ 2013 terkait proses pembubaran ormas yang ditempuh melalui pengadilan. Menurut UU 17/ 2013, pemerintah menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran ormas berbadan hukum, dan terhadap putusan pengadilan negeri tersebut dapat diajukan upaya hukum kasasi. Sementara itu, perppu memberikan kewenangan mutlak kepada pemerintah untuk memberikan sanksi pembubaran ormas pelanggar aturan tanpa melalui proses peradilan.

Semua orang mafhum pentingnya proses peradilan dalam pencabutan hak konstitusional warga negara. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin due process of law atau jaminan keadilan bagi warga negara yang dituduh melanggar hukum. Inilah konsekuensi dari pilihan kita sebagai negara hukum (rechtsstaat) dan bukan negara kekuasaan (mach­staat) (Vide: UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3).

Hal ini untuk menjamin kesetaraan hubungan antara negara yang diperankan oleh apparatus dan warganya sehingga mereka (representasi negara) tidak bisa berlaku sewenang-wenang terhadap warga negara.

Berbeda dengan UU 17/ 2013 yang memberikan ruang persuasif dialogis bagi ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 melalui peringatan bertahap dan pembinaan, Perppu memangkas ruang itu sehingga langsung pada proses pencabutan status badan hukum (pembubaran). Hal ini bertolak belakang dengan semangat kita untuk semakin matang dalam berdemokrasi. Demokrasi yang matang ditandai dengan semakin terbukanya pintu dialog sehingga perbedaan sikap dan pandangan dapat didiskusikan dengan kepala dingin.

Pasal-pasal perppu menghapus prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi di atas, sehingga wajar jika banyak tuduhan bahwa ini semua bukan soal ‘kegentingan yang memaksa’, tapi soal ketidakmauan atau sekurang-kurangnya ketidaksabaran Pemerintah menanggung konsekuensi UU 17/2013. Dus, semangat perppu semakin menjauhkan kita (set back) dari cita-cita reformasi yang melawan sistem otoriter (sewenang-wenang).

Reformasi menghendaki satu sistem demokrasi yang menekankan proses dialogis untuk mencapai konsensus dalam bernegara. Maka, tidak heran jika para aktivis reformasi dan aktivis hak asasi manusia turut mengecam keras keluarnya perppu ini.

Pasal Karet dan Kriminalisasi Massal

Tidak sekadar mengancam eksistensi negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi, perppu juga mengandung pasal-pasal karet dan ambigu yang membuka peluang kesewenang-wenangan akibat tafsir yang sangat mungkin dimonopoli oleh penguasa. Padahal, salah satu konsep dalam asas legalitas jelas mengatakan bahwa hukum haruslah lex stricta, yaitu hukum tertulis harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas sehingga merugikan subjek pelaku perbuatan tersebut.

Perppu mengintrodusir pasal larangan bagi ormas untuk menganut, mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila (Vide: Pasal 59 Ayat (4) Huruf c). Problemnya, perppu memberi kewenangan mutlak kepada pemerintah (cq Mendagri dan Menkumham) untuk menafsirkan dan menentukan pelanggar Pancasila, baik dengan pertimbangan atau tidak dari instansi lain (Vide: Pasal 61). Hal ini dikhawatirkan mengembalikan langgam ”tafsir tunggal” atas Pancasila yang menjadikannya kembali sebagai alat kekuasaan. Di sinilah letak ”karetnya” pasal larangan tersebut. Tidak ada yang bisa memastikan dan mengimbangi (counter check) tuduhan atas ormas yang dinilai melanggar larangan oleh pemerintah. Negara bisa secara sepihak menuduh satu ormas bertentangan dengan Pancasila, lalu secara sepihak juga membubarkannya. Tidakkah ini merupakan langgam otoriter yang pernah berlaku di masa lalu? Lalu, siapa yang menjamin tuduhan pemerintah itu bukan untuk menyasar kelompok tertentu, kelompok kritis, atau kelompok yang berseberangan dengan pe­ngua­sa/rezim? 

Konklusi

Itulah di antara pasal-pasal yang mengancam keberlangsungan sistem demokrasi dan negara hukum yang kita anut. Kebebasan memang perlu ditata tapi tidak lantas semena-mena tanpa mengindahkan prinsip-prinsip due process of law. Ini juga bukan soal proradikalisme dan anti Pancasila, tapi cara pemerintah membubarkan ormas itu yang perlu kita koreksi bersama agar sesuai dengan hukum (by law) sehingga transparan dan akuntabel.

Kita ingin menghadirkan proses pembinaan ormas yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dengan mengedepankan proses dialogis dalam bernegara sehingga demokrasi makin kuat dan tidak membuka peluang kembalinya otoritarianisme. Akhirnya kita akan menagih dan mengawasi janji wakil rakyat dan pemerintah untuk merevisi UU Pengesahan Perppu Ormas ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar