“Quo
Vadis” Catalonia Merdeka
Hassan Wirajuda ; Menteri Luar Negeri RI 2001-2009;
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden
2010-2014
|
KOMPAS,
31 Oktober
2017
Menyusul referendum Catalonia
pada awal Oktober lalu, Parlemen Catalonia secara sepihak mendeklarasikan
kemerdekaan Catalonia pada 27 Oktober 2017.
Referendum dan pernyataan
kemerdekaan Catalonia merupakan peristiwa yang memiliki implikasi besar.
Tidak hanya bagi Spanyol, tetapi juga Eropa dan tatanan dunia, terutama yang
berkaitan dengan konsepsi negara-bangsa (nation-state) dan tata hubungan
antarnegara.
Mau ke mana Catalonia?
Pernyataan kemerdekaan tidak
serta-merta menjadikan Catalonia negara merdeka. Memang ada batasan wilayah
yang jelas dan dapat diasumsikan ada rakyat yang pro kemerdekaan. Namun,
masih ada dua syarat berdirinya negara yang belum dipenuhi, yaitu belum
adanya pemerintahan dan pengakuan luas oleh masyarakat internasional.
Saat ini ada kevakuman pemerintahan
karena pemerintah pusat sudah membubarkan pemerintah Catalonia dan mengambil
alih pemerintah daerah, termasuk mencopot kepala Kepolisian Catalonia. Uni
Eropa dan 27 negara anggotanya tidak mengakui, bahkan menolak pernyataan
kemerdekaan Catalonia. Juga negara-negara lain, termasuk AS dan Indonesia.
Pemerintah Spanyol telah
memutuskan mengambil alih pemerintahan Catalonia melalui direct control.
Parlemen Catalonia dibubarkan dan pemilihan umum daerah dijanjikan akan
dilaksanakan 21 Desember 2017.
Menjadi pertanyaan besar, apa
kelanjutan dari konflik Catalonia: apakah konflik pusat dan daerah ini dapat
diselesaikan secara damai melalui dialog atau menjadi konflik terbuka yang
berdarah? Titik kritisnya akan kita saksikan pada 50 hari mendatang.
Memperhatikan penolakan keras
oleh Madrid, Carles Puigdemont-mantan gubernur dan proklamator kemerdekaan
Catalonia-baru-baru ini menyatakan bahwa Catalonia akan melakukan “oposisi
demokratik” terhadap Madrid. Menghadapi tekanan Madrid, bisa jadi Puigdemont
akan menempuh cara penyelesaian konflik melalui dialog dan tanpa kekerasan.
Secara bersamaan, Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy menyatakan akan
memulihkan keadaan di Catalonia melalui penegakan hukum dan bukan melalui
penggelaran kekuatan. Kita perlu saksikan dinamika ini pada minggu-minggu
mendatang.
Catalonia dan Eropa
Sejak lahirnya konsepsi
negara-bangsa (nation state) berdasarkan Perjanjian Westphalia 1648, pada
kenyataannya Eropa tidak pernah luput dari gejala disintegrasi.
Separatisme Basque di provinsi
paling utara Spanyol sejak 1959 tidak pernah padam. Pada tahun 2015, atas
persetujuan Pemerintah Inggris, Skotlandia menyelenggarakan referendum; kaum
pro-kemerdekaan Skotlandia kalah tipis dengan selisih suara hanya 10 persen.
Tuntutan kemerdekaan akan terus menguat dengan menangnya pemerintahan Partai
Nasionalis Skotlandia dalam kaitan dengan referendum yang memutuskan
keluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang lebih dikenal dengan Brexit.
Pernyataan kemerdekaan
Catalonia dapat memicu penguatan separatisme di Eropa. Menurut Presiden
European Commission Jean-Claude Juncker, gejala separatisme Catalonia dapat
mencabik-cabik Uni Eropa.
Di Italia, dua provinsi yang
kaya, Veneto dan Lombardia, menuntut kewenangan lebih besar di bidang
ekonomi, imigrasi, dan pendidikan. Masih belum jelas apakah tuntutan yang
didasarkan hasil referendum pada minggu ketiga Oktober itu akan dipenuhi oleh
Roma. Ataukah, jika ditolak, akan memancing referendum yang menuntut
kemerdekaan. Terdapat batasan yang tipis antara tuntutan akan otonomi luas
dengan kemerdekaan.
Apabila pada negara-bangsa, di
mana konsensus fundamental tentang negara-bangsa sudah kuat-seperti Inggris
yang sudah eksis selama 310 tahun dan Kerajaan Spanyol yang sudah berusia 307
tahun-menghadapi tantangan disintegrasi, lalu bagaimana dengan negara-bangsa
di banyak negara berkembang yang umumnya lahir pasca-Perang Dunia Kedua?
Tatanan dunia yang berlaku hingga saat ini di bawah piagam PBB bertumpu pada
prinsip hak menentukan nasib sendiri (right to self-determination), yang
melahirkan banyak negara-bangsa (193 negara anggota PBB), dan prinsip
penghormatan terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional. Kedua prinsip
yang bersumber dari sistem Westphalia ini sebetulnya mengunci potensi
lepasnya bagian negara untuk menjadi suatu entitas merdeka.
Pernyataan kemerdekaan masuk
dalam kategori pemisahan diri (secession), bukan pelaksanaan hak menentukan
nasib sendiri. Tidak heran kalau dari awal Madrid mengatakan referendum di
Catalonia itu ilegal dilihat dari konstitusi Spanyol ataupun dari sisi piagam
PBB.
Bubarnya Yugoslavia menjadi
negara Slovenia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Montenegro, FRY Macedonia, dan
Serbia, pada dekade terakhir abad lalu, suatu pengecualian dari
prinsip-prinsip umum (suis generis) tadi. Bahwa, ada keadaan luar biasa
akibat kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat di Beograd.
Ini yang membedakan dengan lahirnya Kosovo yang didorong oleh Uni Eropa pada
tahun 2005 karena kondisi suis generis itu tidak ada. Sampai saat ini, Kosovo
tidak mendapat pengakuan oleh PBB.
Konsekuensi terhadap hubungan antarbangsa
Konsepsi negara-bangsa di era
ini mengalami banyak tekanan, baik dari kekuatan sentripetal maupun
sentrifugal sekaligus. Negara-bangsa digerogoti dari bawah oleh gerakan
separatisme, yaitu tumbuhnya micro-nationalism (nasionalisme sempit yang
didasarkan atas kesadaran akan etnik, budaya, tradisi, bahkan agama).
Negara-bangsa juga mengalami tekanan dari atas, yaitu regionalisme dan
globalisasi. Uni Eropa, yang merupakan suatu organisasi supra-nasional, dapat
memicu bagian-bagian wilayah dari negara-negara anggotanya untuk merdeka.
Tidak ada persoalan bagi
Skotlandia atau Catalonia untuk merdeka karena-walau keduanya merupakan
entitas kecil-apabila menjadi anggota Uni Eropa, roaming area-nya adalah
seluruh wilayah Eropa. Penduduk mereka memiliki lintas bebas untuk menetap
dan bekerja di negara lain. Tak mengherankan jika Inggris dan Spanyol dari
awal sudah wanti-wanti akan memveto masuknya Skotlandia atau Catalonia ke Uni
Eropa apabila mereka tetap pada opsi merdeka.
Globalisasi juga dapat memicu
disintegrasi. Kemajuan teknologi telekomunikasi, terutama internet,
memungkinkan kelompok-kelompok separatis membangun jaringan guna menggalang
dukungan dari berbagai belahan dunia. Tetapi juga dunia yang semakin tanpa
batas dan pasar bebas menjadikan negara-negara kecil yang tidak punya
kekayaan alam atau pasar yang besar dapat berkembang menjadi negara yang
makmur. Ini menguatkan ungkapan “small is beautiful“.
Kebebasan dan hak asasi yang
menjadi karakter dasar dari kehidupan demokrasi bisa menguatkan kecenderungan
ini. Toleransi pada perbedaan dapat menjurus pada pembongkaran kembali
konsensus fundamental tentang negara-bangsa.
Atas nama kebebasan dan hak
asasi memungkinkan gerakan seperti Khilafah Islamiyah berkembang dan berujung
pada penenggelaman negara-bangsa. Referendum atau jajak pendapat merupakan
suatu cara yang demokratis. Pertanyaannya adalah apakah penentuan nasib
sendiri oleh rakyat suatu bagian negara untuk merdeka merupakan suatu hak?
Hak menentukan nasib sendiri
(untuk merdeka) merupakan a one-time exercise yang telah melahirkan negara
merdeka seperti Inggris, Spanyol, dan 191 negara anggota PBB lainnya. Maka,
prinsip mendukung keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional akan menutup
peluang untuk mengulang-ulang exercise tersebut. Pengecualian dapat diterima
masyarakat internasional apabila negara induk menyetujui referendum untuk
merdeka. Hanya ada satu negara di dunia, yaitu Etiopia, yang konstitusinya
membolehkan bagian wilayahnya referendum untuk merdeka. Tetapi, ketika
Eritrea menjadi negara merdeka, terjadi perang berkepanjangan antara Eritrea
dan Etiopia.
Menguatnya populisme di Eropa
dan AS dalam beberapa tahun terakhir ini mendorong partai atau politisi agar
mengeksploitasi aspirasi untuk lepas atau merdeka, sekadar menangguk suara
dalam pemilihan umum. Iming-iming kehidupan kebangsaan yang bebas dan lepas
dari impitan negara induk biasanya muncul karena impitan ekonomi.
Catalonia adalah negara bagian
yang kaya, penyumbang 26 persen dari PDB Spanyol, karena itu paling merasakan
dampak krisis Eurozone yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah pusat yang
dianggapnya keliru. Politik populis yang menjanjikan kemerdekaan seharusnya
mengetahui bahwa tidak ada satu pun negara yang akan mengizinkan dan rela
bagian-bagian negaranya lepas menjadi entitas merdeka. Menjadi sangat tidak
bertanggung jawab apabila krisis politik ini berkembang menjadi violent
conflict yang mengakibatkan korban jiwa dan penderitaan bagi rakyat yang
tidak berdosa.
Pada ujungnya, krisis politik
di Catalonia menggugah kembali pertanyaan tentang konsepsi negara-bangsa itu
sendiri. Kalau konsepsi itu rapuh pada negara-negara yang sudah eksis selama
ratusan tahun, apalagi negara berkembang yang masih muda? Di sini pentingnya
kesadaran bahwa proses nation and state-building adalah suatu proses yang
harus dilakukan secara baik dan berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar