Pedagogi
Berwawasan Pancasila
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas
Airlangga; Tenaga Ahli Deputi Pengkajian dan Materi UKP-PIP
|
KOMPAS,
13 November
2017
Ujung tombak pembinaan ideologi
Pancasila pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo—melalui Unit Kerja
Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, UKP-PIP—terletak pada aktualisasi
metode pedagogi kritis dalam kehidupan bernegara. Kebutuhan memperkenalkan
pedagogi kritis dalam praktik pembumian Pancasila terkait dengan dua
keprihatinan besar dalam wahana pendidikan kita.
Pertama, menguatnya pedagogi
neoliberal yang menempatkan tujuan praktik pendidikan tidak lain sebagai
institusi pemasok dunia kerja. Kedua, mulai munculnya paham yang menyebarkan
ekstremisme kelompok dalam ruang pendidikan yang melahirkan subyek-subyek
intoleran dan menolak keragaman.
Keresahan mengenai menguatnya
paham intoleransi dan antikebinekaan tampak dalam perkembangan terkini.
Sebagai contoh, beberapa hari lalu seorang anak menjadi korban perundungan di
sebuah SD di Jakarta Timur hanya karena wajahnya mirip Ahok, mantan gubernur
DKI Jakarta. Peristiwa ini merupakan satu gejala dari sebuah penanda akan
berkembangnya paham intoleransi dan ekstremisme di Indonesia.
Penanda lain yang identik dan
lebih jelas tentang merebaknya intoleransi terekam dalam survei Pusat
Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud) Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan pada 2017 di dua kota: Singkawang (Kalimantan
Barat) dan Salatiga (Jawa Tengah). Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa
sekitar 25 persen siswa merasa lebih nyaman berteman dengan teman yang satu
keyakinan dengan mereka. Dari penelitian tersebut sekitar 20 persen dari
responden hanya bersedia untuk memilih ketua OSIS yang satu agama dengan
mereka (Kompas, 3/5).
Hal serupa ditemukan pada
survei dari The Wahid Institute yang berlangsung pada 2016. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa dari total 1.520 responden di 34 provinsi, sekitar
59,9 persen memiliki kelompok yang dibenci, seperti non-Muslim, Tionghoa, dan
komunis.
Dalam konteks kebudayaan kita,
nilai-nilai eksklusivisme dan antikebinekaan ini tengah tumbuh subur di lahan
yang didalamnya ruang edukasi didikte untuk sekadar melayani kehendak pasar.
Para aktor di dalam dunia pendidikan berbasis pedagogi neoliberal dibentuk
untuk menyepakati bahwa orientasi aktivitas pendidikan hanyalah pertumbuhan
ekonomi, mekanisme pasar, dan persaingan hidup berbasis logika ekonomi.
Dalam arus besar yang
menempatkan pasar sebagai panglima, nilai-nilai utama Pancasila, seperti
solidaritas kemanusiaan, gotong royong, dan keadilan sosial, menguap ke
udara.
Seorang pelopor pedagogi
kritis, Henry A Giroux (2011), dalam karyanya, On Critical Pedagogy,
menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran fundamental di dalam kehidupan
demokrasi. Tidak ada sebuah masyarakat demokrasi yang dapat bertahan tanpa
terbangunnya formasi kebudayaan yang memerdekakan jiwa warganya. Sementara
kehadiran universum kebudayaan yang merdeka hanya muncul di dalam proses
pendidikan yang mengajarkan pedagogi kritis.
Sehubungan dengan praktik
pembinaan Pancasila aktual, metode pedagogi kritis dapat menyumbang peran
edukasi untuk membentuk warga negara yang
peduli terhadap yang lain. Juga memiliki daya kritis untuk
menginterogasi berbagai bentuk ketidakadilan yang lahir dari relasi kuasa
yang asimetris.
Pedagogi di era media sosial
Di tengah transformasi besar
menuju masyarakat komunikasi lintas batas, tumbuh sebuah optimisme baru bahwa
seiring dengan pesatnya perubahan dalam teknologi informasi membentuk
generasi baru masyarakat yang terbuka terhadap perbedaan. Dalam asumsi
optimistis tersebut, pergaulan lintas batas melalui media sosial dan akses
kepada dunia internet melahirkan generasi baru yang memiliki akses komunikasi
mancanegara yang melampaui kepompong teritorialnya. Dalam pandangan seperti
ini lepaskan generasi milenial pada lalu lintas perbincangan kosmopolitan,
maka secara otomatis mereka akan menghargai keragaman.
Pandangan berbasis determinisme
teknologi informasi ini melupakan bahwa kini dunia sedang mengarah pada
penyempitan kesadaran menuju eksklusivisme golongan. Lalu lintas informasi
dan ruang komunikasi lintas batas yang tersedia di dalam dunia maya tidak
selalu identik dengan penghargaan terhadap keragaman.
Melalui perbincangan di dunia
maya, kita dapat menyaksikan berbagai bentuk dalih pembenaran terhadap
aktivitas-aktivitas kekerasan yang dilakukan Negara Islam di Irak dan Suriah
(NIIS). Demikian pula, melalui perbincangan dan informasi di media sosial,
kita menyaksikan betapa krisis ekonomi neoliberal yang melanda dunia—termasuk
di negara-negara maju—mengakibatkan tersebarnya sentimen populisme kanan yang
antirealitas multikulturalisme.
Hal demikian juga terjadi di
Indonesia, ketika perkembangan pertarungan politik di antara kekuatan
oligarki berhasil menyeret sentimen eksklusivisme golongan dan radikalisme
keagamaan sebagai alat untuk memuaskan perebutan kuasa dan kemakmuran. Dalam
kondisi ini, intervensi pendidikan kritis yang menghargai pusparagam manusia
butuh untuk dihadirkan ulang dalam arena sosial.
Pedagogi Taman Siswa
Dalam sejarah pergerakan
bangsa, pedagogi kritis yang menyempurnakan daya hidup dari tiap subyek
pendidikan bukanlah hal yang baru. Pedagogi kritis pada era prakemerdekaan
juga hadir dalam kontestasi sosial berhadapan dengan pedagogi kolonial.
Corak pedagogi kritis pada era
sebelum kemerdekaan ini diperkenalkan Ki Hadjar Dewantara melalui
institusi Taman Siswa pada 3 Juli
1922. Taman Siswa berperan penting untuk merealisasikan budaya tanding dengan
memperkenalkan pedagogi kritis untuk membentuk manusia merdeka jiwa raganya
untuk keluar dari rasa minder sebagai kawula di tanah jajahan.
Saat ini, di era milenial, peran
pedagogi kritis dalam bingkai pembinaan Pancasila memiliki tugas untuk
memaknai ulang arti praktik bernegara demokrasi yang diisi oleh
manusia-manusia yang merdeka. Mereka adalah manusia yang mampu memaknai bahwa
mengisi kemerdekaan di zaman sekarang adalah memiliki respek terhadap
perbedaan, berani menggugat segenap praktik dominasi oleh kuasa kapital,
maupun bentuk-bentuk diskriminasi sosio-kultural. Sebuah karakter yang kuat,
yang didasari oleh pemahaman bahwa negara ini bersatu dan bertujuan untuk
menghadirkan keadilan sosial dan kesetaraan bagi warganya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar