Pahlawan
Sejati dan Pahlawan Kesiangan
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
11 November
2017
Cornelis de Houtman
(1565-1599) adalah orang Belanda pertama yang dikenal di Indonesia. Ketika
belajar di SD dulu, kisah pendaratan Cornelis di Banten tahun 1596 menjadi
titik awal sejarah kelam kolonisasi Belanda di negeri ini. Dalam ekspedisi
keduanya pada 1598, bersama saudaranya, Frederik de Houtman, kapal Cornelis
mendarat di Aceh pada 1599. Karena motif penaklukan, Aceh memberi perlawanan
sengit. Cornelis takluk di tangan perempuan pejuang Aceh: Laksamana
Malahayati. Dalam duel satu lawan satu di geladak kapal pada 11 September
1599, Cornelis tewas di tangan Laksamana Malahayati. Sementara Frederik
ditawan selama dua tahun di Benteng Pidie.
Malahayati adalah sosok
luar biasa. Patriot pemberani pembela bangsa. Ia adalah perempuan laksamana
pertama tatkala gelombang pengelanaan dunia sejak abad ke-15 didominasi kaum
laki-laki. Malahayati sudah mengawali jauh dari zaman emansipasi. Keberanian
Laksamana Malahayati mendengung kembali setelah memperoleh gelar pahlawan
pada Hari Pahlawan 2017. Kamis (9/11), empat pejuang mendapat gelar pahlawan
sesuai Keputusan Presiden Nomor 115/TK/2017. Selain Laksamana Malahayati,
juga Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Madjid (Nusa Tenggara Barat),
Sultan Mahmud Riayat Syah (Kepulauan Riau), dan Lafran Pane (DI Yogyakarta).
Tuan Guru Zainuddin Madjid
(1908-1997) adalah tokoh nasionalis, tokoh pendidikan, ulama besar. Ia adalah
pejuang yang memajukan umat Islam dan kebangkitan bangsa dan tanah air,
antara lain mendirikan Nahdatul Wathan (Kebangkitan Bangsa). Pahlawan lain
Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Ia adalah pejuang yang gigih
melawan Belanda, termasuk mengobarkan perang di Teluk Riau dan perairan
Malaka pada 1784. Satu lagi Lafran Pane (1922-1991), pendiri organisasi
mahasiswa HMI pada 1947, yang kadernya banyak menjadi penguasa sampai hari
ini. Adik pujangga Sanusi Pane dan Armin Pane ini berjuang membela Republik
Indonesia yang baru saja diproklamasikan.
Seperti sosok-sosok
pahlawan sebelumnya, kisah empat pahlawan tersebut bukanlah tentang kisah
pribadinya, melainkan tentang perjuangan mereka membela bangsa dan tanah air,
tentang darma bakti mereka pada nusa dan bangsa. Mereka terpanggil
menuntaskan tugas suci (mission
sacre) pada bangsanya. Mereka memilih jalan yang senyap, seperti
peribahasa “lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dijajah”. Karena
sosok berjiwa-jiwa mulia itulah, Indonesia menjadi bangsa merdeka yang
bermartabat. Kata penulis Amerika Serikat, Joseph Campbell (1904-1987),
pahlawan adalah mereka yang memberikan hidupnya untuk hal yang lebih besar
dari dirinya sendiri.
Lalu apa makna
kepahlawanan pada era sekarang? Masih adakah darma bakti untuk Ibu Pertiwi?
Memang, ada yang berceloteh bahwa pahlawan itu tergantung persepsi sudut
pandang masing-masing. Bagi kita orang Indonesia, Teuku Umar (1854-1899),
Pattimura (1783-1817), Sudirman (1916-1950), misalnya adalah pahlawan bangsa.
Tetapi, orang Belanda melihatnya sebagai pemberontak, penjahat, pembuat onar.
Orang Filipina mengagungkan Jose Rizal (1861-1896) sebagai pahlawan mereka,
tetapi Spanyol menghukum mati sebagai pemberontak. Pahlawan orang Amerika
Serikat seperti George Washington (1732-1799) dan Thomas Jefferson
(1743-1826) pun disebut pemberontak oleh kolonialis Inggris.
Namun, yang perlu diingat
ada “nilai” yang menjadi ukuran di atas perbedaan persepsi itu. Bahwa
pahlawan sejati itu memiliki kesadaran untuk memperjuangkan “nilai-nilai
kemanusiaan”. Ini bersifat universal, melintasi batas-batas teritori dan
batas-batas identitas diri. Universalisme nilai-nilai kemanusiaan sulit
dibantah oleh argumentasi apa pun.
Penjajahan, penindasan, eksploitasi,
penistaan, kekejaman, ketidakadilan, adalah nilai-nilai yang bertentangan
dengan kodrat manusia. Penjajahan, misalnya, bukan cuma pengalaman buruk
bangsa Indonesia, melainkan juga penderitaan yang dialami bangsa-bangsa di
Asia Afrika, Asia, Amerika Selatan. Makanya, paragraf pertama Pembukaan UUD
1945 tegas-tegas mengumandangkan, “.maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Apabila melongok apa yang
terjadi dewasa ini, praktik-praktik tak manusiawi ada di depan mata:
diskriminasi, penindasan, kekejaman, penghinaan. Bahkan, hari ini, ada
pemegang mandat rakyat justru tidak amanah, tidak adil, suka menistakan orang
lain. Itulah representasi watak-watak yang tidak manusiawi dan watak penjajah,
bukan watak kepahlawanan. Di panggung politik, misalnya, hipokrisi menjadi
fenomena paling kentara. Semenjak era baru reformasi, tidak mudah menemukan
pemimpin yang menyejukkan. Justru banyak pemimpin yang suka melemparkan
bensin di atas percikan api. Mereka kerap meruncingkan sesuatu yang berbeda.
Mementingkan diri sendiri. Buktinya banyak pemimpin yang terbelit korupsi.
Rasanya jauh dari nilai-nilai kepahlawanan.
Panggung politik hari ini
rasanya sangat jauh dari harapan Aristoteles (384-322 SM) sebagai tempat
suburnya watak-watak mulia. Politik hari ini justru tampak tak malu
mempertontonkan watak-watak buas-licik, perpaduan singa dan rubah seperti
anjuran Machiavelli (1469-1527). Sangat berbeda dengan kepahlawanan Laksamana
Malahayati, Tuan Guru Zainuddin Madjid, Sultan Mahmud Riayat Syah, dan
Profesor Lafran Pane. Kita berutang kepada mereka. Apakah semangat juang
mereka menyadarkan pemimpin sekarang? Entahlah kalau sudah mati rasa. Atau,
jangan-jangan sekarang memang banyak “pahlawan kesiangan” yang merasa paling
berjasa meskipun tak melakukan apa-apa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar