NU
dan Pilgub Jatim
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
JAWA
POS, 10 November 2017
SEORANG kawan dekat saya
alumnus ITB yang amat peduli terhadap persatuan Islam berkirim pesan melalui
WA tentang kerisauannya saat mendengar bahwa ada dua tokoh NU yang akan maju
dalam Pilgub Jawa Timur (Jatim) 2018. Saya menjawab, sejak 2008 banyak tokoh
NU maju pilgub Jatim.
Saat itu PKB di bawah komando
Gus Dur mencalonkan Ahmadi dan Soehartono, Ali Maschan Moesa (ketua PW NU
Jatim) menjadi cawagub dari Soetjipto (PDIP), Khofifah berpasangan dengan
cawagub Mujiono, dan Saifullah Yusuf menjadi cawagub dari Soekarwo. Jadi,
dari 5 pasangan calon, ada 4 tokoh NU.
”Keretakan” atau pertentangan
di kalangan NU terkait dengan pemilihan langsung terjadi sejak Pilpres 2004.
Saat itu ada empat tokoh dari NU yang maju, yakni Hasyim Muzadi, Hamzah Haz,
Jusuf Kalla, dan Salahuddin Wahid. Yang aktif dalam organisasi dua, yaitu
Hasyim Muzadi dan Salahuddin Wahid. Munculnya dua nama terakhir itulah yang
memulai ”tradisi” munculnya dua tokoh NU dalam pemilihan langsung. Ironisnya,
dua nama tersebut justru tidak terpilih.
Kondisi tidak ideal itu adalah
fakta yang harus kita terima. Tidak ideal karena NU bukanlah organisasi
politik tetapi dipaksa terlibat politik praktis akibat tindakan
tokoh-tokohnya. Kalau pada 2004 hanya ada satu tokoh NU yang muncul dalam
pilpres, mungkin kondisi ideal bisa kita wujudkan dalam setiap pemilihan
langsung oleh rakyat.
Pilpres 2004
Pada akhir Oktober 2003 saya
sowan ke rumah Rais Am Syuriah PB NU KH Sahal Mahfudz di Kajen, Pati. Saat
itu saya sampaikan bahwa NU akan menghadapi masalah besar terkait dengan
Pilpres 2004. Beliau bertanya ada urusan apa NU dengan pilpres, kan NU bukan
parpol. Saya sampaikan bahwa ada kemungkinan dua tokoh NU berpotensi maju
dalam Pilpres 2004, yaitu Gus Dur dan Hasyim Muzadi. Kalau itu terjadi, warga
NU terbelah.
Hasyim didorong banyak pengurus
NU di tingkat nasional dan daerah untuk maju sebagai cawapres. Dalam
pandangan umum pada Konbes NU (2002), sudah ada tokoh NU daerah yang
mengusulkan Hasyim menjadi cawapres. Bahkan, ada konferensi persnya.
Saya usulkan kepada rais am
untuk memanggil Gus Dur dan Hasyim serta ketua umum PKB untuk mengantisipasinya.
Saya sampaikan bahwa hanya boleh ada satu tokoh NU yang maju sebagai capres.
Itu pun harus melalui PKB. Kalau Gus Dur bisa menjadi capres, kita harus
mendukung Gus Dur. Kalau Gus Dur tidak memenuhi syarat capres, tidak otomatis
ketua umum PB NU menjadi capres PKB. PB NU bersama PKB memilih capres dari
PKB yang diambil dari beberapa nama dari NU atau PKB yang punya potensi.
Rais am menjawab, sesuai
khitah, NU tidak boleh berpolitik praktis. Karena itu, beliau menolak usul
saya. Saya sampaikan bahwa melibatkan PB NU dalam kegiatan yang
mengantisipasi ”perpecahan” di NU bukanlah tindakan masuk ke dalam politik
praktis. Kita seperti mencegah bahaya yang mengancam rumah kita. Tetapi, rais
am tetap pada pendirian. Seandainya beliau menyetujui usul saya, PB NU bisa
mengawali tradisi membuat mekanisme memilih satu tokoh NU dari sekian banyak
pilihan.
Hasyim, yang sejak cukup lama
melakukan kontak intens dengan Megawati, akhirnya menjadi cawapres,
mendampingi Megawati. Saya, yang pernah berusaha mencegah munculnya dua calon
dari NU, ternyata juga menjadi cawapres, mendampingi Wiranto. Saya sungguh
tidak pernah menduga terjadinya hal itu. Selama 2003 sampai April 2004, saya
tidak pernah kontak dalam bentuk apa pun dengan Wiranto terkait dengan masalah
tersebut. Satu-satunya kontak dengan Wiranto saat itu berkaitan dengan
masalah dugaan pelanggaran HAM berat.
Pilgub Jatim 2013
Sekitar 7 bulan sebelum Pilgub
Jatim 2013, bersama sejumlah kiai saya menemui pihak PW NU Jatim untuk
mencegah munculnya dua tokoh NU dalam pilgub sebagaimana pilgub 2008. Kami
mengusulkan agar PW NU Jatim mempertemukan Khofifah dan Saifullah Yusuf untuk
tujuan tersebut. Ternyata, PW NU Jatim tidak bisa melakukan apa yang
diharapkan. Masalah itu dibawa ke PB NU dan ternyata PB NU juga tidak bisa
melakukan apa-apa.
Kalau pada 2013 PW NU Jatim dan
PB NU gagal mencegah Saifullah untuk menjadi cawagub mendampingi Soekarwo
melawan cagub Khofifah yang merupakan ketua umum Muslimat NU, jelas pada 2018
PW NU dan PB NU tidak akan mampu mencegah Saifullah untuk menjadi cagub.
Juga, memang PB NU dan PW NU Jatim tidak perlu melakukan tindakan itu.
Tetapi, kedatangan ketua umum PB NU ke rumah Megawati menemani Saifullah
perlu dipertanyakan. Sebab, tindakan itu merendahkan marwah NU.
Faktanya, ada dua tokoh NU yang
akan maju dalam Pilgub Jatim 2018. Yang perlu dijaga, jangan sampai perbedaan
pilihan itu berdampak di internal NU, yang kini sudah mulai tampak gejalanya.
Para tokoh NU Jatim harus bisa menahan diri dalam membantu calon yang didukung.
Tidak bisa diterima alasan bahwa mereka bertindak atas nama pribadi. Jabatan
itu melekat pada dirinya.
Harus dihindari kampanye
negatif yang menjelekkan atau menyerang lawan, apalagi kampanye hitam yang
memfitnah. Para tokoh NU dari kedua kelompok perlu bertemu dan membahas etika
kampanye. Warga dan tokoh NU harus bisa mewujudkan persaingan internal yang
sehat. Jangan sampai tokoh NU yang selalu bicara tentang moderatisme justru
tidak moderat terhadap sesama tokoh NU. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar