Negara
Tidak Hadir
Suparman Marzuki ; Dosen Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
|
TEMPO.CO,
03 November
2017
Realitas perlindungan hak asasi
manusia setelah Orde Baru memperlihatkan wajah paradoksal. Di satu sisi,
terjadi penguatan dalam legalisasi norma-norma hak asasi di pelbagai
peraturan perundang-undangan. Pada saat yang sama, muncul keresahan akibat
meluasnya intoleransi terhadap perbedaan serta bangkit dan beraksinya
kelompok-kelompok dengan misi memberangus kebebasan berpendapat dan
berekspresi.
Perlindungan hak asasi dan
eksistensi demokrasi bukan semakin eksis, tapi seperti unsur asing yang akan
disingkirkan. Demokrasi dan hak asasi tiba-tiba dibenci dan dicaci maki
sambil melupakan bahwa ruang yang dipakai untuk memaki itu adalah buah dari
demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia. Upaya memelihara,
memperjuangkan, dan menjaga hak-hak sipil mulai kepayahan. Ini sejalan dengan
sulitnya organisasi-organisasi masyarakat sipil mewujudkan hak-hak dan
kebebasan tersebut dalam negara yang semakin melemah.
Penyerbuan dan pembubaran acara
diskusi, seminar, pameran, atau pemutaran film oleh sekelompok orang dengan
tuduhan menyebarkan ajaran komunis telah terjadi berulang-ulang di banyak
tempat tanpa mampu dicegah oleh aparat negara. Malah, dalam beberapa
peristiwa, polisi justru meminta kegiatan itu dibubarkan.
Penyelidikan kasus penyiraman
air keras yang menimpa penyidik senior andalan Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel
Baswedan, kian tak jelas juntrungannya. Ini serupa dengan kasus yang menimpa
aktivis Indonesia Corruption Watch, Tama S. Langkung, yang dianiaya orang
tidak dikenal pada 2010. Kita lalu bertanya, di mana negara? Di mana polisi?
Mengapa mereka tidak hadir? Mengapa terlambat hadir? Mengapa kehadirannya tak
menghentikan kekerasan?
Pemberangusan hak-hak sipil
pada era Orde Baru dilakukan oleh negara. Karena itulah negara diharuskan
tidak melakukan kebijakan atau tindakan represif yang melanggar hak asasi
manusia (negative right) agar hak-hak dan kebebasan sipil terpenuhi. Tapi,
apabila negara berperan intervensionisme, tak bisa dihindari hak-hak dan
kebebasan yang diatur dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
akan dilanggar oleh negara.
Sejak 1998, perilaku represif
negara ala Orde Baru relatif selesai. Hak-hak dan kebebasan sipil politik
warga negara semakin baik seiring dengan menguatnya pengaturan hak-hak dan
kebebasan tersebut dalam peraturan perundang-undangan. Masalahnya, pada masa kini,
pelanggaran hak sipil tidak lagi dilakukan oleh negara, melainkan
kelompok-kelompok tertentu.
Lalu, bagaimana peran negara?
Untuk situasi seperti ini, negara-yang dalam konsep hak asasi mengambil peran
positif untuk pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak-hak ekonomi,
sosial, dan budaya-mau tidak mau harus menjalankan peran positif untuk
perlindungan hak sipil dengan mengambil langkah-langkah aktif dalam mencegah
dan menanggulangi perilaku kelompok tersebut. Kalau diam saja (pasif), negara
bisa dikategorikan telah melakukan kejahatan dengan pembiaran, atau bahkan
bisa dituduh menjadi bagian dari kekerasan diam-diam.
Karena itu, negara sangat
diharapkan tidak lagi absen, melainkan hadir dengan misi dan pesan kuat untuk
melindungi hak-hak dan kebebasan serta harkat dan martabat kemanusiaan warga
negara yang telah dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Ini dilakukan
demi negara hukum, demokrasi, dan konstitusi yang telah dibangun selama ini.
Paradigma negara demikian itu
pernah ditunjukkan oleh Presiden Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower ketika
mengirim pasukan Divisi Airborne 101 dari Angkatan Darat Amerika ke Arkansas
untuk melindungi sembilan murid kulit hitam dari tindakan segregasi. Langkah
Eisenhower berhasil. Dengan demikian, pada 23 September 1957, untuk pertama
kalinya, sembilan murid itu berhasil masuk sekolah dengan kawalan 1.200
tentara.
Langkah Eisenhower sempat
dipertanyakan publik Amerika sebagai tindakan berlebihan. Tapi sang Presiden
menyatakan bahwa apa yang terjadi terhadap sembilan anak kulit hitam itu
adalah persoalan kemanusiaan yang serius. Jika dibiarkan, hal ini akan
mengancam kelangsungan kehidupan kemanusiaan warga negara Amerika pada masa
depan.
Kita merindukan negara yang
menaruh hormat terhadap hak dan kebebasan warga negaranya secara maksimal
agar tumbuh pula penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Tidak ada
gunanya kemajuan ekonomi dengan segala kemewahan infrastruktur yang kita
miliki jika hak-hak dan kebebasan warga negara terancam setiap saat. Kita pun
barangkali sukar mengharapkan sikap hormat negara lain kepada warga negara
kita di mana pun kalau tidak ada rasa hormat negara kita sendiri kepada warga
negaranya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar