Kepahlawanan
Emansipatif
Geger Riyanto ; Esais, Peneliti Sosiologi;
Mengajar Filsafat
Sosial dan Konstruktivisme di Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
10 November
2017
Hikmah yang, menurut saya,
paling bermakna dari kisah kepahlawanan adalah bagaimana mereka yang
mengalami ketidakadilan, penindasan, dan ketidaksetaraan diemansipasi melalui
pergerakan sang figur. Perjuangan bersenjata adalah perkakas untuk
menggapainya, sebagaimana halnya perjuangan politik, pengorganisasian,
pendidikan, serta pembentukan kesadaran.
Dalam perjalanannya, sayangnya,
perkakas ini acap kali tertukar dengan tujuan itu sendiri. Kekerasan,
penyingkiran, penolakan kelompok liyan acap kali menjadi isyarat tindakan
kepahlawanan per se.
Dari masa ke masa, hal ini
terlihat dari bagaimana kita menakar martabat seseorang atau sekelompok insan
sebagai warga negara dengan apa yang pernah dilakukannya untuk mengenyahkan
penjajah melalui perjuangan bersenjata. Dan, tentu saja, dari bagaimana kita
menganggap kemerdekaan sebagai semata hasil dari peperangan.
Akan tetapi, barangkali tidak
ada yang lebih terang mengindikasikan kecenderungan ini dibandingkan dengan
produk perundang-undangan kita sendiri. Pada Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, mereka yang
didefinisikan sebagai pahlawan ditandai paling pertama dengan “perjuangan
bersenjata”, barulah setelah itu “perjuangan dalam bidang lain”.
Kerumitan politik
Situasi di atas memiliki latar
belakang sejarah yang sebenarnya masuk akal. Sejak awal, gagasan kepahlawanan
tidak pernah bisa dipilah dari keruwetan politik yang berkembang pada satu
masa.
Gagasan kepahlawanan yang kita
anut sekarang ini, jika kita periksa, berakar dari kepenatan para nasionalis
dengan sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda, yang melihat
sejarah sebagai gerak berdirinya kekuasaan Belanda di kepulauan Nusantara.
Pada kurun 1930-an, para
penggerak nasionalis pun memelintir narasi buku-buku sejarah tersebut dengan
mengangkat tokoh-tokoh lokal yang menghalau tegaknya kekuasaan Belanda justru
sebagai pahlawan. Pada kurun ini didapatilah tiga sosok pejuang yang
dipanggil Soekarno sebagai “pahlawan tiga sekawan”. Mereka adalah Diponegoro,
Teuku Umar, dan Tuanku Imam Bonjol.
Latar belakang sejarah lainnya
adalah dilema mempertahankan ke-utuhan Republik. Sewaktu penetapan pahlawan
dilembagakan sebagai program negara pada akhir tahun 1950-an, persoalan yang
paling kentara menggeluti Indonesia adalah pemberontakan demi pemberontakan.
Pada waktu itu, legitimasi dan
otoritas Republik Indonesia di daerah-daerah masih sangat goyah. Dengan
dukungan Soekarno, pemberian gelar pahlawan nasional pun dicanangkan sebagai
program negara. Harapannya adalah daerah-daerah, setelah mempunyai tokoh yang
ditetapkan sebagai pahlawan, merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Di banyak tempat saat itu,
kesadaran untuk menjadi bagian dari Indonesia tidak bisa dikatakan menancap
sekuat hari ini. Akan tetapi, betapapun tipisnya perasaan kesamaan di antara
daerah-daerah pada masanya, setiap daerah dipastikan mempunyai kisah
perlawanan serta kepenatannya sendiri dengan kolonialisme Belanda.
Narasi-narasi ini lantas dimanfaatkan untuk membangun perasaan mereka merupakan
bagian dari kesinambungan sejarah yang sama.
Dengan menetapkan para
penggerak perlawanan ini sebagai pahlawan bagi bangsa Indonesia, gagasan
bahwa mereka adalah satu kemudian dikukuhkan. Mereka berjuang melawan
penjajah zalim yang satu dan bergerak dalam derap historis yang sama untuk
memerdekakan diri dari penjajahan.
Strategi pembentukan kesadaran
sejarah ini punya faedahnya, tentu. Dan bagi para pemimpin yang merintisnya,
mereka boleh jadi tidak mempunyai pilihan lain. Namun, kita pun menjadi
terbiasa dengan identitas Indonesia yang dibangun secara negatif, yakni
dengan penafian terhadap yang lain.
Yang terjadi selanjutnya,
berkat kategori pahlawan yang leluasa ini, daerah-daerah berlomba-lomba untuk
meraih kehormatan di panggung nasional. Mereka menyemarakkan kajian sejarah
terhadap tokoh-tokoh lokalnya, tetapi dalam melakukannya, dari antara
khazanah yang begitu luas yang digali, terbatas pada cerita-cerita peperangan
di masa silam.
Satu habitus yang terpancang
dari situasi ini adalah kita menjadi terbiasa mengisahkan sejarah sebagai
drama memerangi yang lain. Militerisasi sejarah, yang berlangsung pada masa
Orde Baru, pun memperkeruh kecenderungan ini.
Bentuk-bentuk perjuangan di
luar perjuangan bersenjata tidak dianggap memiliki arti yang sama terhadap
kemerdekaan. Usaha-usaha yang berkontribusi bagi berdirinya negara Indonesia
yang berdaulat adalah yang dilakukan oleh militer, yang berkesinambungan
dengan yang dilakukan oleh para pahlawan dari daerah-daerah di masa silam.
Bukan soal drama
Saya kira, tidak ada waktu yang
lebih tepat lagi untuk memeriksa kembali pemahaman kita perihal kepahlawanan
dibandingkan pada saat ini. Citra kepahlawanan yang antagonistis bukan hanya
menghilangkan dimensi-dimensi yang justru esensial dari kepahlawanan itu sendiri.
Kita seyogianya menyadari bahwa legitimasi populer dari kekuasaan politik
hari-hari ini dilanggengkan melalui citra heroik yang merisak yang lain.
Dari mana, toh, muasal para
pemimpin populis yang kini tengah naik daun di mana-mana? Mereka memperoleh
momentum berkat keberhasilannya mengalihkan kegamangan dan frustrasi warga
yang diakibatkan krisis-krisis sistemik menjadi kemurkaan kepada kelompok
rentan.
Lantas, mereka membawakan diri
mereka sebagai pahlawan yang akan mengenyahkan insan-insan liyan ini dan
mengembalikan kedaulatan pemilihnya sebagai rakyat asli yang berhak atas
segalanya. Dan masalahnya, dengan pengidentikan berlarut-larut kepahlawanan
dan peperangan, retorika heroisme yang demikian pun sangat mudah terpatri
dalam ingatan.
Anda bisa menanyakan kepada
para siswa sekolah yang lemah dalam pelajaran Sejarah sekalipun. Terlepas
mereka kesulitan mengingat tahun-tahun peristiwa bersejarah penting, mereka
paham, Indonesia berdiri karena perjuangan bersenjata sebelum karena
bentuk-bentuk perjuangan lainnya.
Anda juga bisa mencermati para
anak muda berpengaruh zaman kini yang gemar berceloteh dengan berbagai
wahana. Kita akan menemukan tak sedikit di antaranya yang sulit untuk memilah
kemerdekaan dari kemenangan perang.
Dengan beban khazanah sejarah
yang demikian, bukankah kekerasan terhadap sang liyan dapat dengan mudah
tergelincir menjadi isyarat kepahlawanan? Tidakkah ia akan melambungkan para
pengumbar kebencian ke kedudukan-kedudukan yang tinggi? Lebih jauh, tidakkah
ia akan menghilangkan mereka yang mempunyai andil nyata mengemansipasi sesama
dari tempat yang seharusnya di halaman sejarah?
Kancah Tan Malaka, misalnya,
yang berjuang dengan menulis, mendidik, mengorganisasi, akan terpendam jika
bukan berkat peneliti “negeri penjajah” yang mendedikasikan hidupnya meneliti
Tan. Tirto Adhi Suryo, pencetus surat kabar yang pertama kali menggunakan
bahasa Indonesia, mungkin tak akan kita kenal tanpa tetralogi Buru Pram.
Rasa keadilan
Pada titik ini, karena itu,
kita perlu menyigi lagi pijakan perjuangan para sosok yang nama-namanya sudah
dinobatkan sebagai pahlawan. Dari masa silam baik yang jauh maupun dekat,
para sosok ini senantiasa berangkat dari tergugahnya rasa keadilan mereka.
Mereka bersolidaritas dengan
insan-insan yang diperlakukan secara tidak setara dan berusaha untuk
melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan tersebut. Ketika mereka memilih
perjuangan bersenjata, ia adalah cara yang tersedia bagi mereka saat itu. Ia
penting, tetapi, bagi insan-insan lain, cara-cara lain pun tersedia.
Apabila kita memulai dari
pemahaman yang demikian, saya percaya, kita dapat merayakan gagasan
kepahlawanan yang lebih peka zaman dan ruang, yang mentransformasi alih-alih
menihilkan. Kepahlawanan tidak akan selalu dramatis. Namun, dengan demikian,
ia berorientasi pemberdayaan, bukannya permusuhan. Kepahlawanan tidak akan
selalu bergelora. Namun, ia dapat dilakukan semua dan bukan satu-dua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar