Jumat, 17 November 2017

Kegaduhan KPK versus Polri

Kegaduhan KPK versus Polri
Sudjito ;  Guru Besar Ilmu Hukum UGM
                                              KORAN SINDO, 14 November 2017



                                                           
KEGADUHAN sama artinya dengan keributan, kekacauan, atau kerusuhan. Ini bukan istilah baru. Pun pula publik sudah paham maknanya. Tak seorang pun menghendaki kegaduhan itu terjadi. Pastilah ada upaya-upaya pencegahan maupun penyelesaian, bila kegaduhan terjadi di luar harapannya. Suasana kehidupan damai, tenang, dan tenteram, menjadi dambaan bersama, agar kehidupan berjalan lancar dan produktif.

Realitas empiris menunjukkan, kegaduhan antara KPK versus Polri tidak pernah sirna. Dari satu kasus ke kasus lainnya, kegaduhan kembali menyembul ke permukaan. Drama ”cicak versus buaya” yang pernah menggemparkan negeri ini beberapa waktu lalu, kini po­tensial terulang kembali, ketika Bareskrim Polri menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, terkait laporan Sandi Kurniawan. Riak-riak kegaduhan itu sudah kasatmata.

Patut diapresiasi sikap bijak Presiden Joko Widodo cepat merespons riak-riak kegaduhan tersebut. Beliau meminta perkara yang menjerat Agus dan Saut dihentikan bila tidak berdasarkan bukti. ”Jangan sampai ada tindakan-tindakan yang tidak berdasar bukti dan fakta. Saya sudah minta dihentikan kalau hal-hal seperti itu, dihentikan,” kata Presiden sebelum bertolak ke Vietnam di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (10/11/2017).

Hikmah pelajaran macam apa yang mesti ditarik oleh bangsa ini, mengapa ”perseteruan” antara KPK versus Polri masih menyisakan ”titik-titik api”, yang sewaktu-waktu bisa membara kembali?

Pertama, mestinya semua pihak sadar bahwa negeri ini berdasarkan pada hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan semata. Indonesia yang kita cintai ini, adalah negara hukum. Secara eksplisit, konstitusi telah menyuratkan hal tersebut. Telah jelas pula diperoleh pemahaman tentang kaitan antara hukum dan kekuasaan. Amanat konstitusi itu mestinya menjadi dasar dan pintu masuk penyelesaian setiap ada kegaduhan antara KPK versus Polri. Tegasnya, kedua belah pihak diharapkan tidak berpolemik dan berdebat soal perundang-undangan, ataupun perihal kekuasaan masing-masing semata, tetapi berintrospeksi untuk mendudukan sikap dan perilakunya itu sampai pada tataran konstitusi secara utuh, termasuk kandungan nilai-nilai Pancasila yang terdapat di dalamnya.

Kedua, memahami kaitan antara hukum dan kekuasaan, memang tidak semudah membalik tangan. Pemahaman bisa sesat, bila diawali emosi, nafsu kekuasaan, atau kepentingan institusional. Sikap emosional, perlu diredakan dulu, sebelum sampai pada suatu keputusan tertentu. Kendali diri melalui pendayagunaan kalbu, pendayagunaan kecerdasan spiritual, perlu dimaksimalkan. Amat disayangkan bila tokoh-tokoh yang diberi amanat sebagai penegak hukum, kehilangan jati dirinya sebagai manusia beradab, tidak berbudi luhur, tetapi mengumbar nafsu-nafsu kekuasaannya. Jangan nodai negeri ini dengan sikap dan perilaku rasional tanpa moralitas kebangsaan.

Ketiga, memang, kaitan antara hukum dan kekuasaan di era modern, utamanya di era pascareformasi, menunjukkan kompleksitas perbauran (bagai benang kusut), tidak mudah diurai. Bahkan terkesan antara hukum dan kekuasaan saling menolak atau menihilkan. Kajian sosiologi hukum memperlihatkan bahwa orde hukum sering gagal mengendalikan kekuasaan. Kekuasaan secara laten dikembangkan oleh pihak-pihak tertentu dengan ”selimut hukum”, melalui rekayasa hukum dalam bentuk permainan-permainan bahasa (language game), permainan politik (politic game), atau permainan citra (image game). Segala bentuk permainan itu merupakan ekspresi dari upaya menundukkan lawan-lawannya. KPK, Polri, DPR, dan para lawyers tampak semakin lihai berperan dalam berbagai bentuk permainan itu.

Keempat, praktik penggunaan kekuasaan disertai kekuatan yang bertumpu pada logika linier, mekanistik, dan positivistik, terus mencari legitimasi, betapapun tampil dalam bentuk kekuatan kasar, banal, arogan. Sikap dan perilaku KPK, Polri, DPR, dan para lawyers, tidak lain merupakan ekspresi dari penerjemahan kekuasaan dalam orde hukum, agar tampil lebih halus, santun, elegan, walaupun isi dan motif sebenarnya memaksakan kekuasaan itu sendiri.

Kelima, tidak jemu-jemunya diingatkan perihal tesis kekuasaan dari Lord Acton bahwa ”kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan mutlak juga akan melakukan korupsi secara besar-besaran”. KPK, Polri, DPR, dan lawyers diakui atau tidak merupakan institusi-institusi yang kekuasaannya melimpah, sulit dikontrol pihak lain. Ini masalah tata Negara serius. Dalam realitas demikian, kekuasaan itu tidak pernah netral, melainkan potensial menjadi berkarakter negatif, yakni diarahkan untuk melumpuhkan kekuasaan institusi lain. Demokrasi liberal yang didesain dengan rambu-rambu check and balances, sering digunakan sebagai alat kontrol terhadap kekuasaan institusi lain. Nyatanya, balances  itu impian, sementara cekcok menjadi keniscayaan.

Pada akhirnya diingatkan, bahwa kita berkeinginan membangun negeri ini sebagai negara kekeluargaan. Nilai-nilai Pancasila dapat dirujuk sebagai dasar pijakannya. Dalam negara kekeluargaan berdasarkan Pancasila, dipandang amat penting eksistensi, fungsi dan posisi lembaga anti rasuah diperkuat, agar kehancuran negara karena maraknya korupsi dapat dicegah. Semua pihak, perlu peduli agar kasus korupsi e-KTP dan kasus-kasus korupsi lainnya, diproses hukum, tanpa pandang bulu, siapa pun terlibat di dalamnya.

Ada pepatah, kehidupan itu bagai roda berputar. Kegaduhan KPK versus Polri dapat diputar dan ditransformasikan menjadi keteduhan, bila komitmen bernegara kekeluargaan benar-benar diimplementasikan. Kita tunggu, kemampuan dan kemauan KPK, Polri, dan para lawyers menjabarkan permintaan Presiden Joko Widodo perihal dihentikannya kegaduhan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar