”Kanan”
Zaman Kini
Budiman Sudjatmiko ; Fraksi PDI Perjuangan
DPR
|
KOMPAS,
04 November
2017
Kebodohan yang terus diulang,
lama-lama akan tampak
sebagai sikap bijak
Voltaire
Dari beragam identitas yang
melekat pada manusia, seperti jenis kelaminnya, profesinya, umurnya, rasnya,
agamanya, kelas sosialnya, hanya tiga yang saya sebut terakhir yang secara
masif bisa dipakai untuk identitas politis. Ketiganya bertanggung jawab atas
berbagai peristiwa politik besar di seluruh permukaan Bumi selama ribuan
tahun terakhir.
Semua identitas tadi dipakai
manusia untuk berhubungan dengan manusia lain, baik untuk berkonfrontasi,
berkompetisi maupun berkolaborasi dalam rangka mengelola sumber daya politik
dan ekonomi. Dari ketiga identitas politik tadi dan tiga pilihan cara
penerapannya, kita bisa melihat asal-usul ideologi-ideologi besar dunia.
Salah satunya adalah Populisme Kanan Jauh (Far Right) atau politik rasisme.
Gelombang populisme kanan jauh
yang melanda negara-negara di Eropa dan AS bisa dijelaskan sebagai fenomena
penggunaan ras dalam cara manusia berkompetisi memperebutkan sumber daya
politik dan ekonomi. Ia menggeser kubu Kanan yang lebih moderat dalam politik
yang selama puluhan tahun terakhir menggunakan sentimen kelas sosial
pengusaha untuk berkompetisi lewat pendekatan ekonomi pasar bebasnya.
Ini bukan fenomena baru. Kaum
Kanan Jauh pernah juga menggunakan sentimen ras (dan kadang dibalut dengan
agama) untuk berkonfrontasi melawan yang dianggap lain (the others) dalam
rupa kolonialisme dan fasisme. Figur dan ide populis Kanan Jauh bermunculan
dalam kompetisi demokratis dan sukses meraih dukungan mengesankan. Mulai dari
Donald Trump di AS, Jean Marie Le-Pen di Perancis, Partai AfD di Jerman,
kampanye Brexit di Inggris dan yang terbaru Sebastian Kurz di Austria.
Fenomena ini mencerminkan satu
hal: kemarahan publik terhadap situasi ekonomi dan politik global saat ini.
Globalisasi neoliberalisme (pendekatan kompetisi berbasis kelas majikan uang
dan kapten-kapten industri) dipandang sebagai akar masalahnya. Kelas menengah
bawah di Barat dibuat resah secara ekonomi karena ketidakpastian ekonomi
pascakrisis 2008 yang berkepanjangan.
Sementara arus buruh migran dan
pengungsi menimbulkan persoalan kultural yang memicu bangkitnya sentimen
identitas ”pribumi” di Eropa Barat dan AS. Mereka punya retorika ”aseng dan
asingnya” yang menjadi komoditas politik murah meriah. Karena ia bermula di
negara-negara yang menjadi kiblat global neoliberalisme dan demokrasi, ia
cuma menjelaskan satu hal yang lebih fundamental: reorientasi ideologi
ekonomi global.
Kanan di abad XX dan XXI
Selama empat dekade terakhir
neoliberalisme telah menjadi sebuah konsensus ekonomi bersama partai-partai
politik utama di Barat. Kombinasi kebijakan privatisasi, deregulasi,
perdagangan bebas menjadi resep standar untuk pencapaian kemakmuran secara
global. Pasar bebas memungkinkan mobilisasi modal, barang, dan tenaga kerja
berlangsung tanpa hambatan. Negara berkembang mau juga ambil untung oleh
masuknya investasi asing, negara maju menikmati harga barang yang kian murah,
pemodal diuntungkan oleh buruh murah dan proses produksi yang kian efisien.
Namun, neoliberalisme juga
menimbulkan persoalan ketimpangan dan pengangguran bahkan di negara kapitalis
Barat yang jadi asalnya. Kebijakan alih daya (outsourcing) membuat sektor
manufaktur di negara maju tak berkembang. Sementara kapital yang diperoleh
dari perdagangan bebas hanya terkonsentrasi di sejumlah kecil elite pemodal.
Partai-partai politik utama, kiri- tengah maupun kanan-tengah, yang sama-sama
mengadopsi kebijakan neoliberal juga enggan mendistribusikan kapital.
Tampilnya China, Rusia, dan
India sebagai negara kekuatan ekonomi baru membuat kompetisi dunia kian
sengit. Ketiga negara ini mampu melakukan serangan balik yang menohok dengan
masuk ke dapur negara-negara kapitalis Barat. Keuntungan yang diperoleh dari
pasar bebas tak lagi didominasi negara kapitalis Barat. Namun krisis keuangan
2008 jadi titik balik. Lapisan-lapisan kosmetik luntur.
Meski dunia tak selalu adil
(fair), tetapi ia pasti selalu mencari titik-titik untuk seimbang (balanced).
Kegagalan neoliberalisme negara-negara Barat mendorong pendulum relasi negara
dan pasar kembali berubah mencari keseimbangan baru.
Krisis kapitalisme global yang
memicu munculnya paradigma alternatif sebenarnya bukan hal baru. Krisis
Depresi Besar di 1930 memunculkan rumusan baru Negara Kesejahteraan, New Deal
dan Keynesianisme. Sementara krisis Great Inflation di 1970 memunculkan kebijakan
fundamentalisme pasar dan neoliberalisme. Pertanyaannya, apa alternatif
pascakrisis 2008?
Jika krisisnya ada di kubu
neokonservatif dan neoliberal, secara alami pendulumnya harusnya bergerak ke
progresif, yaitu ke sisi negara kesejahteraan sosial. Langkah strategis
harusnya diambil untuk mengalihkan dari kompetisi antarkelas sosial menjadi
kolaborasi antarkelas sosial. Beberapa fenomena politik seperti kemunculan
sosok politik baru yang progresif di Perancis, AS, Kanada dan Spanyol adalah
dari pergerakan pendulum ini.
Mereka mendorong regulasi
perlindungan bisnis kelas menengah bawah untuk melunakkan kompetisi
antarpemodal dan mendorong kewirausahaan sosial dengan membentuk koperasi-
koperasi (Badan Usaha Milik Rakyat) atau dengan mereduksi kompetisi
antartenaga kerja melalui, misalnya, program kesejahteraan (welfarism) yang
fundamental dalam rupa Pemenuhan Kebutuhan Dasar Universal (Universal Basic
Income).
Masalahnya, kaum progresif
bukan satu-satunya yang menawarkan jawaban. Alternatif jawaban juga
ditawarkan oleh zombie populisme kanan jauh yang tak butuh kemampuan berpikir
yang rumit-rumit. Oleh emosi purbawi, pendulum negara-pasar itu juga dipaksa
makin jauh ke kanan melalui kombinasi kebijakan proteksionisme yang berbasis
etno-nasionalisme dan bahkan rasis, tetapi anti-welfarism. Bumbu politik
identitas dimainkan dan menjadi pengikat koalisi lintas kelas
pemodal-menengah bawah yang menjadi tulang punggung kebangkitan populisme
kanan jauh saat ini.
Padahal, kelas menengah bawah
korban neoliberalisme hanya berperan simbolik dalam genderang pemodal yang
terancam kompetisi global. Kita dapat melihat fenomena yang sama dalam
konflik antara taksi konvensional dan taksi berbasis aplikasi. Namun koalisi
itu tak akan bertahan lama. Pada satu titik kelas menengah bawah akan melihat
bahwa kebijakan ekonomi dari populis ekstrem kanan tak menjawab persoalan
mereka.
Politik progresif
Populisme kanan jauh di Barat
merupakan wake-up call bagi setiap kaum demokrat progresif di Indonesia. Pada
era digital para demagog kanan jauh dapat saling menginspirasi dengan
semangat menolak modernitas, antikesetaraan, mencurigai pluralisme dan sinis
terhadap perlindungan hak-hak minoritas. Retorika konfrontatifnya diarahkan
tak hanya ke atas (elite politik), tetapi juga ke samping sesama rakyat
(minoritas etnis atau agama, bahkan ke kaumnya sendiri yang moderat, toleran
dan progresif). Bahan bakarnya adalah ”identitas” manusia sebelum usia
produktifnya, baik saat dia masih dikandung sembilan bulan hasil pembuahan
ibu dan bapak ras tertentu maupun keyakinan-keyakinan yang ditanamkan sejak
masih kecil dengan membakar-bakar rasa kesukuan dan keagamaan.
Menjadi kanan tampaknya
merupakan keseksian politik baru sekarang. Ini dimanfaatkan oleh
politisi-politisi ambisius dan oportunis yang malas berpikir tetapi lihai di
retorika kosong melompong. Di Barat isu imigran, Islamofobia dan xenofobia
dieksploitasi politisi kanan jauh untuk mengeruk laba pemilu. Di Indonesia,
ketakutan akan ”aseng-asing” dimainkan untuk tujuan politik. Padahal, kondisi
obyektifnya jauh berbeda.
Sejauh ini ekonomi Indonesia
tetap tumbuh dengan tingkat pengangguran, kemiskinan, dan rasio Gini
(indikator ketimpangan) yang menurun. Isu imigran versus pribumi lebih
merupakan isu jadi-jadian yang disebar lewat dunia maya. Ia lebih menyerupai
asap dari rokok elektronik daripada api sungguhan di ujung cerutu. Meski
begitu sensasinya sama menyalanya dan bisa menjadi kanker ganas yang
menyerang paru-paru alasan adanya Indonesia, yaitu kebinekaan.
Rasisme atau fasisme
(konfrontasi antarras dan agama) bukan jawaban. Ia sudah membunuh puluhan
juta orang pada masa lalu, dan pasti petaka untuk masa depan dunia. Era
digital sebenarnya telah menjalarkan peluang hadirnya politik ekonomi
progresif dengan sama cepatnya, yang semangatnya adalah kolaborasi antar
kelas sosial, partisipasi dari bawah, ko-kreasi dan kecerdasan kolektif
warga. Ia secara etis layak melengkapi kolaborasi antarras dan umat agama
yang sudah menjadi sistem kerjanya jejaring sosial orang-orang di Nusantara
untuk Sumpah Pemuda dan kemerdekaan Indonesia.
Memang tak mudah tetap waras di
tengah-tengah hasutan. Baiknya kita terjaga dan bergegas sebelum kebodohan
yang terus diulang bisa menampilkan diri seolah sebuah sikap bijak. Betapa
benarnya peringatan Voltaire, si filsuf Prancis itu, pada lebih dari 200
tahun lalu untuk milenial-milenial progresif era kini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar