ASEAN,
Milik Siapa?
Mh Samsul Hadi ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
13 November
2017
Dalam wawancara khusus, Oktober
lalu, mantan diplomat Singapura, Kishore Mahbubani, tertawa mengingat pengalamannya
menjadi pembicara pada Conference on Indonesia Foreign Policy 2017 di
Jakarta. “Saat tanya-jawab, ada peserta tidak tahu anggota ASEAN. Ada yang
mengira Australia anggota ASEAN, ha-ha-ha,” kata mantan Presiden Dewan
Keamanan PBB itu.
Kishore tak sedang menertawakan
warga Indonesia, satu dari lima negara pendiri ASEAN, yang disebutnya
menyumbang budaya “musyawarah” (konsultasi) dan “mufakat” (konsensus) bagi
kultur damai ASEAN. Ia ingin mencontohkan, hingga usianya yang 50 tahun,
ASEAN belum dimiliki rakyatnya.
ASEAN baru dimiliki oleh
pemerintahnya, tetapi belum oleh rakyatnya. Mengapa hal itu terjadi? Banyak
faktor penyebab. Salah satunya, minimnya pemahaman dan penghargaan warga yang
berakumulasi menjadi ketidakpedulian kepada ASEAN. Atau sebaliknya, rakyat
belum merasakan manfaat langsung keberadaan ASEAN. Manfaat yang dirasakan
warga baru sebatas bebas visa kunjungan. Warga Indonesia, misalnya, tak perlu
mengurus visa saat melancong ke Singapura atau Bangkok.
Manfaat lain lebih dari itu belum
terasa. Padahal, akhir-akhir ini, kesadaran di kalangan pemerintah terhadap
pentingnya manfaat ASEAN dirasakan warganya berulang kali dilontarkan.
People-centered, people-oriented, dan jargon-jargon serupa kerap berhamburan
di ruang-ruang pertemuan ASEAN.
Namun, realisasinya minim. Dua
tahun lalu, saat Masyarakat Ekonomi ASEAN diberlakukan mulai Desember 2015,
majalah The Economist secara sinis menyebut inisiatif itu hanya “menciptakan
kemeriahan, tetapi substansinya tak seberapa”. “ASEAN kelihatan baru lebih
fokus di atas kertas ketimbang pada spirit integrasi kawasan,” tulis majalah
itu, Januari 2016.
Penilaian ini tak salah, kata
Kishore dalam buku terbarunya bersama Jeffery Sng, ASEAN Miracle: A Catalyst
for Peace, yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia (Keajaiban ASEAN: Penggerak
Perdamaian, PT Gramedia Pustaka Utama, 2017). ASEAN, tulis Kishore, sering
lebih mirip seekor kepiting. “Dua langkah maju, satu langkah mundur, satu
langkah ke samping,” sebut Kishore. Dengan langkah itu, wajarlah ASEAN dilihat
sebagai organisasi yang lamban atau kurang tegas dalam merespons isu-isu.
Seorang rekan menyebut ASEAN tak ubahnya paguyuban arisan, dengan lebih dari
1.000 pertemuan setahun.
Dari beberapa kali meliput
pertemuan ASEAN, dari pertemuan tingkat menteri luar negeri (AMM) hingga
konferensi tingkat tinggi (KTT), sedikit banyak saya mendapatkan “kearifan”:
jangan berharap ada kehebohan dalam pertemuan ASEAN. Kalaupun ada kehebohan,
seperti pada KTT ASEAN 2016 di Laos, hal itu hanya warna-warni di luar sidang,
semacam umpatan kasar Presiden Filipina Rodrigo Duterte kepada Presiden AS
(kala itu) Barack Obama atau mangkirnya Duterte dalam sidang sesi pagi.
Kegagalan menghasilkan komunike, seperti pada AMM 2012 di Kamboja, sangat
langka terjadi.
Apakah watak dan tradisi ASEAN
itu merupakan kelemahan? Tergantung cara melihatnya. Hal ini bisa dipandang
sebagai kelemahan, tetapi sekaligus sebagai kekuatan. Lewat musyawarah
mufakat, tanpa votingmayoritas, tidak juga veto, 1.000 pertemuan ASEAN dalam
setahun menempa jaringan personal yang kuat di kalangan para pemimpin. Hal
itu yang, antara lain, menjadi-mengutip istilah Kishore dan Jeffery-keajaiban
ASEAN. Saat perkumpulan negara-negara Arab Teluk (GCC) terkoyak, juga Uni
Eropa goyah dengan keluarnya Inggris, serta organisasi-organisasi kawasan
yang tidak solid, ASEAN kokoh bersatu di usia 50 tahunnya.
Namun, satu hal yang perlu
diingat, tanpa manfaat keberadaan ASEAN dirasakan langsung oleh warganya,
jangan harap tumbuh rasa memiliki di kalangan warganya. Memasuki 50 tahun
kedua ASEAN, warga akan terus bertanya: ASEAN ini milik siapa? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar