Polemik
Harga Batubara PLN
Singgih Widagdo ; Ketua Kebijakan Publik, Ikatan Ahli Geologi
Indonesia (IAGI)
|
KOMPAS,
13 Oktober
2017
Sebuah bangsa yang tidak bisa menguasai sumber-sumber daya
energinya tidak akan mampu pula mengendalikan masa depannya (A nation that
can’t control its energy sources, can’t control its future).
Pendapat mantan Presiden AS Barack Obama ini bisa kita
pakai untuk mengevaluasi kebijakan energi kita. Sejauh mana negara kita mampu
bukan sekadar memiliki, melainkan juga menguasai sumber daya alam kita?
Saat ini harga batubara PLN tengah menjadi
perdebatan. Menteri ESDM Ignasius
Jonan pun tak setuju dengan usulan harga cost plus yang ditawarkan PLN. PLN
tetap diminta efisien (Kompas, 29/9). Memperdebatkan harga batubara PLN
menjadi indikasi negeri ini memang belum matang karena terjebak pada
pengelolaan batubara tanpa visi jangka panjang. Pada saat negara lain
bergerak maju untuk menguasai teknologi batubara, kita justru bergerak mundur
masih memperdebatkan sumber daya batubara dan harga batubara.
Di sejumlah negara maju, perdebatan lebih mengarah pada
upaya negara menguasai energi (batubara), sekaligus membangun kekuatan
geopolitik energi bagi kepentingan negara. Ironisnya, kita baru sebatas
kebanggaan memiliki (bukan menguasai) sumber daya batubara. Masih jauh dari
bicara teknologi.
Selama ini, batubara sebatas diperdebatkan sebagai
komoditas, dan bukan energi. Baik PLN maupun ESDM selalu bersitegang tentang
harga batubara untuk kebutuhan PLN. Lantas bagaimana masalah harga batubara
semestinya dapat diselesaikan dan secepatnya bangsa ini lebih bergerak maju
dengan mengangkat teknologi batubara?
Harga batubara PLN
Penilaian yang sering kali muncul dalam komunitas industri
pertambangan batubara terhadap PLN adalah kebijakan harga batubara. Bahkan,
penilaian pernah lebih condong ke arah negatif di saat PLN memanfaatkan izin
usaha pertambangan (IUP) skala kecil untuk
menjadi pemasok bagi pembangkit listrik tenaga batubara (coal power plant)
yang dimiliki PLN.
Sebaliknya, PLN pun sering memandang perusahaan
tambang batubara lebih mengedepankan
masalah harga batubara, tanpa mau tahu bagaimana PLN harus menghadapi harga
jual listrik yang demikian rendah dibandingkan biaya produksi. Muncul
kekhawatiran PLN, saat harga batubara meningkat tajam, perusahaan tambang
lebih memprioritaskan ke ekspor.
Maka, sangat wajar jika PT PLN (Persero) lalu membentuk
PLN Batubara (PLNBB) sebagai anak perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batubara meski masih
sebatas sebagai coal trader. Manajemen
terus berusaha mengembangkan PLNBB agar dapat memiliki dan mengoperasikan
tambang batubara milik sendiri. Dengan demikian, akan mampu keluar dari
masalah jaminan pasokan, baik dari sisi jumlah maupun kualitas (coal security
supply dan coal consistency quality).
Meski demikian, teguran Menteri Keuangan Sri Mulyani
Indrawati dan Jonan agar PLN dapat menekan harga batubara semestinya tak
lantas diterjemahkan PLN dengan buru-buru mengakuisisi tambang batubara serta
terus menekan seluruh pemasok untuk menurunkan harga batubara. Masih banyak
cara lain yang semestinya dapat dilakukan pemerintah (PLN dan ESDM), baik
jangka pendek maupun panjang, untuk meminimalkan fluktuasi harga.
Dari sisi pasokan, pada setiap kontrak yang dimiliki
penambang besar (coal contract of
work) telah tercantum ketentuan untuk memberikan prioritas pasokan ke dalam
negeri di saat kebutuhan dalam negeri
terganggu. Oleh ESDM telah dibuat
detail lewat kebijakan Domestic Market Obligation (DMO).
Langkah korporasi PLN untuk mengakuisisi tambang batubara
di saat kebijakan harga batubara acuan (HBA) belum berlaku menjadi sangat
jauh berbeda dengan saat kebijakan HBA diberlakukan. Atas dasar HBA, harga
batubara PLN otomatis harus mengikuti harga pasar. Sementara bagi pemerintah,
dengan HBA pemerintah dapat memastikan target pendapatan nasional bukan
pajak.
Mencari jawaban
Sikap dan keinginan pemerintah agar PLN menekan biaya
energi primer untuk batubara semestinya memang harus segera diwujudkan. Hal
itu bukan hanya tanggung jawab pihak
PLN, tetapi juga pemerintah (ESDM). Dengan demikian, kekayaan sumber
daya alam (batubara) benar-benar bermanfaat bagi sebesar-besarnya kepentingan
rakyat. Namun, mengingat industri
pertambangan batubara Indonesia
yang telah terbangun selama ini, langkah untuk meminimalkan risiko fluktuatif
harga batubara yang harus dihadapi PLN dapat dilakukan melalui langkah jangka
panjang dan langkah jangka pendek.
Jangka pendek, pasca-kebijakan HBA, kondisi industri
pertambangan batubara menjadi lebih baik dan tertata sehingga penerapan HBA
sebaiknya tetap dilakukan. Yang harus dikoreksi bukan menghilangkan HBA,
tetapi mengoreksi formulasi HBA. Mengingat Indonesia eksportir terbesar
batubara, sebaiknya pola formulasi batubara yang ada saat ini, yaitu atas
dasar empat indeks (Indonesian Coal Index/ICI, Platts, New Castle Export
Index/NEC, dan New Castle Global Coal Index/GC) yang masing-masing memiliki
porsi 25 persen, diubah. Sebaiknya ke depan porsi Indonesian Index atau
tambahan indeks baru yang dikeluarkan pemerintah menjadi lebih besar dari 25
persen. Dengan proporsi 50 persen indeks Indonesia dan 50 persen indeks
internasional, bahkan kalau bisa 75 persen indeks Indonesia, harga batubara
di dalam negeri (termasuk PLN) tak akan mengalami fluktuasi harga seperti
saat ini.
Dengan formulasi perhitungan HBA saat ini, sering
kali fluktuasi harga terjadi akibat
pengaruh harga batubara Australia. Bahkan, sering pengaruh harga hanya terjadi akibat pengapalan batubara dengan volume kecil di
Australia. Di China yang memiliki indeks harga batubara sendiri, pengendalian
harga batubara di dalam negeri lebih bisa dikontrol. Memang ada perbedaan:
Pemerintah China menguasai lebih besar produksi batubara nasional, berbeda
dengan BUMN PT Batubara Bukit Asam, yang relatif kecil produksinya
dibandingkan dengan total produksi batubara nasional.
Sebagai eksportir batubara terbesar di dunia, sebaiknya
pemerintah segera memiliki indeks batubara
sendiri. Seluruh panel terpilih
dapat dipilih dari kalangan profesional di bidang industri pertambangan
batubara dan punya integritas ”merah putih” dalam membuat dan mengimplementasikan Indeks Harga Batubara
untuk kepentingan industri batubara nasional, khususnya PLN yang harus
bertanggung jawab atas kelistrikan.
Dengan Indonesian Coal Indeks (ICI) dan ditambah indeks
baru oleh pemerintah, formulasi HBA lebih menjadi proporsional dengan minimal
50 atau 75 persen memakai Indeks Batubara Indonesia. Ini dipastikan akan
mengurangi tingkat fluktuasi harga batubara, yang hasilnya a akan memudahkan
PLN dalam menyusun anggaran pembelian energi primer (batubara).
Jangka panjang
Jangka panjang, di awal industri pertambangan batubara
Indonesia terbangun di Indonesia, konsep royalti harus dibayarkan dalam
bentuk in-kind. Namun, di awal 1990-an, saat sebagian besar CCoW Generasi I masih tahap commissioning
production dan pasar perdagangan batubara
masih relatif kecil, termasuk di dalam negeri, pemerintah mengubah royalti
dari in-kind menjadi in-cash.
Saat ini telah terjadi perubahan peta pasar batubara,
bahkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) telah diletakkan usulan
proyeksi produksi batubara atas dasar lebih kepada kebutuhan batubara di
dalam negeri atau sebagai kunci ketahanan energi di dalam negeri.
Dengan dasar tersebut, sebaiknya pemerintah segera membuat
cetak biru (blue-print) infrastruktur batubara(salah satunya pelabuhan coal
blending) dalam mempersiapkan dan mengembalikan porsi kepemilikan batubara pemerintah
untuk diwujudkan kembali dalam bentuk in-kind. Tanpa mempersiapkan rencana infrastruktur
batubara, sangat sulit terbangun
secara adil dan merata bagi semua penambang untuk bertanggung jawab pada
tuntutan DMO yang seperti saat ini diberlakukan.
Dengan membangun infrastruktur batubara, diharapkan
pemenuhan kebutuhan batubara di dalam negeri, khususnya PLN, menjadi lebih
efisien untuk mengurangi biaya energi primer dalam menekan biaya operasi.
Akhirnya, melalui langkah jangka pendek dan jangka panjang,
semestinya harga batubara di dalam negeri
menjadi cermin bahwa kita memiliki sumber daya alam (batubara) dan
kitalah yang mengelolanya. Bukan
seperti saat ini, di mana kita memiliki sumber daya alam (batubara), tetapi
dalam menentukan harga batubara di dalam negeri kita harus membandingkan
dengan harga batubara yang dibeli oleh negara importir, yang notabene tidak
memiliki sumber daya alam (batubara). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar