OTT
KPK
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Unpad
|
KORAN
SINDO, 03 Oktober 2017
Operasi tangkap tangan yang populer dikenal dengan OTT
oleh KPK telah ditempatkan sebagai
posisi strategis bagi KPK dalam banyak kasus yang melibatkan pejabat
tinggi/penyelenggara negara selama kurun waktu 2015-2017.
Awal pertama OTT terjadi pada kasus (alm) Mulyana W
Kusumah dan berhasil sampai diputus pengadilan dalam kasus KPU dan
berturut-turut pimpinan KPU lainnya. OTT yang sering didahului dengan
penyadapan tentu dalam praktik lebih mudah daripada proses penyelidikan yang
seharusnya dilakukan penyelidik KPK.
Mengapa? Karena setelah laporan masyarakat, maka
penyelidik harus melaksanakan pengumpulan bukti dan keterangan (pulbaket)
yang tidak mudah sampai memperoleh bukti permulaan yang cukup (Bukperckp).
Penyadapan memudahkan KPK untuk mengetahui siapa saja,
dimana, dan waktu (akan) terjadi "transaksi", paling tidak KPK
telah memiliki data tentang locus dan
tempus delicti dengan mudah serta tinggal memperoleh
barang bukti saja yang akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi atau calon tersangka.
Semua perkara tipikor hasil OTT telah memperoleh putusan
pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap dan selalu KPK dimenangkan
sampai tingkat kasasi di MA.
Mengamati seluruh rangkaian peristiwa penanganan kasus
tipikor oleh KPK melalui tindakan OTT, sukses diukur dari seberapa banyak
perkara divonis bersalah dan pelakunya dihukum.
Namun, apakah telah sesuai dengan prinsip due process of law, masih perlu
dipersoalkan. Pengertian tertangkap tangan (TT) menurut Pasal 1 angka 19
KUHAP adalah:
"tertangkapnya seorang pada
waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera setelah beberapa saat
tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak
ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan
benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu
yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu
melakukan tindak pidana itu."
Pengertian TT dimaksud adalah peristiwa seketika terjadi
atau red-handed; bukan peristiwa
yang telah lama diketahui aparat penegak hukum dan kemudian dilakukan
penangkapan/penahanan.
Karena model tindakan terakhir ini termasuk tindakan
penjebakan atau entrapment yang hanya diakui dan diperbolehkan
dilakukan dalam UU RI Nomor 35/2009 Pasal 75 huruf (j), melakukan teknik
penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled
delivery), didahului tindakan interdiksi terhadap peredaran gelap
narkotika..., dan huruf (i) setelah terdapat bukti permulaan yang cukup
dilakukan penyadapan terkait penyalahgunaan dan peredaran narkotika ilegal.
Ketentuan UU Narkotika tersebut jelas memberikan wewenang
penuh dalam penyidikan setelah memperoleh bukti permulaan untuk melakukan
penyadapan sehingga terdapat kepastian hukum bahwa subjek yang ditangkap dan
ditahan telah dijebak terlebih dulu dan dibenarkan UU.
Model tindakan hukum dalam UU Narkotika tersebut selain
tidak diatur dan dilarang di UU RI Nomor 31/1999 yang diubah UU RI Nomor
20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga termasuk konsep
hukum interdiksi atau pengintaian yang hanya berlaku dalam UU Narkotika saja.
Praktik KPK dalam OTT telah menggunakan dua tindakan
tersebut (interdiction and entrapment)
yang berarti penyidik KPK telah mengadopsi tanpa kewenangan yang telah
dimiliki penyidik BNN; bahkan praktik KPK telah dilaksanakan dalam proses
penyelidikan sehingga KPK telah melakukan tiga jenis tindakan yang melanggar
UU (interdiction, entrapment, dan
dalam proses penyelidikan).
Sedangkan dalam UU
Narkotika tindakan tersebut hanya bisa dilaksanakan dalam proses penyidikan.
OTT KPK yang tidak memiliki dasar hukum kuat dari aspek yuridis hukum pidana
menimbulkan masalah pelanggaran prinsip due
process of law, bahkan pelanggaran hak asasi tersangka terlepas dari
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena dalam
sistem hukum pidana yang diakui universal diutamakan cara mencapai tujuan
bukan tujuan menghalalkan segala cara termasuk pelanggaran hukum.
Putusan majelis hakim pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap telah memenangkan perkara tipikor tidak bisa
dipersalahkan, akan tetapi putusan pengadilan tersebut telah melegalkan
perbuatan ilegal OTT KPK dari kacamata sistem peradilan pidana sehingga tergolong ke dalam "peradilan
sesat" atau miscarriage of justice.
Tindakan yang dikatakan sebagai OTT KPK justru sering
dilakukan ketika calon tersangka tidak sedang melakukan tindak pidana dan
tidak sedang menerima atau melekat padanya barang bukti hasil tipikor atau
digunakan untuk melakukan tipikor.
Seperti kasus terakhir Wali Kota Batu, ER, ditangkap
ketika selepas mandi atau Akil Mochtar sedang belanja di Plaza dan juga
Bupati Kutai Kartanegara. KPK dalam pembelaannya pasti mengatakan tindakan
OTT berdasarkan SOP KPK. Namun demikian, peraturan pimpinan KPK dalam bentuk
SOP tidak boleh bertentangan baik dengan UU (UU KPK, UU Tipikor, dan UU
KUHAP).
Alasan bahwa KPK memiliki wewenang lex specialis telah
ditentukan dalam Pasal 46 ayat (1) UU KPK karena prosedur khusus dalam UU
lain tidak berlaku berdasarkan UU KPK, hanya ditentukan secara limitatif vide Pasal 12 UU KPK, tidak
termasuk OTT yang penjebakan.
Artikel Prof Edy O Hiarej tentang OTT KPK (29 September
2017) telah membenarkan OTT KPK dan menyusun suatu justifikasi analogis
terkait hasil OTT dengan percobaan melakukan tindak pidana (Pasal 53 KUHP).
Sedangkan dalam sistem hukum pidana Common Law System dan Civil
Law System, termasuk sistem hukum pidana Indonesia larangan analogi
diharamkan (Pasal 1 ayat (1) KUHP) dan lagi pula dua ketentuan, yaitu
tertangkap tangan dan percobaan diatur dalam bab yang berbeda (tertangkap
tangan dalam ketentuan umum Bab I; percobaan Bab II); dua kekeliruan telah
dilakukan yaitu mempersamakan tertangkap tangan dan percobaan.
Sedangkan dalam percobaan disyaratkan telah ada perbuatan
permulaan pelaksanaan yang telah dilakukan pelakunya. Sementara yang terjadi
dalam praktik OTT KPK, perbuatan permulaan dimaksud justru dilakukan dan
dipersiapkan penyelidik KPK sendiri/rekayasa.
Artikel Prof Edy fokus pada hasil OTT yang juga keliru
disamakan dengan percobaan (Pasal 53 KUHP), sejatinya soal mendasar adalah
OTT sebagai cara memperoleh bukti permulaan yang cukup.
Dalam pandangan saya justru cara yang keliru dan melanggar
hukum karena perolehan hasilnya merupakan bukti yang diperoleh secara
illegal atau illegal evidence dan illegal eividence is not evidence at all,
demikian menurut Konvenan Hak-Hak Sipil dan Hak Politik PBB (1976).
Artikel tersebut telah membenarkan cara KPK melakukan OTT
yang ilegal. Lebih jauh perlu dipersoalkan surat perintah OTT, apakah dalam
surat perintah penyelidikan atau penyidikan karena merupakan dua subjek
dengan tujuan berbeda menurut KUHAP. OTT KPK jelas dapat dipraperadilankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar