Memahami
Analogi dan Ihwal OTT KPK
Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
|
KORAN
SINDO, 13 Oktober 2017
Sebelum menanggapi artikel Prof Romli Atmasasmita di
harian ini, Rabu 11 Oktober 2017, pertama-tama saya perlu menyampaikan apresiasi kepada
KORAN SINDO yang memberi tempat perdebatan
akademik yang sehat antara Prof Romli dan saya.
Tidak banyak surat kabar nasional yang memberikan tempat
untuk perdebatan ilmiah semacam ini yang sedikit banyaknya akan menambah
wawasan keilmuan publik.
Kedua, perbedaan pendapat dalam suatu perdebatan ilmiah
pada hakikatnya adalah kawan berpikir sehingga janganlah diartikan sebagai
permusuhan. Ketiga, Prof Romli yang saya kenal adalah guru besar yang
egaliter dan terbuka dalam menerima perbedaan pendapat.
Oleh karena itu, ketika saya selesai menulis buku
Prinsip-Prinsip Hukum Pidana pada
September 2014, Prof Romli adalah salah seorang guru besar yang saya minta
untuk memberikan kata pengantar.
Sebaliknya, ketika Prof Romli menyelesaikan buku
Rekonstruksi Tiada Pidana Tanpa Kesalahan: Geen Straf Zonder Schuld yang akan di launching pada November 2017 mendatang, saya adalah
salah seorang yang diminta untuk mengoreksi dan memberikan masukan untuk
substansi buku tersebut.
Hanya, ada dua isu besar yang akan saya tanggapi:
Pertama, terkait analogi. Salah satu
metode dalam penemuan hukum selain penafsiran, adalah argumentasi. Metode
argumentasi ini dibagi menjadi argumentum
per analogiam atau analogi,
penyempitan hukum dan argumentum a
contrario.
Analogi pada hakikatnya menyamakan suatu peristiwa khusus
yang tidak diatur dalam UU dengan peristiwa yang diatur dalam UU dengan
menggali asas yang terdapat di dalam nya (Lihat Sudikno Mertokusumo, 2010,
226-230).
Dalam konteks hukum pidana, analogi adalah perbuatan yang
menjadi persoalan tidak bisa dimasukkan ke dalam aturan yang ada.
Selanjutnya, perbuatan itu menurut pandangan hakim seharusnya dijadikan
perbuatan pidana pula, karena termasuk intinya aturan yang ada, maka
perbuatan tadi lalu dapat dikenai aturan yang ada dengan menggunakan analogi.
Mengenai perdebatan tentang analogi dalam hukum pidana
sudah diulas panjang lebar oleh Prof Romli yang merujuk pada buku saya.
Sayangnya ketika mengutip pendapat saya tentang analogi itu sendiri, Prof
Romli tidak membaca dengan saksama.
Agar tidak terjadi distorsi informasi, saya mengutip utuh
tulisan Prof Romli dalam harian ini, "Prof Eddy menyatakan dalam buku
Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (hlm 120): Pertama, dalam konteks hukum pidana
nasional, penerapan analogi hanya diperbolehkan dalam rangka menjelaskan
undang-undang.
Kedua, masih dalam konteks hukum pidana nasional, analogi
hukum tidak diperkenankan karena akan menimbulkan perbuatan pidana baru yang
jelas bertentangan dengan asas legalitas.
Ketiga, dalam konteks penegakan hukum, analogi untuk menjelaskan
undang-undang ataupun menimbulkan perbuatan pidana, baru diperbolehkan. Prof
Eddy sendiri tidak berpendapat atau tidak mempunyai pendapat sendiri tentang
analogi, apakah menerima atau menolak.
OTT sebagai bagian pelaksanaan penyelidikan jelas merupakan
penerapan UU KPK, telah ditafsirkan Prof Eddy sebagai bentuk percobaan ketika
peristiwa tidak terjadi karena digagalkan dengan penjebakan oleh KPK sehingga
jelas merugikan calon tersangka/terdakwa".
Pada bagian lain Prof Romli menulis, Jika tafsir Prof Eddy
tentang OTT dijadikan rujukan maka jelas dan transparan Prof Eddy berada pada
golongan yang menerima analogi dalam sistem hukum pidana Indonesia, sekalipun
posisi Prof Eddy dalam konteks analogi tidak jelas.
Apakah pro atau kontra, tetapi demi untuk kepentingan KPK
"mendadak" menerima analogi untuk menjelaskan undang-undang
(halaman 120 buku Prinsip-Prinsip Hukum Pidana)?”
Buku yang saya tulis dalam halaman 120 menyatakan,
“Pendapat penulis sendiri terhadap analogi adalah sebagai berikut: Pertama, dalam konteks hukum pidana
nasional, penerapan analogi hanya diperbolehkan dalam rangka menjelaskan
undang-undang.
Kedua, masih dalam konteks hukum pidana nasional, analogi
hukum tidak diperkenankan karena akan menimbulkan perbuatan pidana baru yang
jelas bertentangan dengan asas legalitas.
Ketiga, dalam konteks penegakan hukum pidana internasional
termasuk penindakan terhadap kejahatan-kejahatan internasional, baik analogi
untuk menjelaskan undang-undang maupun analogi hukum dalam rangka menimbulkan
perbuatan pidana, baru diperbolehkan.
Hal ini karena ada perbedaan standar pelaksanaan asas
legalitas dalam konteks hukum pidana nasional dan hukum pidana internasional
sebagaimana yang telah diutarakan di atas”
Tulisan saya dalam buku tersebut secara terang benderang
memuat pendapat dan sikap saya terhadap analogi bahwa dalam konteks hukum
pidana nasional, saya menerima analogi dalam rangka menjelaskan UU (gesetzeanalogie) dan menolak analogi
hukum (rechtsanalogie) dalam rangka
menimbulkan perbuatan pidana baru.
Sementara dalam konteks hukum pidana internasional, saya
menerima baik gesetzeanalogie maupun rechtsnalogi.
Jelas dan tegas, saya kemukakan pandangan saya tentang analogi setelah
melakukan kajian dari berbagai literatur asli para pemikir hukum pidana
Belanda sejak saya menulis disertasi tentang asas legalitas pada 2007.
Jadi, bukan suatu hal yang dadakan sebagaimana yang
dikatakan Prof Romli. Lebih dari itu, OTT KPK yang dihubungkan dengan Pasal 1
angka 19 KUHAP tentang tertangkap tangan dan dihubungkan dengan delik
percobaan, bukanlah bentuk analogi.
Sebenarnya pendapat saya yang menerima gesetzeanalogie dan bukan rechtsanalogie pada
umumnya sama dengan para ahli hukum pidana lainnya.
Van Hattum dan Van Bemmelen yang menolak analogi bahkan
interpretasi ekstensif, masih membolehkan analogi terhadap ketentuan pidana
tertulis yang tidak didasarkan pada suatu kaidah yang menentukan dapat tidak
dipidananya seorang pelaku.
Demikian pula Jan Remmelink sebagai orang yang menolak
analogi, dalam bukunya jelas menegaskan bahwa larangan menggunakan analogi
hanya dalam hal untuk menciptakan ketentuan pidana baru, bukan untuk
menjelaskan perundang-undangan.
Bahkan, Remmelink menegaskan bahwa Hooge Raad dalam menerbitkan sejumlah putusan, sulit
untuk tidak dikatakan tidak menggunakan analogi, terutama ketika dihadapkan
dengan sejumlah tindakan jahat yang tanpa pendekatan demikian pasti lolos
dari jaringan keadilan.
Kedua, terkait alas hak OTT. Prof Romli berpendapat bahwa
penyadapan pascaputusan MK harus dilakukan dengan dasar UU bukan PP, perpres,
atau bahkan SOP. Penyadapan yang diikuti dengan pengintaian adalah perbuatan
ilegal karena tidak diatur dalam UU KPK. Oleh karena itu, OTT lebih pada penjebakan.
Terhadap berbagai argumentasi tersebut, ada pun tanggapan
saya sebagai berikut. Pertama, putusan MK mengenai penyadapan adalah terkait
dengan pengujian UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan bukan UU
KPK.
Pasal yang dibatalkan dalam UU A Quo menyatakan bahwa kewenangan penyadapan
diatur dalam peraturan pemerintah. Menurut MK, kewenangan penyadapan harus
diatur dalam UU.
Pembatalan pasal dalam UU ITE tidak berlaku bagi UU KPK.
Selain tidak mencabut kewenangan penyadapan, alas hak kewenangan penyadapan
oleh KPK adalah berdasarkan UU.
Sayangnya kewenangan KPK untuk menyadap tidak diatur rinci
oleh Prof Romli sebagai salah seorang pembentuk UU KPK, maka berdasarkan
karakter KPK sebagai lembaga independen berlaku self regulatory body. Artinya
bisa mengatur hal-hal teknis berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UU.
Kedua, pengintaian adalah hal yang wajar dilakukan dalam
penyelidikan/penyidikan. Dalam konteks ini, Prof Romli bertanya kepada saya
dalam artikelnya.
Mana pasal yang mengatur pengintaian dalam UU KPK jika
masih berpegang pada asas legalitas? Dalam konteks ini pula, saya ingin
bertanya balik kepada Prof Romli mana pasal dalam UU KPK yang melarang
melakukan pengintaian? UNCAC 2003 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7
Tahun 2006 dalam pasal 50 membolehkan electronic or other forms of
surveillance and undercover operation.
Secara lengkap, Pasal 50 UNCAC berbunyi, "In order to combat corruption
effectively, each State Party shall, to the extent permitted by the basic
principles of its domestic legal system and in accordance with the conditions
prescribed by its domestic law, take such measures as may be necessary,
within its means, to allow for the appropriate use (by its competent
authorities) of controlled delivery and, where it deems appropriate, other
special investigative techniques, such as electronic surveillance and
undercover operations, within its territory, and to allow for the
admissibility in court of evidence derived therefrom“.
Ketentuan tersebut secara kasatmata menjawab kegalauan
Prof Romli terhadap OTT KPK, termasuk hasil OTT sebagai bukti di pengadilan.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa sampai dengan saat
ini OTT KPK belum pernah dipraperadilankan. Kalau pun diajukan praperadilan,
pasti akan ditolak karena memiliki dasar dan kewenangan yang legal.
Ketiga, sebagaimana telah diulas dalam artikel sebelumnya,
Richrad G Singer dan Prof John Q La Fond dalam Criminal Law menyatakan bahwa penjebakan harus ada dua
pendekatan.
Pendekatan subjektif berarti harus ada ajakan dari penegak
hukum agar seseorang melakukan tindak pidana, sedangkan pendekatan objektif
berarti ajakan tersebut meliputi pemberian informasi suatu tindak pidana
seakan-akan bukan tindak pidana dan jaminan bahwa tindak pidana tersebut akan
ditanggung oleh petugas yang menyamar.
Pertanyaan lebih lanjut, selain kasus Khariansyah dan
Probosutedjo, adakah tindakan OTT KPK yang meliputi kedua pendekatan tersebut
sebagaimana dimaksud dalam penjebakan? Jika tidak bisa menunjukkan kasusnya
berikut fakta-fakta yang ada, maka OTT KPK adalah penjebakan hanyalah asumsi
yang tidak berdasar.
Terakhir, dalam OTT, KPK telah memperlihatkan efektivitas
dalam memberantas korupsi sekaligus sebagai pencegahan umum dilakukan
praktik-praktik korup oleh pejabat publik dan penyelenggaraan negara.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika lembaga asing
yang kredibel seperti UNODC memberi gelar "best
practices" kepada KPK. Pemberian gelar tersebut tentunya didasarkan
pada suatu penelitian dan kajian mendalam, bukan asal-asalan. Sayangnya,
terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan, kerja KPK justru dicibir oleh
anak bangsa sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar