Ritus
Mudik dan Pembangunan Urban Sentris
Djoko Subinarto ; Kolumnis Lepas
|
DETIKNEWS, 24 Juni 2017
Saban tahun, negeri ini dihadapkan pada kehebohan mudik
menjelang perayaan Idulfitri atau Lebaran. Jauh hari sebelum Lebaran tiba,
masyarakat kota besar sudah sibuk melakukan berbagai persiapan untuk mudik.
Bagi sebagian masyarakat kita, mudik Lebaran, yang hanya datang setahun
sekali itu, adalah wajib -- apa pun risikonya. Bagi mereka, tampaknya kurang
afdhal menamatkan Ramadan dan kemudian merayakan Lebaran tanpa mudik.
Menilik asal-usulnya, 'mudik' berasal dari kata 'udik'.
Secara harfiah, 'udik' berarti 'dusun', 'kampung', atau 'desa'. Dengan
demikian, mudik bermakna pergi menuju dusun, kampung atau desa. Ya, setiap
menjelang Lebaran, orang-orang dari kota melakukan eksodus menuju dusun,
kampung atau desa mereka.
Mereka memanfaatkan liburan Idulfitri yang lumayan panjang
untuk merayakan Lebaran di dusun, kampung atau desa tempat mereka berasal,
dan sekaligus bersilaturahim dengan keluarga, kerabat maupun sahabat -- di
samping berusaha memamerkan berbagai kesuksesan duniawi yang telah mereka
raih sebagai hasil jerih payah bekerja di kota.
Beres Lebaran, para pemudik segera berbondong-bondong
kembali ke kota. Tidak sedikit dari para pemudik yang tatkala kembali ke kota
mengajak-serta anggota keluarga, kerabat, teman dan tetangga untuk mencari
penghidupan di kota bersama mereka. Sedikit sekali dari mereka yang setelah
mudik Lebaran kemudian memutuskan untuk tetap tinggal di dusun, kampung atau
desa mereka selamanya.
Maka, ketika masa mudik kelar dan muncul musim arus balik,
yang terjadi kemudian adalah gelombang urbanisasi tahunan. Faktanya, selalu
ada penambahan jumlah warga desa yang merantau ke kota setelah Lebaran usai.
Buntutnya, saban tahun, jumlah pemudik bukannya turun, melainkan bertambah.
Sebagai ilustrasi, tahun ini ditaksir ada 29,59 juta orang yang mudik. Ini
meningkat 6,8 persen dibanding 2016 lalu di mana pemudik berjumlah 26,36
juta.
Melonjaknya jumlah pemudik ini jelas tidak terlepas dari
kian banyaknya warga negeri ini --yang notabene berasal dari perdesaan-- yang
terus memadati kawasan perkotaan. Dewasa ini, jumlah penduduk kita yang
tinggal di kawasan perkotaan ditaksir mencapai 45 persen dari total penduduk
keseluruhan, dan diperkirakan bakal meningkat hingga mendekati 70 persen pada
2025.
Tidak bisa dimungkiri, ketersediaan peluang ekonomi,
sosial, politik maupun budaya yang lebih besar di kawasan perkotaan menjadi
semacam magnet kuat yang menyedot banyak orang untuk terus menyerbu kawasan
perkotaan. Tentu saja, hal ini bakal membawa konsekuensi dalam banyak dimensi
sekaligus menjadi tantangan besar bagi para pengelola kota kita dalam soal
bagaimana kota-kota yang mereka kelola bisa tetap layak huni dan menjadi kota
yang berkelanjutan.
Menurut Roderick Lawrence (2008), secara garis besar
setidaknya ada empat jenis risiko yang umumnya bakal dihadapi kawasan-kawasan
perkotaan di masa datang. Yang pertama adalah risiko lingkungan. Sejumlah
masalah yang dihadapi kawasan perkotaan yang terkait dengan risiko lingkungan
antara lain adalah masalah melonjaknya tingkat kebisingan, meningkatnya
pencemaran air, pencemaran tanah, pencemaran udara serta persoalan pembuangan
sampah.
Selanjutnya adalah risiko ekonomi berupa persoalan
penyediaan rumah layak huni, ketersediaan pangan, ketersediaan air bersih dan
juga ketersediaan lapangan kerja maupun ketersediaan layanan kesehatan dan
pendidikan yang adil dan terjangkau bagi semua warga.
Yang berikutnya adalah risiko teknologi berupa kemacetan,
kecelakaan lalulintas dan kecelakaan industri. Dan yang terakhir adalah
risiko sosial berupa meningkatnya kriminalitas, tindak kekerasan, putus
sekolah dan pengangguran.
Urban Sentris
Besarnya minat orang untuk datang, tinggal dan bekerja --
selain juga untuk menuntut ilmu-- di kawasan perkotaan tidak terlepas dari
pembangunan ekonomi negeri ini yang sejauh ini masih cenderung bersifat urban
sentris alias lebih memusat di kawasan perkotaan. Akibatnya, terjadi
disparitas ekonomi yang lebar serta mencolok antara kawasan perkotaan dan
kawasan perdesaan.
Padahal, kawasan-kawasan perdesaan kita sesungguhnya
memiliki banyak potensi besar yang layak dikembangkan untuk menjadi pula
sumber aktivitas perekonomian negara. Namun, karena kebijakan pembangunan
ekonomi yang cenderung urban sentris, maka banyak potensi besar yang dimiliki
kawasan perdesaan menjadi kurang/tidak tergarap dengan baik. Ujungnya, warga
desa lebih memilih mencari penghidupan di kawasan perkotaan.
Ritus mudik yang kemudian disusul oleh urbanisasi --dengan
berbagai permasalahannya-- yang terus berlangsung dari tahun ke tahun di
negeri ini hanyalah sebuah potret kecil dari adanya ketimpangan pembangunan
ekonomi perkotaan dan perdesaan selama ini.
Sudah barang tentu, pola pembangunan ekonomi yang melulu
memusat di kawasan perkotaan ini harus secepatnya diubah. Jika tidak,
daerah-daerah perdesaan kita bakal semakin jauh tertinggal, dan ditinggal
para warganya. Sementara, kawasan perkotaan bakal semakin sesak dan dipenuhi
serta dibebani aneka persoalan.
Salah satu kunci untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang
merata dan seimbang antara kawasan perkotaan dan perdesaan dapat ditempuh
dengan jalan melakukan percepatan pembangunan dan peningkatan infrastruktur
di perdesaan.
Menurut Biswa Nath Bhattacharyay (2008), infrastruktur
dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yakni infrastruktur keras dan
infrastruktur lunak. Infrastruktur keras merujuk kepada fasilitas yang
mendukung masyarakat dan perekonomian seperti transportasi (bandara, jalan
kereta-api, jalan raya, dan pelabuhan), energi (pembangkit listrik, pipa gas
dan pipa minyak), telekomunikasi (telepon dan saluran internet) serta
fasilitas dasar (air bersih, irigasi, rumah sakit, sekolah).
Adapun infrastruktur lunak merupakan fasilitas yang
mendukung beroperasinya infrastruktur keras. Infrastruktur lunak antara lain
terdiri dari kebijakan, regulasi, mekanisme pemerintahan, sistem dan
prosedur, jaringan sosial, transparansi dan akuntabilitas dalam hal
pembiayaan dan sistem pengadaan barang dan jasa.
Adanya pembangunan dan peningkatan infrastruktur di
perdesaan diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi perdesaan.
Bagaimanapun, pembangunan ekonomi mustahil berjalan baik tanpa didukung oleh
adanya peningkatan di bidang infrastruktur fisik maupun infrastruktur lunak.
Jika saja pembangunan dan peningkatan kedua infrastruktur
itu dapat berjalan dengan sebaik-baiknya di kawasan perdesaan, maka desa-desa
kita bakal memberi harapan penghidupan yang lebih baik bagi para warganya.
Ini pada gilirannya akan mendorong semakin banyak warga desa untuk memilih
tetap tinggal di desa mereka.
Dengan demikian, semakin kecil kemungkinan mereka
melakukan urbanisasi. Pada gilirannya ini bakal ikut berpengaruh kepada
pengurangan jumlah pemudik di setiap Lebaran --atau hari raya lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar