Memikirkan
Kembali Masalah SARA
Bambang Setiaji ; Rektor
Universitas Muhammadiyah Solo (UMS)
|
REPUBLIKA, 08 November
2016
Entah
dari mana asalnya adanya semacam konsensus atau ideologi informal agar kita
tidak menyinggung masalah SARA. Semula gagasan ini supaya masyarakat tidak
menjadikan perbedaan SARA untuk menghancurkan NKRI.
Sampai
pada titik ini gagasan tersebut benar, tetapi ketika gagasan ini dipakai
untuk tidak memasukkan SARA dalam membagi kue ekonomi dan politik, maka
masalah mulai datang.
Demonstrasi
masalah Basuki Tjahaja Purnama yang hampir mengulang tragedi 1998 adalah buah
dari gagasan tidak memasukkan SARA dalam membagi kue ekonomi dan politik
tersebut. Menempatkan Basuki Tjahaja Purnama dengan dua masalah SARA yang
melekat pada diri beliau di DKI Jakarta merupakan contoh yang nyata. Bahkan,
dalam analisis ilmiah hampir tidak ada studi yang memasukkan variabel SARA di
Indonesia.
Di
Barat, masalah SARA merupakan variabel penting dalam analisis bidang ekonomi
dan kebijakan. Studi mengenai upah (salah satu variabel ekonomi yang penting)
dan jabatan (salah satu variabel politik yang penting) selalu memikirkan
masalah SARA.
Beberapa
analisis berbasis SARA, misalnya, bertopik "Abad Baru, dengan Disparitas Lama: Gap Upah berbasis Gender dan
Etnik di Amerika Latin", oleh Juan Atal, Nopo, dan Winder (IDB Working Paper, 2009). Analisis
lainnya oleh George J Borjas, dengan judul "Etnisiti dan Sekitarnya" serta "Eksternalitas
Modal Manusia" dipublikasian oleh American
Economic Review, 1995.
Terdapat
ribuan jurnal ilmiah lain yang menganilis dengan terbuka dalam membagi kue
ekonomi (upah) dan jabatan (kue politik) di negara maju.
Kekonyolan
kita adalah tidak ingin muncul masalah SARA, tetapi tidak memasukkan variabel
SARA dalam membagi kue ekonomi dan politik yang justru menimbulkan masalah
SARA yang sangat serius. Mengapa Basuki begitu menyerap energi masyarakat
dengan intensitas ketegangan yang jauh lebih besar dari masalah pilkada yang
lain, tidak lain bersumber dari hilangnya analisis SARA.
Kita
hampir tidak memiliki data jelas berbasis etnisiti sehingga kita juga tidak
bisa melakukan kebijakan apa pun untuk mendekati pemecahan masalah berbasis
SARA. Hasilnya, gejolak sosial berbasis SARA selalu berulang menjadi siklus
yang sungguh sangat menyedihkan.
Ketimpangan
berbasis SARA menggelinding menjadi isu kebencian dan bukan menjadi isu
jernih dalam analisis kebijakan. Absennya kebijakan dalam menangani isu ini
justru menimbulkan masalah SARA yang riil dan mendalam berbentuk diskriminasi
pendapatan dan jabatan di industri.
Diskriminasi
semacam ini melanggar hukum di negara negara beradab. Kita perlu menyusun UU
antidiskriminasi. Bila terbukti seseorang disingkirkan dari jabatan dan
implikasinya karena perbedaan SARA, pemangku perusahaan dapat dibawa ke
pengadilan.
Menghilangkan
SARA di berbagai perusahaan dan pemerintahan akan sangat membantu
menghilangkan sentimen SARA, seperti terjadi dalam demo 4 November 2016.
Mengapa masyarakat akan terbiasa atau percaya bahwa pembagian pendapatan dan
jabatan sudah mempertimbangkan variabel SARA.
Isu
bahwa etnik tertentu menguasai aset tetap berupa tanah dan aset tidak
bergerak menjadi isu liar. Pemerintah juga tidak terbiasa memiliki kebijakan
berbasis etnisiti ini.
Pemerintah
perlu membagi kue dengan baik dan memikirkan jangka panjang, proyek
transportasi yang besar bisa berpaling ke Jerman, misalnya, dengan
menggunakan Prof Habibie yang juga presiden ke-3. Hal ini akan mengurangi isu
liar seperti masuknya tenaga asing pada level bawah.
Tenaga
asing boleh masuk pada level manajerial skill yang mengikuti penanam modal,
tetapi bukan pada level unskilled
atau pada jenis pekerjaan yang SDM domestik bisa melakukan. Pengangguran
terbuka kita lebih 10 juta orang dan pengangguran tersembunyi yang siap
beralih kerja yang lebih baik dua kali lipatnya. Pemerintah sama sekali tidak
peka dalam hal semacam ini.
Mengapa
Papua, isu Indonesia barat dan Indonesia timur bisa begitu tertinggal dan
memicu isu pelepasan diri karena pemerintah sejak lama tidak bisa bertindak
berbasis SARA. Untuk masalah Papua yang merupakan masa depan Indonesia perlu
kebijakan berani untuk menyelesaikannya.
Tidak
cukup dengan membangun infrastruktur yang akan lengang tanpa orang yang
lewat. Daya beli perlu dibawa ke timur, misalnya, menempatkan beberapa
kEmenterian di sana supaya menjadi motor perkembangan ekonomi.
Demikianlah sekelumit masalah SARA yang
kita takuti, tetapi tidak pernah menjadi variabel kebijakan yang serius.
Semoga demonstrasi berbasis SARA kemarin menjadi yang terakhir karena
perbaikan kebijakan kita ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar