Ketidaktulusan
Berpolitik Elite Kita
Asrinaldi Asril ; Dosen
Ilmu Politik Universitas Andalas
|
KOMPAS, 09 November
2016
Ungkapan
Presiden Joko Widodo tentang demonstrasi masif yang terjadi pada 4 November
2016 ditunggangi oleh sejumlah aktor politik semakin menegaskan bahwa
sesungguhnya politik elite kita memang tidak pernah tulus. Politik elite yang
tidak tulus ini bisa diartikan sebagai bentuk kepura-puraan dalam kesepakatan
yang dibuat. Padahal dalam kesepakatan itu yang menonjol adalah kecurigaan
dan ketidakpercayaan kepada lawan politik yang dihadapi. Bahkan, yang
menonjol dalam politik yang tidak tulus itu adalah adanya rivalitas yang
bertujuan saling mengalahkan.
Jika
diperhatikan, cukup banyak agenda bersama disepakati oleh elite kita dalam
sejumlah pertemuan dan silaturahmi yang dilaksanakan. Tujuan pertemuan
politik ini jelas untuk mengomunikasikan sejumlah persoalan bangsa dan perlu
penyelesaian bersama. Tidak jarang masyarakat terpukau dengan suasana akrab,
penuh canda, dan suasana damai yang diperlihatkan oleh elite. Sayangnya,
pertemuan antar-elite politik yang diharapkan dapat menyelesaikan banyak
persoalan justru bertolak belakang dengan harapan publik.
Sejatinya
politik memang penuh dengan persaingan dan bahkan intrik. Namun, dalam banyak
hal, persaingan dan intrik yang terjadi mestinya tidak mengalahkan
kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Apalagi kalau bangsa dan
negara ini sedang menghadapi masalah yang cukup genting, yaitu ancaman
terhadap persatuan dan kesatuan nasional.
Di
sinilah dituntut kedewasaan dan kenegarawanan elite politik kita.
Banyak
peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini justru menunjukkan seperti apa
karakter elite politik kita sebenarnya. Alih-alih jadi pemimpin politik yang
dapat menenangkan massanya, mereka justru ”bermain” di belakang kesepakatan
yang dibuatnya sendiri. Tidak jarang elite politik ini memiliki agenda
tersembunyi di balik suasana genting yang tercipta tersebut.
Ancaman
terhadap konsolidasi
Barangkali
ini konsekuensi dari proses transisi ke demokrasi yang terlalu cepat sehingga
belum bisa melahirkan elite politik yang berjiwa negarawan. Seorang negarawan
tidak akan berambisi mengejar kekuasaan semata. Bagi mereka, berpolitik
bukanlah semata-mata mengejar kekuasaan, apalagi dengan menghalalkan segala
cara.
Bagi
mereka, dalam berpolitik juga ada prinsip yang harus ditegakkan agar
wibawanya sebagai pemimpin tetap terjaga. Prinsip yang teguh dengan
mengedepankan nilai-nilai moral akan dapat mewujudkan tujuan bernegara dengan
cara yang elegan.
Hal
ini sebenarnya sudah ditunjukkan oleh elite politik kita ketika Indonesia
baru merdeka. Banyak teladan yang dapat dipelajari dari kontestasi politik
pada waktu itu di tengah persaingan politik yang hebat, tetapi orientasi
kekuasaan mereka tetap untuk kepentingan bangsa dan negara.
Sebut
saja bagaimana Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Natsir, dan banyak lagi
yang lain memperlihatkan sikap politiknya, tetapi itu semua untuk kepentingan
bangsa yang lebih besar. Mereka sangat teguh dengan prinsip politik yang
diyakininya. Walaupun berbeda haluan, tetapi tetap menghargai lawan-lawan
politiknya dengan cara jujur, tulus, dan terhormat.
Sayangnya,
belum banyak elite politik kita saat ini yang bisa berperilaku seperti itu.
Malah yang diperlihatkan adalah rasa ”permusuhan” karena keinginannya tidak
tercapai. Pertemuan demi pertemuan yang berlangsung di antara elite justru
semakin memperlihatkan kepada kita politik basa-basi tanpa ketulusan berbuat
demi bangsa dan negara ini.
Celakanya,
pertemuan ini memang sengaja dilakukan untuk memberi jeda waktu sehingga bisa
menyusun strategi lain untuk saling mengalahkan kembali di masa mendatang.
Perilaku elite seperti ini jelas menjadi ancaman serius dalam proses
konsolidasi demokrasi yang tengah berlangsung.
Jeff
Haynes dalam Democracy in the
developing world (2001) menegaskan pentingnya peran aktor politik dalam
menciptakan konsolidasi demokrasi. Saling memengaruhi antar-elite ini jadi
dasar bagaimana sesungguhnya konsolidasi itu dilaksanakan. Dapat dibayangkan
kalau yang dilakukan elite politik kita adalah saling meniadakan kekuasaan
masing-masing dengan cara-cara yang inkonstitusional. Setidaknya gambaran itu
sudah dapat dilihat dalam dinamika politik kita akhir-akhir ini.
Konsolidasi
politik
Harus
diakui bahwa proses demokrasi yang dilaksanakan saat ini sudah berada pada
jalur yang benar. Banyak kemajuan dari segi hak-hak politik masyarakat serta
kelembagaan demokrasi berkembang dengan baik. Tentu keadaan ini harus dapat
dipertahankan sesuai dengan tujuan kita bernegara.
Dari
segi lain, keadaan ini juga menyebabkan kelompok-kelompok politik terlempar
dari pusat kekuasaan dan kehilangan legitimasinya sehingga menimbulkan
ketidakpuasan dan berupaya mengonsolidasikan kekuasaannya kembali (lihat Robinson & Hadiz, 2004).
Walaupun
begitu, mestinya, ketidakpuasan kelompok itu jangan sampai mengorbankan
kepentingan yang lebih besar, yaitu bangsa dan negara. Bagaimanapun,
mempertahankan dan merebut kekuasaan politik sebenarnya sudah diatur dalam
konstitusi yang menjadi dasar kehidupan bernegara. Hanya dengan cara itu
konsolidasi demokrasi akan berjalan dengan baik.
Ke
depan, dinamika politik di negara ini akan semakin dinamis tidak sekadar
persaingan di antara para elite, tetapi juga akan melibatkan massa yang
banyak. Beberapa agenda besar ke depan yang patut diwaspadai adalah pemilu
presiden dan pemilu legislatif yang dilaksanakan secara serentak.
Tensi
politik akan mulai meninggi ketika pembahasan Rancangan UU Pemilu di mulai.
Semua elite akan berhitung ”siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana”. Di
sinilah sama-sama kita lihat siapa sesungguhnya elite kita yang berjiwa
negarawan dan siapa yang tidak. Mereka yang berjiwa negarawan akan
mengamalkan politik yang tulus dan lebih mengedepankan prinsip kenegaraan
ketimbang hanya mengejar kekuasaan belaka.
Apalagi kalau yang dikedepankan itu adalah
ketidaktulusan berpolitik dengan hanya mengedepankan kepura-puraan di hadapan
publik. Karakter elite yang menonjolkan kepura-puraan berpolitik ini adalah
ciri elite yang munafik yang mesti dijauhi oleh publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar