Demonstrasi
dan Kebebasan Berkeadaban
Gun Gun Heryanto ; Direktur
Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
08 November 2016
UNJUK
rasa pada 4 November menyisakan tanya. Benarkah ada penunggang bebas (free rider) yang masuk dan menjadikan
demonstrasi sebagai panggung publisitas agenda politiknya? Presiden Jokowi,
dalam pernyataan persnya seusai rapat koordinasi terbatas di Istana Merdeka,
Sabtu (5/11), secara lugas menyatakan kerusuhan yang terjadi di luar waktu
unjuk rasa ditunggangi aktor-aktor politik yang memanfaatkan situasi. Dalam
konteks itulah, menarik memosisikan unjuk rasa dan kerusuhan yang muncul
setelahnya dalam bingkai konstelasi politik saat ini.
Ekspresi
kebebasan
Unjuk
rasa bukanlah hal istimewa dalam konteks negara demokrasi yang terbuka. Itu
merupakan hak setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Pemerintah ataupun
penguasa tak boleh memenjarakan ekspresi kebebasan berkumpul, berpendapat,
dan mengeluarkan pemikiran, baik lisan maupun tulisan. Di situlah, letak
dasar substansial nilai demokrasi dilahirkan. Sebagai pemilik mandat kuasa,
rakyat punya hak untuk memberikan tuntutan atau dukungan.
Meskipun
demikian, kebebasan dalam negara demokrasi bukanlah kebebasan yang
serampangan. Fondasi dasar kebebasan ialah keadab-an publik yang berporos
pada kesepakatan etika dan hukum. Ekspresi kebebasan sekelompok orang wajib
memperhatikan dan menghormati kebebasan serta hak-hak orang lain. Di situlah
simpul keadaban berpolitik yang kita anut.
Pemerintah
harus memiliki kesiapan mental, profesional, dan hubungan sosial dalam
menyikapi beragam tuntutan yang datang setiap saat bak cendawan di musim
hujan. Tak mungkin pemerintah dan kelompok berkuasa steril dari tekanan,
tuntutan, dan bahkan makian yang setiap saat ditunjukkan kepada mereka.
Inilah salah satu risiko yang harus dihitung siapa pun yang berminat menjadi
pemimpin di era keterbukaan.
Sayang,
saat semangat bergelora menyuarakan apa yang menjadi keyakinan kelompok, banyak
pihak yang sering kali abai dengan kebebasan berkeadaban tadi untuk menuntut
keadilan tak cukup hanya teriak. Penting menjaga muruah gerakan agar tak
terjebak pada perilaku serupa dengan yang dituntutnya. Dalam hal ini,
sama-sama melanggar hukum dan etika di masyarakat.
Ada
dua catatan terkait dengan kasus unjuk rasa pada 4 November kemarin. Pertama,
mayoritas massa pengunjuk rasa masih memaknai aktivitas sebagai tindakan
konstitusional. Proses demonstrasi berjalan tertib dan tuntutan pun jelas,
yakni meminta penyelesaian hukum atas dugaan penistaan agama yang dilakukan
Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama. Artinya, hadirnya ribuan orang
memutihkan Jakarta berorientasi pada hasil akhir penegakan hukum, bukan
sebaliknya.
Kedua,
kericuhan muncul tak lebih dari buah provokasi dan rancangan sekelompok kecil
orang yang sedari awal berupaya menjadi penunggang bebas di tengah ekspresi
berdemokrasi para pengunjuk rasa. Indikatornya nyata, kericuhan terjadi saat
waktu unjuk rasa sudah usai. Sebagaimana ditegaskan Undang-undang No 9 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, unjuk rasa harus
berakhir pukul 18.00 WIB. Segelintir elite yang menyerukan menginap bisa
memancing tindakan yang tak diinginkan. Bagaimana pun, tipe kolektivitas dalam
berdemonstrasi itu ialah kerumunan yang tak semua saling mengenal.
Kerumunan
sangat rentan di-stimulasi untuk saling berbenturan dengan aparat keamanan
maupun elemen masyarakat lainnya. Situasi penuh paradoks dan kendali yang tak
lagi bisa sama itulah yang sesungguhnya menjadi sasaran empuk para penunggang
bebas.
Sangat
wajar dan bisa dimaklumi jika Jokowi dengan pasokan data yang
dikoordinasikannya memberikan simpulan adanya sejumlah elite yang menunggangi
demonstrasi. Supaya narasi Jokowi itu tak asal bunyi dan lebih dari sekadar
bubble issue, aparat penegak hukum dan intelijen harus mampu membuktikan
siapa saja para aktor dan kreator di balik kerusuhan yang mencederai maksud
suci para peng-unjuk rasa. Pelanggar hukum wajib ditindak, siapa pun harus
diberi sanksi jika merusak bahkan mengoyak arti kebebasan berkeadaban.
Keberlimpahan
informasi
Silang
sengketa masih mengemuka terkait dengan unjuk rasa yang sudah berlalu. Ragam
informasi multikanal terus membanjiri warga dan sangat banyak yang berpotensi
menjadi ancaman bagi kebinekaan dan keindonesiaan. Media arus utama dan media
sosial tak luput dari tawuran opini yang kerap mengancam kewarasan berpikir.
Oleh karenanya, dibutuhkan kecerdasan komunikasi di tengah situasi penuh
paradoks seperti sekarang.
Warga
wajib memiliki kapabilitas simbolis dan responsif dalam mengonsumsi,
memproduksi, mereproduksi, dan mendistribusikan informasi. Terlebih di era
sekarang, yang disebut John Keane dalam tulisannya The Humbling of the
Intellectual, Public life in the Era of Communicative Abundance (1998)
sebagai era keberlimpahan komunikasi. Komunikasi multikanal menyisakan
beragam persoalan. Misalnya media massa dan media sosial kerap terjebak pada
laku yang sama, yakni hobi memberi status (status conferral) pada seseorang,
sekelompok orang atau pemerintah yang sedang dijadikan target dalam zona
perang asimetris (zona of asymetric warfare).
Apakah
Ahok menistakan agama? Pasti semua orang punya tafsir sendiri-sendiri.
Sebaiknya, labelling Ahok sebagai penista agama baru disematkan setelah
proses hukumnya tuntas. Semua pihak wajib menghormati proses hukum bisa
berjalan dengan profesional dan proporsional. Presiden Jokowi tak boleh
mengintervensi, pun demikian pengunjuk rasa tak boleh terjun bebas main hakim
sendiri, termasuk melalui pengadilan opini.
Unjuk
rasa dalam konteks demokrasi harus memperjuangkan senyawa nyata antara
tuntutan dan keadilan. Tak adil jika gerakan menjadi pintu masuk sejumlah
agenda di luar tuntutan utamanya. Misalnya, tuntutannya meminta penegakan
hukum terhadap Ahok atas dugaan penistaan agama, tetapi dibelokkan arahnya
oleh segelintir aktor ke sasaran tembak lainnya, misalnya menuntut mundur
Jokowi dari kekuasaan sah yang diembannya.
Warga
yang berdemonstrasi harus sadar dan melek informasi. Berlimpahnya informasi
harus dipilah hingga bisa memberi takaran dalam gerakan yang dilakukan.
Logika demonstrasi yang melibatkan warga jangan memakai pendekatan
instrumentalistis, yakni menjadikan rakyat semata-mata instrumen pencapaian
tujuan elite dan kelompoknya.
Demonstrasi wajib menjaga substansi
demokrasi yang fungsional dan humanis. Filsuf Jerman, Martin Burber,
membedakan antara I-thou relationship
(hubungan saya dengan Anda sebagai manusia) dan I-it relationship (hubungan saya dengan anda sebagai benda).
Sikap elite politik yang memberlakukan rakyat dalam demonstrasi dengan tipe
kedua hanya mempertimbangkan warga sebagai deretan angka yang bisa
dicampakkan kapan saja. Padahal, luka akibat gesekan akar rumput itu kerap
tak lekas sembuh meski diobati bertahun-tahun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar