Merenungkan Kembali Makna Idul Fitri
Sukidi ;
Kandidat PhD Studi Islam di
Universitas Harvard, Cambridge
|
KOMPAS, 05 Juli 2016
Menurut pemahaman umum
umat Islam Indonesia, Idul Fitri dipahami sebagai "kembali kepada
kesucian." Umat Islam yang berpuasa selama Ramadhan dan merasa diampuni
dosa-dosanya, dinilai sebagai manusia yang memperoleh kembali status
kesucian, sesuai kondisi natural dirinya yang terlahirkan dalam keadaan suci.
Jika pemahaman ini
dibenarkan, umat Islam yang terlibat korupsi dan berbagai kejahatan lainnya,
memperoleh justifikasi teologis sebagai manusia yang terlahirkan kembali
kepada kesuciaan di hari raya Idul Fitri. Pemahaman ini salah, dan melalui
momentum hari raya ini, perlu direnungkan kembali makna Idul Fitri yang
benar.
Dalam The Foreign
Vocabulary of the Qur'an (1938), Arthur Jeffery, memasukkan 'id ke dalam
kosakata asing, yang berasal dari bahasa Suriah, 'ida, bermakna "hari
raya" dan, lebih spesifik dalam tradisi Kristen, sebagai "hari raya
liturgi" (a liturgical festival).
Dalam tradisi Kristen,
istilah 'id al-rusul dipakai untuk merujuk pada hari raya Santo Peter dan
Paul; 'id jami' al-qiddisin untuk merujuk pada hari raya orang-orang suci
(santo); 'id al-fish untuk merujuk pada hari raya Paskah; dan, yang lebih
penting lagi, 'id al-milad untuk merayakan hari raya Natal, kelahiran Yesus.
Dalam konteks inilah,
istilah 'id sudah biasa digunakan dalam tradisi hari raya agama monoteistik,
seperti Kristen.
Konteks tradisi monoteistik
Dari sudut pandang sejarah,
Islam hadir tidak dalam ruang hampa. Studi Islam di Barat akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari tradisi agama-agama
monoteistik sebelumnya, yakni Yahudi dan Kristen.
Bahkan,
sarjana-sarjana besar, seperti John Wansbrough dan GR Hawting membuktikan
bahwa Islam hadir dalam konteks tradisi yang bukan politeistik, seperti
pemahaman tradisional Islam selama ini, tetapi justru monoteistik dan aktif
berpolemik secara teologis dengan agama- agama monoteistik pra-Islam.
Puasa yang dijalankan
selama Ramadhan menjadi salah satu bukti bahwa Islam hadir dalam iklim
keagamaan yang monoteistik. Puasa bukan semata-mata tradisi baru dalam Islam,
tetapi sudah menjadi tradisi keagamaan monoteistik yang sudah dilaksanakan
kaum Yahudi dan Kristen.
Kewajiban puasa di
bulan Ramadhan pun sudah pernah diperintahkan kepada mereka yang termasuk
dalam kategori ahl al-kitab, terutama orang-orang Yahudi dan Kristen.
Setibanya hijrah di
Madinah, Nabi juga berinteraksi dengan orang-orang Yahudi. Saat itu, Nabi
menyaksikan orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa pada peristiwa Yom Kippur
yang jatuh pada hari ke-10 Tishri dalam kalender Yahudi, atau biasanya
dikenal sebagai "Ashura" dalam tradisi Islam.
Ketika Nabi bertanya
tentang alasan berpuasa, orang-orang Yahudi menjawab bahwa "Ashura"
adalah hari di mana Tuhan menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa dan
anak- anak Israel. Nabi pun berkata: "Kami memiliki hak yang lebih besar
kepada Musa daripada yang kamu miliki."
Riwayat ini terekam
dalam khazanah intelektual Islam, mulai dari kitab-kitab Hadis yang
kanonikal, seperti Sahih Bukhari dan Muslim, sampai kitab-kitab sejarah yang
otoritatif, seperti Tarikh al-Tabari.
Selain puasa yang
menjadi bukti dari sejarah Islam yang hadir dalam iklim yang monoteistik, 'id
juga merupakan nomenklatur keagamaan lain yang tak dapat dipisahkan dengan
tradisi agama monoteistik Kristen. Apalagi, Islam mengklaim dirinya sebagai
kontinuitas dari agama-agama monoteistik sebelumnya. Karena itu, tak heran
Nabi Muhammad dan pengikutnya, umat Islam, juga merayakan hari raya
keagamaan.
Konteks festival keislaman
Dalam konteks festival
keislaman, umat Islam merayakan setidaknya dua hari raya kanonikal: Idul Adha
pada 10 Zulhijah dan Idul Fitri pada 1 Syawal. Makna 'id dalam dua festival
keislaman ini tidak merujuk pada makna "kembali", seperti Idul
Fitri dimaknai sebagai "kembali kepada kesuciaan" dan Idul Adha
sebagai "kembali kepada kurban."
Tentu saja, pemahaman
ini salah, karena makna 'id dalam konteks festival keislaman ini sama- sama
merujuk pada hari raya, sebagaimana makna 'id dalam tradisi hari raya agama
Kristen. Karena itu, Idul Fitri lebih tepat dimaknai sebagai "hari raya
buka puasa" (festival of fast-breaking) dan Idul Adha ('idal-adha)
sebagai "hari raya kurban."
Dalam kitab hadis
Sahih al-Bukhari, Nabi Muhammad melarang puasa pada dua hari raya itu dan
justru merekomendasikan kepada umat Islam untuk merayakan hari raya Idul Adha
dengan penyembelihan hewan kurban (festival of sacrifice) dan hari raya Idul Fitri
dengan berbuka puasa dan makan (festival of fast-breaking).
Disebut sebagai hari
raya buka puasa, karena hari raya Idul Fitri adalah penanda dari akhir puasa
selama Ramadhan, sehingga kita diharamkan untuk puasa pada 1 Syawal. Dan,
benar pula ketika Ali Mustafa Ya'qub (almarhum) menyebut Idul Fitri dengan
tepat sebagai "hari raya makan," karena makna al-fitr itu sendiri
adalah makanan.
Bahkan, sebelum shalat
Idul Fitri ditunaikan, Nabi merekomendasikan umatnya untuk makan terlebih
dahulu. Sesudah shalat Idul Fitri pun, umat Islam saling berkunjung untuk
memaafkan satu sama lain, sambil menikmati momentum Idul Fitri sebagai
"festival makanan" di setiap rumah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar