Ustaz di Media Publik
Fathorrahman Ghufron ;
Dosen Sosiologi Fakultas
Syari'ah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga; A'wan
Syuriyah PWNU Yogyakarta
|
KOMPAS, 09 Juni 2016
Dalam buku Cahaya, Cinta dan Canda Quraish Shihab yang
ditulis Mauluddin Anwar dkk, diceritakan bahwa seorang Quraish Shihab yang
memiliki garis keturunan dari Habib Ali bin Abdurrahman Shihab yang berasal
dari Hadhramaut tak mau dipanggil dengan sebutan habib. Beliau lebih
senang bila dipanggil ustaz sebagai tanda kehormatan yang lazim yang
disematkan pada seseorang yang memiliki jejak rekam pengabdian dan pengamalan
ilmu keagamaan.
Secara sosiologis, stratifikasi
sosial "ustaz" lebih rendah derajatnya daripada "habib".
Sebab, habib masuk dalam kategori abscribed yang diberikan
kepada seseorang yang secara historis terdapat keterkaitan genealogis dengan
pendahulunya. Sementara ustaz merupakan kategori achived yang
diperoleh melalui proses pencarian keilmuan, yang sesuai dengan kompetensi
yang digeluti dan pengalaman keberagamaan yang ditempa oleh waktu dan ruang
yang memadai.
Pertanyaannya, mengapa seorang Quraish Shihab lebih senang
dipanggil ustaz? Adakah kesamaan stratifikasi dengan kalangan lain yang
barangkali tidak melalui proses pencarian dan pengalaman tertentu, tetapi secara
mendadak melekatkan dirinya dengan panggilan ustaz?
Posisi diri
Pilihan sebutan ustaz yang diinginkan Quraish Shihab bukan
tidak memiliki alasan yang mendasar. Pertama, bisa jadi Quraish Shihab tak
ingin terjebak dengan gelar habib yang dirasa sangat berat beban psikologis
dan sosiologis yang harus diemban. Dan, hal ini menjadi dessenting
calling di antara sebagian orang yang memang memiliki titik sambung
dengan genealogi Hadhramaut dan bertemu dengan keinginan pribadinya yang
ingin menegaskan dirinya sebagai bagian keturunan habib.
Kedua, secara etimologis sebutan ustaz merujuk pada makna
guru yang memiliki kompetensi di bidang keagamaan. Hal ini berkesesuaian
dengan jejak rekam keterdidikan dan prestasi akademis yang digeluti Quraish
Shihab yang puluhan tahun berkecimpung di bidang Al Quran, baik sebagai
penghafal (hafidz) maupun penafsir (mufassir).
Karena itu, sebutan ustaz yang diinginkan Quraish Shihab
sesungguhnya merupakan panggilan alternatif untuk menghindarkan diri dari
sikap riya' (angkuh) maupun kepercayaan diri berlebih daripada
harus bergelut dengan panggilan habib. Dalam konteks ini, Quraish Shihab
memiliki posisi diri (self positioning) yang merendah dan tidak pamer
Namun demikian, apa yang terjadi pada posisi diri Qurasih
Shihab tampak berbeda dengan kalangan lain yang secara masif disebut sebagai
ustaz oleh masyarakat hanya karena tampil di beberapa forum pengajian,
majelis taklim, maupun acara keagamaan yang ditayangkan di televisi.
Bagi kalangan yang menyublimasi dirinya sebagai ustaz,
tentu panggilan itu sebuah prestisius tersendiri yang memang dibentuk oleh
media melalui rekayasa sosial, berkaitan dengan model pencitraan diri dan
cara penyampaian pesan keagamaan yang marketable.
Dengan berbekal ajaran Ali bin Thalib yang melansir "ballighuu
'anni walau ayah"-"sampaikan tentang diriku (yaitu kebenaran)
walaupun satu ayat"-kalangan ustaz bentukan media ini mereplikasi ajaran
keagamaan secara kuantitatif-simplikatif, meskipun tidak memahami apa esensi
dan substansi sebuah ajaran yang patut disampaikan ke publik.
Padahal, kalimat "ballighuu 'anni walau
ayah" menyiratkan makna yang lebih produktif. Bahwa, secara
kualitatif-komprehensif, satu pesan kebenaran yang disampaikan harus
berimplikasi pula pada adanya tanggung jawab pencerahan ke pihak lain agar
sebuah pesan keagamaan dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan dalam
kehidupan sosial.
Akan tetapi, kalimat tersebut sering kali gagal
direfleksikan secara memadai oleh ustaz bentukan media ini. Boleh jadi
karena, pertama, posisi dirinya yang menyublimasi panggilan ustaz hanyalah
bagian dari bentuk eskapisme spritual yang mencoba menemukan kedamaian di
bawah panggilan ustaz.
Kedua, seiring menjamurnya dunia pertelevisian
yang sangat memanjakan posisi ustaz dengan gelimang pendapatan, tak sedikit
di antara mereka yang memproyeksikan dirinya sebagai juru dakwah yang cakap
dalam berceramah. Meskipun apa yang disampaikan cenderung mereplikasi satu
ayat sebagai pandu kebenaran sekaligus menyimplikasikan persoalan hidup
dengan satu ayat pula.
Pola inflasi
Dalam kondisi ini, posisi diri ustaz yang demikian-merujuk
pemikiran Jean Baudrillad dalam buku In the Shadow of the Silent
Majorities-akan terjebak ke dalam sebuah kebudayaan sebagai simulacra.
Sebuah realitas semu dan realitas buatan untuk memenuhi target tertentu,
meskipun harus mengangkangi sendi pokok dari obyek material utama, yaitu
posisi diri sebagai ustaz. Dalam dunia simulacra, ustaz tak lagi
memperhatikan transendensi dan kedalaman sebuah ajaran yang didakwahkan.
Justru yang ada hanyalah permukaan fungsional dari komunikasi untuk
menonjolkan seni pertunjukan.
Atas kenyataan ini, tidak heran bila dalam perkembangannya
keberadaan ustaz mengalami inflasi-meminjam istilah Alwi Shihab yang menunjuk
kepada inflasi habib. Dalam ilmu ekonomi, inflasi merupakan proses menurunnya
nilai mata uang secara kontinu yang berdampak pada naiknya harga komoditas.
Penjelasan ini dapat diserupakan pula dengan gambaran
ustaz yang sangat booming kemunculannya di berbagai media.
Tersebab oleh tingginya minat beberapa media maupun beberapa kalangan
masyarakat untuk mengundang seorang ustaz bentukan media, sekumpulan ustaz
ini lantas berlomba-lomba untuk menaikkan tarif berceramahnya.
Karena itu, menjadi benar apa yang disampaikan oleh KH
Mustofa Bisri (Gus Mus): banyak ustaz yang dalam ceramahnya tidak menggunakan
mata kasih sayangnya (alladzina la yandzuruna bi aini ar rahmah) untuk
menyapa jemaah secara ikhlas. Mereka malah menggunakan mata duitan (alladzina
yandzuruna bi aini al maliyah) untuk mendulang pendapatan.
Padahal, dalam keadaan inflasi, ustaz akan mengalami
reduksi nilai yang tak lagi berharga di hadapan manusia yang selalu
membutuhkan penuntun kebenaran dari sumber keagamaan. Kalaupun ustaz masih
tampak seperti mercusuar dalam menyampaikan pesan keagamaannya, tidak menutup
kemungkinan pesan keagamaan tersebut tidak mempunyai kekuatan daya jangkau
untuk menuntun orang ke jalan kebaikan. Sebab, pesan keagamaannya hanya
menyampaikan satu pesan keagamaan yang bobot persentasenya ditentukan
seberapa besar tarif yang bisa diperoleh.
Dampaknya bukan saja pada persoalan ekonomi yang dilanda
oleh fenomena krisis. Lebih dari itu, keberadaan ustaz pun mengalami krisis
mental dan spritual akibat laku inflasi diri yang diperbuat dirinya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar