Terempas di Dasar Samudra
Teuku Kemal Fasya ; Dosen Antropologi FISIP
Universitas Malikussaleh
Lhokseumawe
|
KOMPAS, 11 Juni
2016
“Memang banyak yang takkan kembali lagi. Bukan hanya
benda-benda, juga anggapan-anggapan, termasuk waktu” Pramoedya
Ananta Toer
Geger Partai Komunis
Indonesia bangkit kembali mulai marak. Sungguh mencengangkan: tiba-tiba
segala hal tentang PKI hidup dan dinarasikan secara dramatis. Masa lalu itu
dimunculkan, tetapi dengan semangat Orde Baru.
Benarkah PKI baru akan
muncul lagi? Ataukah itu alibi untuk mengorbankan situasi sosial-politik
sekarang akibat awan gelap tragedi 1960-an itu tak kunjung tuntas? Sengaja
penulis tak menyebutkan momen 1965 karena konotasinya bisa dianggap
menggiring pembelaan sejarah eks PKI. Seperti saran sejarawan Anhar Gonggong,
sejarah sebelum 1965 atau ketika PKI berjaya harus juga dilihat sehingga
panggung sejarah nasional yang berwarna merah itu bisa obyektif dibaca.
Langue "PKI"
Setelah setengah abad
berlalu dan 18 tahun reformasi berjalan, kenapa isu PKI masih liar
mencengkeram perasaan dan dianggap ancaman nasional? Apakah kita harus begitu
"parno"-nya sehingga membicarakan kejadian berbilang generasi itu
pun harus dengan kepala panas? Situasi ini sangat mengganggu dan bisa mengarah
pada kecerobohan yang membahayakan nilai-nilai demokrasi dan HAM yang menjadi
die Zeitgeist saat ini.
Kisah penangkapan dua
mahasiswa antropologi Universitas Ternate pada 10 Mei lalu karena memakai
kaus bertuliskan "Pecinta Kopi Indonesia" yang berakronim
"PKI" adalah wujud gagal nalar itu. Jika memakai perspektif
semiotika, tafsir represif negara atas warna merah dan akronim PKI adalah
wujud salah kaprah membaca pesan di era multimedia dan hiperinformasi,
seperti saat ini.
Apakah tepat
menunggalkan simbol merah dan akromin PKI hanya pada Partai Komunis
Indonesia? Bukankah juga ada polisemika akronim?
Pada semester ini di
Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh, penulis diminta mengampu mata
kuliah dengan kode "PKI".
Dalam rapat, penulis meminta nomenklatur itu diganti. Pimpinan dan
peserta rapat menyatakan tidak perlu. Mata kuliah ini tak ada hubungannya
dengan PKI Aidit atau Muso sebab silabusnya berisi sejarah dan peradaban
Islam, yaitu Pengantar Kebudayaan Islam!
Demikian pula akronin TPA digunakan untuk Taman Pendidikan Al Quran
dan Tempat Pembuangan Akhir; dua hal yang memiliki kesamaan akronim, tetapi
beda fungsi, makna, dan obyek utopisnya.
Situasi saat ini harus
dibaca secara antropologis dan bukan "historis-fasistis" demi
memahami kode-kode kultural anak muda sekarang. Apakah betul mahasiswa yang
gandrung membaca buku kiri dan perlawanan pasti anarkis dan pro komunisme?
Bukankah mengkriminalisasi kaum muda nan kritis hanya akan melahirkan
perlawanan yang lebih keras lagi? Mereka tidak punya senjata dan kekuatan
militer. Satu-satunya yang dimiliki hanyalah pesan, simbol, dan kekuatan
bahasa.
Jika saat ini muncul
gagasan untuk menengok ulang sejarah
1960-an, tujuannya bukan untuk gaya-gayaan, apalagi sekadar
menyenangkan komunitas HAM, kepuasan di meja akademik, atau misi Den Haag.
Tujuan paling utama: menyembuhkan bangsa ini dari sakit sejarah dan
kemanusiaan.
Lagi pula, munculnya
wacana itu bukan hanya berasal dari anak muda yang tidak terpapar langsung
trauma sejarah, tetapi juga keresahan pelaku, apalagi korban yang kini telah
renta dan sakit gula. Keresahan itu pun dirasakan mereka yang telanjur
dikorbankan atau telanjur menjadi pelaku. Mereka pasti pilu karena perasaan
berdosa pernah menjagal manusia layaknya hewan. Demikian pula para penyintas,
masih sendu meringkuk di kesendirian dan serba salah, seperti terbaca di
kutipan memoar Pramoedya Ananta Toer di atas, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
(1995).
Tak mudah hilang
Kisah-kisah mereka
yang telanjur jadi korban sedemikian banyaknya di Nusantara. Seperti seorang
penulis yang mengisahkan kakeknya yang dituduh PKI. Sang kakek yang bergabung
dengan sebuah serikat buruh di Balikpapan, ketika terjadi tragedi 1965 di
Jakarta, ia terimbas dituduh PKI. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Kopkamtib) memaksa kakeknya menerima tuduhan PKI golongan C2 atau
dijebloskan ke penjara. Ia kemudian dipensiunkan dini. Bukan hanya itu,
seluruh akar kekerabatannya mulai saudara, anak, dan menantu dilarang bekerja
di pemerintahan atau kuliah di perguruan tinggi negeri. Bagi yang telanjur
PNS dicopot.
Semua penderitaan baru
berhenti ketika pemerintah Soeharto mencabut kebijakan Bersih Lingkungan pada 1988 atas desakan PBB. Yang menyesakkan
stigma sosial yang mengekal sebagai keturunan PKI!
Sakit peradaban bangsa
atas trauma 1960-an ini tak mungkin hilang begitu saja layaknya hujan
semusim. Obatnya bukan waktu semata, tetapi gerakan sosial secara sadar
antara masyarakat dan negara. Harus ada warga yang aktif membangun upaya
rekonsiliasi dan negara harus memfasilitasi.
Beberapa riset
menunjukkan, tragedi penghukuman, pembantaian, diskriminasi, dan propaganda
media terhadap mereka yang dituduh PKI pada era 1960-1970-an juga membawa
konsekuensi kekacauan iman secara masif.
Tuduhan PKI sebagai ateis dan anti Pancasila telah membawa implikasi
religiusitas dan migrasi ke agama formal secara besar-besaran saat itu. Yang
paling merosot pemeluknya adalah Islam dan aliran kepercayaan. Yang
signifikan meningkat adalah Kristen. Penganut Buddha dan Hindu bertambah
meskipun tidak signifikan (Singgih
Nugroho, Menyintas dan Menyeberang, 2008).
Residu kultural yang
dirasakan saat ini adalah politisasi agama dan wacana sektarianisme. Di
tingkat lokal beroperasi melalui dalih otonomi daerah, yaitu kebijakan diskriminatif
berbasis agama dan aksi intoleransi terhadap minoritas. Secara tak sadar,
luka pilu masa lalu terinstitusionalisasi di masa sekarang.
Karena itu, tak ada
jalan lain, sakit ini harus disembuhkan. Sejarah harus diungkap secara jujur
dan proporsional. Pengungkapan tragedi masa lalu itu berdampak pada
penyembuhan karakter sosial dan budi pekerti kita berbangsa dan bernegara.
Sebaliknya, kalau kita terus marah dan mendendam, jangan salahkan bangsa ini
semakin kerdil. Pelan dan pasti kita akan terisap, hanyut, dan terempas di
dasar samudra peradaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar