Taiwan dan Asia Tenggara
Broto Wardoyo ;
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan
Internasional UI
|
KOMPAS, 06 Juni 2016
Tanggal 20 Mei 2016, Tsai Ing-wen dilantik jadi Presiden
Taiwan (Republik Tiongkok) menggantikan Ma Ying-jeou. Tsai mengusulkan
kebijakan ”mengarah ke selatan” sebagai salah satu fokus kebijakan luar
negeri Taiwan.
Dalam banyak hal, Tsai yang berasal dari Partai Demokratik
Progresif (DPP) dikenal berseberangan dengan Ma dari Partai Nasionalis (KMT).
Salah satu perbedaan di antara mereka terletak dalam kebijakan Taiwan
terhadap (Republik Rakyat) Tiongkok. Ma mendorong hubungan baik dengan
Tiongkok dan menempatkan hubungan Taipei-Beijing sebagai agenda utama
kebijakan luar negeri Taiwan. Bagi Ma dan partainya, hubungan baik dengan
Beijing merupakan kunci bagi peran internasional Taiwan.
Pilihan Ma berhasil memberikan ruang bagi peran
internasional Taiwan dalam delapan tahun terakhir. Tiongkok, misalnya
”mengizinkan” Taiwan terlibat dalam World Health Assembly. Kesepakatan perdagangan
bebas dengan Singapura juga tercapai setelah penandatanganan kesepakatan
ekonomi antarselat (ECFA). Taiwan juga sukses menandatangani kesepakatan
perdagangan bebas dengan Selandia Baru, negara pertama yang memiliki
kesepakatan perdagangan bebas dengan Tiongkok, Taiwan, dan Hongkong.
Di lain pihak, Tsai dan partainya tak melihat sentralitas
Tiongkok dalam hubungan luar negeri Taiwan. Bagi Tsai, hubungan dengan
Beijing hanya satu dari sekian banyak isu dalam kebijakan luar negeri Taiwan.
Dalam pemahaman tersebut, Tsai menawarkan kebijakan ”mengarah ke selatan”
sebagai alternatif kebijakan luar negeri Taiwan di periode kepemimpinannya.
Kebijakan ”mengarah ke selatan” sendiri bukanlah hal yang
baru dalam hubungan luar negeri Taiwan. Presiden Lee Teng-hui pertama kali
mengadopsi kebijakan ini di awal 1990-an (Go South Policy). Kebijakan
ini dimunculkan untuk menarik minat pebisnis Taiwan mengarahkan investasi
mereka ke Asia Tenggara, bukan ke Tiongkok. Pasca 1998, Lee bahkan memberikan
batasan-batasan bagi investasi Taiwan ke Tiongkok untuk meredam laju
investasi antarselat. Tingkat keberhasilan kebijakan Lee ini sendiri tidaklah
memuaskan. Total investasi Taiwan ke empat negara Asia Tenggara (Indonesia,
Malaysia, Singapura, dan Thailand) selama 1991-1998 tidak sampai setengah
dari total investasi Taiwan ke Tiongkok pada periode yang sama.
Kebijakan ”mengarah ke selatan” kemudian dilanjutkan oleh
Presiden Chen Shui-bian dari DPP. Setali tiga uang, kebijakan ini juga gagal
mencapai hasil yang diharapkan. Bahkan, total investasi Taiwan di Asia
Tenggara dalam periode Chen masih lebih rendah dibandingkan periode Lee,
meski angka perdagangan menunjukkan peningkatan yang cukup besar (dua kali
lipat). Kebijakan Chen sendiri lebih memprioritaskan India dibandingkan
negara-negara Asia Tenggara.
Mendorong independensi
Dari dua pengalaman tersebut, salah satu tantangan bagi
kebijakan ”mengarah ke selatan” yang diusulkan Tsai adalah apakah kebijakan
tersebut akan mampu mengalihkan atau mengimbangi laju investasi Taiwan ke
Tiongkok dan dependensi perdagangan antarselat. Selama periode Ma, laju
investasi Taiwan ke Tiongkok berkisar 60-70 persen dari total investasi
Taiwan.
Perbedaan logika kebijakan Ma dan Tsai sering dikaitkan
dengan perbedaan identitas antara koalisi biru dan koalisi hijau. DPP dan
mitra-mitra koalisinya dipahami sebagai kelompok yang mendorong independensi
Taiwan, dengan menanggalkan nama Republik Tiongkok yang selama ini secara
resmi digunakan, sedangkan KMT dan mitra-mitra koalisinya mendorong unifikasi.
Kemenangan DPP dalam dua pemilu terakhir (legislatif dan presiden) pun
kemudian diletakkan dalam konteks bahwa publik tak menghendaki hubungan yang
terlalu dekat dengan Beijing.
Peningkatan identitas Taiwan di kalangan publik memang
tampak dari hasil survei yang secara rutin dilaksanakan oleh beberapa
institusi di Taiwan. Dalam beberapa tahun terakhir, identifikasi sebagai Taiwanese memang
meningkat di kalangan publik, seiring penurunan identifikasi sebagai Chinese dan both
Chinese and Taiwanese. Meski demikian, peningkatan identifikasi
sebagai Taiwanese tersebut tidak berjalan seiring pilihan
kemerdekaan. Hasil survei yang sama memperlihatkan, mereka yang memilih
kemerdekaan atau status quo yang mengarah pada kemerdekaan
masih lebih minim jika dibandingkan dengan mereka yang memilih status
quo hingga waktu yang tidak ditentukan.
Ketidaksinkronan tersebut menunjukkan, pada dasarnya
sebagian besar publik Taiwan lebih memilih bersikap pragmatis. Sikap inilah
yang mendorong sebagian besar pemilih mengambang untuk mendukung koalisi
hijau dalam pemilu yang lalu. Langkah mendekat ke Beijing yang diambil Ma
dianggap bisa mengganggu status quo. Tidak adanya alternatif
ketiga dalam politik domestik Taiwan membuat publik tidak memiliki banyak
ruang bergerak dalam pilihan politiknya.
Selain itu, hal lain yang juga jadi pertimbangan publik
adalah performa ekonomi Taiwan di bawah Ma. Tingkat kepuasan terhadap kinerja
ekonomi pemerintahan Ma cenderung minim, seperti yang ditunjukkan hasil
survei Election Study Center, National Chengchi University (dari akhir 2012
hingga akhir 2015 tingkat kepuasan tak pernah lebih tinggi dari 25 persen).
Sikap pragmatis tersebut jadi ciri tersendiri dalam
politik domestik Taiwan. Sikap itu pula yang sebenarnya mendorong kegagalan
kebijakan ”mengarah ke selatan” dalam dua periode sebelumnya. Kebijakan yang
didorong oleh pemerintah tidak mendapatkan dukungan di kalangan pebisnis yang
lebih melihat potensi ekonomi Tiongkok jika dibandingkan Asia Tenggara.
Konstelasi berubah
Dalam situasi saat ini, kondisi di lapangan sedikit banyak
sudah berubah. Setidaknya ada dua perbedaan signifikan yang akan memengaruhi
keberhasilan kebijakan Tsai.
Pertama, Tiongkok sudah jauh lebih percaya diri dalam
pembangunan
ekonominya dan mulai melakukan pengaturan lebih ketat terhadap
investasi dari Taiwan. Kajian yang dilakukan TEEMA menunjukkan peningkatan
ketidakpuasan para pengusaha Taiwan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan
Tiongkok. Sebagian kecil (sekitar 6 persen) bahkan mempertimbangkan menarik
kembali investasi mereka.
Kedua, beberapa jenis industri, terutama industri kecil
dan menengah yang menjadi tren investasi Taiwan di luar negeri, mulai
kesulitan mengembangkan dirinya karena keengganan generasi kedua dalam
membangun bisnisnya di Tiongkok. Hal-hal tersebut bisa mendorong adanya
kesejalanan antara government-led policy dan pilihan
pragmatis pelaku bisnis di lapangan untuk mendukung kebijakan ”mengarah ke
selatan” Presiden Tsai.
Keberhasilan kebijakan ”mengarah ke selatan” tidak saja
bergantung pada sinergi antara pemerintah dan kelompok pelaku, juga
bergantung pada respons negara-negara ”selatan” itu sendiri. Interaksi di
kalangan akar rumput antara Taiwan dengan negara-negara Asia Tenggara pada
dasarnya sudah sedemikian mendalam. Hanya saja, sejauh mana pola semi-ofisial
yang selama ini diandalkan dalam menjaga kedalaman hubungan di kalangan akar
rumput tersebut masih harus dibuktikan dalam waktu-waktu ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar