Sebulan Kemustahilan
Kurnia JR ;
Sastrawan
|
KOMPAS, 06 Mei 2016
Ketika agama sudah jadi sekadar
kegiatan budaya, maka hasilnya adalah festival. Peribadatan jadi perayaan,
doa jadi nyanyian. Di sana ada keramaian, kemeriahan, bunyi-bunyian, tarian,
sajian kuliner, pameran busana dan aksesori, serta simbol-simbol warna dan
benda.
Menjauhi keriuhan festival,
spiritualitas justru menarik diri, melejit bagai kucing kecil yang
terperanjat dan bersembunyi di sudut sunyi karena hakikat spiritualitas
adalah personal dan individual. Manusia yang larut dalam pesta biasanya tidak
sempat ingat soal kucing, apalagi yang terbirit-birit ke balik dinding.
Kendatipun ada kucing besar yang
berani lewat, ia akan berlalu dengan acuh tak acuh, sama sekali tak menoleh
takjub menyaksikan ulah kerumunan manusia yang lupa akan kepompong jiwanya.
Minimal si kucing hanya menyantap makanan yang tercecer sejangkauan cakarnya
dan sekapasitas perutnya. Sesudah itu, dia kembali ke kesunyian eksistensinya
selaku entitas fitri yang tidak berprasangka, berencana, atau berangan-angan.
Kucing tak membutuhkan pesta,
tetabuhan, pakaian, riasan dan perhiasan, simbol dan bentuk. Hal itu membuat
si kucing mudah dilupakan oleh manusia yang merayakan pesta keagamaan,
semisal tradisi menyambut Ramadhan dan sepanjang bulan puasa dengan berbagai
acara sosial yang bahkan dihiasi ”musik dan tarian sufi” sekalipun.
Agama adalah kesukacitaan dan
kemerdekaan. Kesukacitaan menggapai pemurnian lahir dan batin, dan
kemerdekaan jiwa dari perbudakan oleh hawa nafsu. Maka, karakter agama adalah
pengendalian diri pribadi, pengarahan motivasi ke taraf spiritual yang
setinggi-tingginya.
Sebuah
pengulangan
Idealisasi itu, sejujurnya,
menciutkan nyali kita kaum awam. Membaca paragraf di atas, kita merasa
bersirobok dengan kemustahilan menggapai puncak keberagamaan yang dihamparkan
Ilahi. Padahal, pemuliaan diri adalah dambaan setiap umat tanpa kecuali.
Ajaran kepercayaan dan agama dikejar oleh setiap insan yang rindu kampung
halaman. Dalam syair Hazrat Inayat Khan, dunia adalah tanah pengasingan
manusia dari kampung asalnya yang bernama surga.
Meski dikunyah setiap hari,
idealisasi tujuan hidup dan ungkapan surga-neraka, bagi sebagian besar kita,
lebih cenderung sekadar gambaran idolatry yang tidak terbayangkan sebagai
alam yang bakal kita hayati secara konkret. Tak usah kita gambarkan surga.
Cukup neraka sebagai api, sel terkunci, suhu yang menggosongkan, aneka
siksaan tak terperi. Demikian mengerikan berbagai penggambarannya sehingga
akal kita tidak berdaya untuk mengonkretkan citraan itu seutuhnya, yang
sanggup menghanguskan selera kita menikmati dunia yang penuh warna ini.
Terma-terma yang dibawa agama
tampak bagi awam sebagai puncak-puncak fenomena yang menantang akal sekaligus
mengecutkan spirit. Apa itu dosa, pahala, surga, neraka, kesucian, dan
pembersihan? Apakah para pendakwah yang setiap hari mengkhotbahkan enam terma
itu memahami dan menghayati hakikatnya? Sekarang sangat mudah orang ambil
profesi sebagai juru dakwah. Pernahkah mereka mengukur kemampuan menggali
arti hakiki puncak-puncak wacana religi tersebut?
Apa yang kita lakukan setiap kali
selesai menyimak khotbah mereka? Boleh jadi, kebanyakan dari kita kembali ke
kesibukan rutin duniawi. Urusan keagamaan kita serahkan kepada para pendakwah.
Apa pula yang melekat di benak kita dari isi khotbah mereka? Bukankah banyak
di antara kita yang hafal nyaris seluruh materi yang disemburkan? Jadi, apa
gunanya pengulangan-pengulangan itu?
Para pendakwah medioker
menciptakan gerombolan pelarian yang dalam proses kebudayaan menghasilkan
berbagai tradisi atributif atas nama religi. Kita tidak bisa mengharapkan
badan-badan keagamaan otoritatif memberlakukan persyaratan ketat dan
standardisasi atas para juru dakwah, sebab keulamaan di mata awam kerap dicampuri
unsur pesona atau karisma pribadi si juru dakwah, yang tidak ada hubungannya
dengan aspek keilmuan.
Yang menyedihkan, makin permisif
juru dakwah dengan dalih yang longgar terhadap fondasi syariat, makin banyak
penggemarnya. Kaum awam yang tak mampu memahami terma-terma puncak
keberagamaan akibat kedangkalan ilmu juru dakwah akhirnya cenderung menghibur
diri sendiri dengan apologi. Hadis yang menyatakan ”tiada amal tanpa ilmu”
tidak populer di kalangan juru dakwah masa kini, sebab ilmu agama sebagai disiplin
sendiri merupakan anasir asing di kalangan mereka.
Jalan
datar dan monoton
Dari tahun ke tahun, setiap
Ramadhan, sebagian besar umat Islam menunaikan ibadah puasa di jalan raya
yang datar dan monoton. Jarang ada yang menatap puncak-puncak gunung religius
di kejauhan akibat kelangkaan pembimbing yang mumpuni untuk menuntun mereka
mendaki.
Kebebasan dalam praktik keagamaan
diekspresikan dalam kemasabodohan yang tak disadari. Sementara itu, iklan di
TV menebar rayuan komersial. Demikianlah seruan untuk merayakan pesta dalam
arti harfiah minus edukasi.
Bagi kaum esoteris Jawa klasik,
puasa adalah wujud eling: ingat kepada Ilahi Sang Pengayom ingsun
(hamba/ciptaan), ingat untuk menjaga lubang-lubang hawa nafsu. Apabila
sekejap saja kondisi eling itu lepas kontrol, buyarlah ritual puasa.
Menyimak ujaran itu, tidakkah
kesadaran kita tertegun? Betapa Ramadhan hanya akan menjadi sebulan
kemustahilan menggapai kemenangan! Bukankah ini sebuah bantahan tegas
terhadap mudahnya mengakui kemenangan pada tanggal 1 Syawal?
Seandainya hadir para pembimbing
yang sarat dengan ilmu, bukan sekadar juru dakwah yang membalas honor tinggi
dengan kalkulasi pahala yang kapitalistis bagi praktik ibadah jemaah
pendengarnya, kita tak akan telantar dalam keputusasaan menatap puncak-puncak
tujuan kita.
Adakah jalan keluar dari problem
ini? Kata seorang guru, ”Rahmat Allah itu luas, mahaluas.” Agama adalah kabar
gembira bagi emansipasi rohani, bukan keputusasaan. Bila sebulan kita
berjibaku mendaki puncak rohani, maka pada Hari Raya kita akan menangis
mensyukuri rahmat Ilahi, bukan merayakan kemenangan tanpa bukti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar