Rumah Radio Bung Tomo di HUT Surabaya
I Basis Susilo ; Dosen FISIP Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 31 Mei
2016
KASUS
dirobohkannya rumah Radio Pemberontakan di Jalan Mawar Nomor 10 awal Mei ini
semestinya menyadarkan warga kota dan Pemkot Surabaya -yang berhari jadi pada
31 Mei ini- akan pentingnya secara sungguh-sungguh menjaga, memelihara, dan
menumbuhkembangkan nilai-nilai kebangsaan. Terutama patriotisme dan
kepahlawanan.
Pasalnya,
rumah itu amat bersejarah. Pada Oktober dan November 1945, rumah tersebut
dipakai sebagai markas pertahanan dan tempat bersiarannya Radio
Pemberontakan. Radio Pemberontakan yang dipimpin Bung Tomo itu telah membakar
dan me¬ngobarkan patriotisme dan kepahlawanan arek-arek Suroboyo serta
pejuang-pejuang dari daerah-daerah lain datang ke Surabaya u¬ntuk berjuang
dan bertempur.
Radio dan Provokasi
Digunakannya
radio sebagai alat perjuangan di Kota Surabaya pada 1945 membuat patriotisme
dan kepahlawanan di Surabaya terlalu kuat dibanding yang ada di kota atau
tempat lainnya. Sehingga oleh pemerintah 10 November dijadikan Hari Pahlawan.
Mulai
mengudara 16 Oktober 1945, radio itu mengawali siarannya dengan lagu Hawaiian
Tiger Shark yang (mungkin) sedang populer saat itu. Setiap lagu tersebut
berkumandang melalui radio, rakyat Surabaya berkumpul di sekitar radio untuk
menanti pidato Bung Tomo.
Siaran
itu juga didengar masyarakat di daerah-daerah lain. Sebab, siaran Radio
Pemberontakan tersebut di-relay sebagian pemancar Radio Republik Indonesia
(RRI) seperti di Malang, Solo, dan Jogjakarta.
Salah
satu nukilan pidato Bung Tomo pada malam sebelum perang besar terjadi
(9/11/45): "Saudara-saudara rakyat Surabaya. Bersiaplah! Keadaan
genting. Tetapi, saya peringatkan sekali lagi. Jangan mulai menembak. Baru
kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu. ... Kita
tunjukkan bahwa kita itu adalah orang yang benar-benar ingin merdeka. Dan
untuk kita, Saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak
merdeka. Semboyan kita tetap. Merdeka atau mati! Dan kita yakin,
Saudara-saudara, akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita.
Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah, Saudara-saudara,
Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu
Akbar! Merdeka!"
Pekikan
Allahu Akbar! dan Merdeka! berulang-ulang itu memprovokasi seluruh lapisan
masyarakat untuk ikut bertempur. Kiai NU seluruh Jawa dan Madura mengadakan
rapat raksasa di Surabaya pada 22 Oktober 1945 untuk mendukung perjuangan
rakyat melawan penjajah Belanda.
Akibatnya,
pelbagai organisasi tumpah ruah berjuang ke Surabaya. Selain dari BKR dan
TKR, ada sekitar 60 pasukan dan laskar yang didirikan para pemuda, santri,
dan karyawan berbagai profesi dari pelbagai daerah dan suku.
Semangat
itu juga sampai ke luar negeri karena diteruskan para warga asing di
Surabaya. Salah seorang yang paling gigih adalah Ktut Tantri. Dia perempuan
Amerika Serikat kelahiran Skotlandia bernama asli Muriel Pearson. Dalam
semalam, dia siaran bahasa Inggris dua kali, menjelaskan kepada dunia
internasional mengenai kisah perjuangan bangsa Indonesia.
Markas dan Tekad
Selain
tempat radio, rumah di Jalan Mawar tersebut dijadikan markas pertahanan. Di
rumah itu, 28 Oktober 1945, pukul 17.00, ada pertemuan sejumlah pimpinan
perjuangan. Di antaranya HR Muhammad Mangundiprojo, Sutopo, dan Katamhadi
dari BKR, Soemarsono dari PRI, serta Bung Tomo dari BPRI. Mereka bertekad
bulat untuk melancarkan serangan dengan perhitungan pasukan Inggris saat itu
masih lemah.
Kebulatan
tekad itu disiarkan Soemarsono melalui Radio Pemberontakan. Pidato Soemarsono
disusul pidato Bung Tomo yang membakar semangat rakyat Surabaya khususnya,
dan rakyat Indonesia umumnya, untuk melawan tentara Inggris serta Belanda.
Segera
malam harinya beberapa tempat atau gedung yang diduduki tentara Inggris
dikepung rakyat Surabaya. Seperti ceceran gula pasir dikerubungi semut.
Pasukan Inggris tak bisa bergerak dari tempatnya, tak bisa minta bantuan dari
tempat lain, serta kehabisan peluru, air, dan makanan. Pasukan Inggris saat
itu hampir musnah seluruhnya ("Narrowly
escape complete destruction").
Brigjen
Mallaby panik. Untuk mencegah kehancuran pasukannya, dia meminta Jenderal
Hawthorn mendatangkan pejabat pemerintah Indonesia. Terbanglah ke Surabaya
pada 29 Oktober 1945 Bung Karno (presiden), Bung Hatta (wakil presiden), dan
Amir Sjarifuddin (menteri penerangan). Esoknya, trio pemimpin kita itu sempat
menghentikan perang untuk sementara. Tapi, malam harinya konflik terjadi dan
menewaskan Mallaby sehingga kemudian memperkeras pertempuran.
Apa
pun, permintaan Mallaby dan Hawthorn pada 29 Oktober itu amat penting bagi
perjuangan negara-bangsa kita, terutama di bidang diplomasi. Sebab, secara
jelas dan nyata itu merupakan pengakuan secara de facto kedaulatan RI dari
pejabat yang mewakili pemerintah Inggris.
Pugar dan Akses
Pembongkaran
itu telanjur terjadi. Namun, upaya tetap menjaga, memelihara, dan
menumbuhkembangkan patriotisme serta kepahlawanan harus juga tetap dilakukan.
Sebelum kehilangan lebih banyak memori patriotisme dan kepahlawanan, Pemkot
Surabaya harus segera membangun lagi dan memugar rumah itu supaya bisa
menjaga nilai sejarah dari rumah tersebut.
Justru
pemugaran itu bisa kita jadikan momentum untuk lebih mendayagunakan rumah dan
bangunan cagar budaya tersebut (dan cagar budaya yang lain). Agar lebih mudah
bisa diakses dan dijadikan sarana belajar bagi rakyat, khususnya generasi
muda kita. Tentu saja tanpa mengubah keotentikan objek, pemugaran perlu
mempertimbangkan layanan-layanan dengan fasilitas-fasilitas yang menarik bagi
para (calon) pengunjung di kemudian hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar