Rasionalisasi PNS dan Kualitas Layanan Publik
Bagong Suyanto ; Dosen FISIP Universitas Airlangga;
Pernah meneliti perampingan
struktur birokrasi dan rasionalisasi PNS
|
JAWA POS, 08 Juni
2016
PEGAWAI negeri negeri sipil (PNS) di pusat
maupun di berbagai daerah kini dikabarkan resah. Pemicunya adalah pernyataan
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi
yang berencana merumahkan 1 juta PNS secara bertahap mulai 2017 sampai 2019.
Itu dilakukan untuk mengurangi jumlah PNS yang
dinilai sudah terlalu banyak dan inefisien. Mereka yang terancam dirumahkan
adalah PNS yang tidak kompeten, tidak profesional, dan tidak disiplin.
Menurut Men PAN-RB, saat ini jumlah PNS mencapai
4.498.643 orang. Lebih dari separo (51,59 persen) berpendidikan tinggi.
Adapun 20,09 persen berpendidikan menengah dan 28,32 persen berpendidikan
rendah.
Dana APBN yang dihabiskan pada 2016 untuk
membayar gaji PNS sebesar Rp 347,5 triliun. Jumlah itu naik bila dibandingkan
2013 yang sebesar Rp 233 triliun dan 2015 yang mencapai Rp 299,3 triliun.
Di sejumlah daerah, dana APBD yang dihabiskan
untuk membayar gaji PNS sering kali lebih dari 50 persen. Bahkan, ada
sejumlah daerah yang 80 persen APBD-nya habis hanya untuk membayar gaji PNS.
Kondisi seperti itu sudah barang tentu akan memengaruhi kinerja pemerintah
daerah dalam menyediakan layanan publik yang berkualitas dan merata bagi
masyarakat.
Dengan melakukan rasionalisasi PNS, diharapkan
beban belanja anggaran pembangunan, baik di pusat maupun daerah, lebih
ringan. Juga, alokasinya bisa dialihkan untuk kepentingan langsung
masyarakat.
Sembari menunggu keluarnya regulasi dalam
bentuk peraturan menteri tentang percepatan penataan PNS yang konon sedang
digodok, wajar jika banyak kalangan PNS yang kini resah. Sebab, selama ini,
dalam konstruksi pemikiran PNS, mereka biasanya baru bisa dipecat jika
terbukti terlibat kasus pelanggaran hukum dan telah divonis bersalah oleh
pengadilan.
Melamar dan bisa lolos seleksi menjadi PNS
adalah sebuah proses panjang yang rumit dan penuh tantangan. Karena itu,
ketika tiba-tiba mereka terancam dirumahkan hanya karena pertimbangan
efisiensi anggaran, tentu reaksi yang muncul umumnya kontra alias tidak
setuju.
Di mata masyarakat Indonesia, bekerja sebagai
PNS bukan sekadar tempat mencari nafkah atau mata pencaharian. Tapi juga
berkaitan dengan status sosial dan keamanan psikologis seseorang.
Meskipun secara gaji kalah jauh oleh pegawai
swasta, kepastian uang pensiun dan penghargaan dari masyarakat terhadap
status PNS menjadikan kecilnya nilai bayaran itu terkompensasi.
Rencana Men PAN-RB untuk mendongkak kualitas
pelayanan publik dan meningkatkan efisiensi anggaran pembangunan di atas
kertas harus diakui sebagai rencana yang ideal. Tetapi, masalahnya sekarang:
Apakah benar sumber dari inefisiensi dana pembangunan hanya disebabkan
alokasi gaji untuk PNS yang terlampau besar?
Banyak kajian tentang tata kelola pemerintahan
yang telah membuktikan bahwa salah satu penyebab inefisiensi anggaran
pembangunan adalah alokasi dan pemanfaatan dana pembangunan yang acap kali
bocor. Juga tidak tepat sasaran.
Di pusat maupun di berbagai daerah, sering
terjadi alokasi anggaran pembangunan tidak banyak bermanfaat bagi masyarakat.
Itu dipicu adanya shadow economy yang justru tak jarang membuat pelaksanaan
program pembangunan bagi masyarakat menjadi bias. Kasus mark-up anggaran
pembangunan, pelaksanaan proyek fiktif, dan sejenisnya adalah hal-hal yang
selama ini masih menjadi tantangan dalam upaya pembenahan kinerja birokrasi.
Alih-alih dana digulirkan untuk kepentingan
langsung masyarakat miskin dan program yang dirancang ditujukan untuk
memberdayakan masyarakat, dalam praktik sering terjadi dana yang dikucurkan
telah disunat. Juga, program pembangunan yang dilaksanakan tidak menimbulkan
daya ungkit yang signifikan. Sebab, aparatur birokrasi lebih berkonsentrasi
pada pertanggungjawaban administrasi proyek daripada efektivitas hasilnya.
Setelah setahun terakhir dilaksanakan
moratorium penerimaan PNS, sebetulnya tidak semua daerah dan SKPD kelebihan
jumlah pegawai.
Kalau berbicara idealnya, memang PNS dengan
kompetensi dan kualifikasi rendah serta kinerja buruk sudah selayaknya
dirasionalisasi.
Tetapi, apakah tidak lebih penting jika yang dikembangkan
terlebih dahulu
adalah program pembinaan dan mendorong tumbuhnya optimalisasi
fungsi birokrasi? Yakni, dengan mendorong pergeseran status pegawai dari
tenaga struktural ke tenaga fungsional yang langsung bersentuhan dengan
kebutuhan publik.
Sekalipun dari segi jumlah terkesan telah
terjadi kelebihan, perlu disadari bahwa penumpukan atau kelebihan jumlah
pegawai sebetulnya kerap terjadi di pos-pos struktural dan pada bagian-bagian
yang kurang bersentuhan langsung dengan kepentingan publik.
Jadi, alangkah baiknya jika tindakan
perampingan struktur birokasi diikuti dengan upaya penyebarluasan atau
pendistribusian pegawai-pegawai itu ke bagian-bagian yang langsung
bersentuhan dengan kepentingan publik. Terutama sebagai tenaga fungsional
yang memang berorientasi pada kegiatan pelayanan kepada masyarakat.
Wacana tentang rasionalisasi PNS jika
dibiarkan berkembang liar bukan tidak mungkin melahirkan tarik ulur
kepentingan dari berbagai pihak. Yang ujung-ujungnya dapat menyebabkan
distorsi dalam pelayanan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar