Program ”Religi” di Televisi
Gun Gun Heryanto ;
Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI); Dosen
Komunikasi Politik di UIN Jakarta
|
KORAN SINDO, 08 Juni
2016
Bulan Ramadan 1437 H
telah datang. Bulan suci bagi umat Islam ini selain menjadi momentum ibadah
dalam perspektif agama, juga biasanya menghadirkan ritus tahunan yang mapan
terpola.
Salah satu fenomena
lumrah di hampir setiap Ramadan adalah semaraknya acara televisi dengan
berbagai kemasan program bercita rasa religi. Mulai dari reality show, sinetron, talkshow,
komedi, ceramah keagamaan, dan lain-lain. Bahkan iklan sekalipun banyak yang bungkus
dengan ornamen Ramadan. Kesemarakan kian lengkap dengan kehadiran para
selebritas di berbagai paket tayangan program tersebut.
Entitas Ekonomi
Kiprah berbagai
stasiun televisi dalam menyemarakkan Ramadan sering menuai kritik. Ada
beberapa catatan penting dalam menilai televisi dalam konteks Ramadan.
Pertama, mesti disadari bahwa televisi saat ini telah tumbuh dan berkembang
menjadi industri padat modal.
Mengutip pendapat
Shoemaker dan Reese dalam bukunya, Mediating
the Message: Theories of Influence on Mass Media Content (1991), bahwa
organisasi media merupakan entitas ekonomi. Sebagai capitalist venture, media penyiaran beroperasi dalam sebuah struktur
industri kapitalis.
Pernyataan senada
terlontar dari Smythe, dalam tulisannya, Communication:
Blindspot of Western Marxism (1997), menyebutkan bahwa fungsi utama media
pada akhirnya menciptakan kestabilan segmen audiens bagi monopoli penjualan pengiklan.
Stasiun-stasiun televisi komersial tentu memakai logika berpikir yang sama
dalam memaknai Ramadan. Selama bulan Ramadan ada perubahan kondisi kejiwaan,
perasaan, dan selera dari khalayak.
Perubahan ini
ditangkap, kemudian dikomodifikasi dalam bentuk beragam format acara yang
”memanjakan” jiwa, perasaan, dan selera khalayak tersebut. Khalayak yang puas
dengan pemakaian media akan berdampak pada kumulasi modal. Dimmick dan
Rothenbuhler dalam The Theory of the
Niche: Quantifying among Media Industries (1984) mengatakan ada tiga
sumber kehidupan media yakni isi (content),
modal (capital), dan khalayak (audiences).
Dengan isi yang
menarik, audiens akan tetap memilih stasiun televisi tertentu sebagai
pilihannya. Kian banyak audiens yang menonton suatu program, kian tinggi pula
rating program tersebut. Dampak lanjutannya, tentu saja para pengiklan akan
kian berminat memasang iklan pada program yang bersangkutan. Dalam konteks
inilah, tampilan media televisi yang kental dengan wajah industri dianggap sebagai
hal yang lumrah dan sudah seharusnya. Ramadan dalam konteks industri televisi
diperlakukan seperti momentum perhelatan bola Piala Dunia.
Sama-sama memiliki
segmen khalayak yang jelas dan dipersatukan oleh situasi psikologis yang
sama. Momentumnya sama-sama membentuk basis massa dan segmen khalayak yang
jelas bagi media. Kedua, meskipun wajah industri nyata-nyata tergambar dalam
gegap gempitanya paket Ramadan di televisi, tak bisa dinafikan bahwa televisi
menjadi entitas sosial yang sangat berpengaruh.
Bingkai (framing) yang dikonstruksinya- meminjam
istilah Erving Goffman- ibarat kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing
individu dalam membaca realitas. Seleksi isu dan penekanan atau penonjolan
aspekaspek realitas Ramadan telah memungkinkan individu khalayak dapat
melokalisasi, merasakan, mengidentifikasi, serta memberi label tertentu.
Dengan keperkasaannya
sebagai institusi sosial yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pesan
secara cepat dan menjangkau khalayak luas, televisi pun tampil digandrungi
khalayak dari berbagai usia dan strata. Kiprah berbagai stasiun televisi
menonjolkan fenomena Ramadan dalam konteks ini patut dihargai. Karena bisa
jadi, terpaan Ramadan membentuk dampak yang kuat karena media menerapkan prinsip
konsonansi.
Dalam literatur
komunikasi massa, konsonansi diartikan sebagai isi informasi tentang sesuatu
yang disampaikan oleh berbagai media massa yang relatif sama atau serupa.
Kesamaan dalam hal materi isi, arah dan orientasinya, termasuk juga dalam hal
waktu, frekuensi, dan cara penyajiannya.
Berbagai stasiun
televisi yang ramai menayangkan sinetron, talkshow,reality show, ceramah yang
berbau Ramadan seyogianya diapresiasi karena bagaimanapun realitas simbolik
Ramadan yang diusung televisi turut menghadirkan suasana Ramadan hingga ke
ruang-ruang keluarga.
Catatan Kritis
Selain apresiasi,
catatan kritis juga perlu penulis kemukakan terutama menyangkut kualitas
program yang ditampilkan. Pertama, kualitas bahasa dan tindakan simbolis yang
digunakan untuk menyimbolkan keagungan bulan Ramadan seyogianya terjaga.
Jangan hanya karena mengejar keuntungan, berbagai stasiun televisi terjebak
pada model identifikasi mitis dan distansi alegoris. Identifikasi mitis
artinya melebihlebihkan kesatuan identitas Ramadan, antara tindakan simbolis
dan apa yang disimbolkannya.
Sementara distansi
alegoris justru mengonstruksi realitas Ramadan terlampau berbeda dengan
substansinya sehingga menyebabkan keterasingan Ramadan dari hakikat yang
sesungguhnya. Ramadan cukup disimbolkan sebagai bulan evaluasi dan refleksi
dalam peneguhan sosok manusia penyabar, peduli, memiliki komitmen sosial, dan
mampu mengendalikan dirinya. Sehingga, khalayak dapat menyingkap simbol itu
dan terpengaruh baik pemikiran, perasaan, maupun tindakannya.
Kedua, harus ada
perimbangan antara program yang bermuatan edukasi dan yang entertainment. Dengan konsep dan
inovasi kreatif serta didukung produksi yang baik, tentu bisa lebih
menghadirkan kesemarakan Ramadan di layar televisi, tanpa mendistorsi muatan
nilai yang terkandung di dalamnya. Kita memang tidak bisa menafikan
keberadaan televisi sebagai entitas industri. Biasanya, ada tiga hal yang
dapat digunakan sebagai indikator untuk mengidentifikasi karakteristik suatu
industri media.
Customer requirements
merujuk pada harapan konsumen tentang produk yang mencakup aspek kualitas,
diversitas dan ketersediaan. Competitive
environment, yaitu lingkungan pesaing yang dihadapi perusahaan. Social expectation yang berhubungan
dengan tingkat harapan masyarakat terhadap keberadaan industri. Semakin tersedia
program Ramadan yang bagus dan beragam format acaranya, akan memunculkan
kepuasan pada khalayak. Industri televisi kerapkali memiliki kelemahan.
Di antara kelemahannya
itu industri media kerap berorientasi pada pemenuhan keinginan pasar sesuai
dengan kriteria apa yang paling menguntungkan secara ekonomi dan politik bagi
para pemodal. Kita melihat, berbagai produk media pada paket acara Ramadan
bersifat dangkal dan tidak sesuai dengan substansi Ramadannya. Misalnya,
ceramah dan diskusi keagamaan di beberapa stasiun televisi justru diisi bukan
oleh ahlinya, melainkan oleh para selebritas yang secara komersial dianggap
menguntungkan.
Kalaupun ada kiai atau
ustaz sungguhan, rumusannya adalah kiai atau ustaz yang ngetop dan ngepop.
Begitu juga dalam paket program buka puasa dan sahur, substansi acara
keagamaan justru hanya menjadi pelengkap penderita.
Dengan demikian, bisa
dikatakan bahwa dalam konteks industri kapitalis, produk siaran televisi
lebih merupakan mode of production yang kerap mereduksi kesejatian nilai
religiusitas Ramadan. Kita berharap televisi menghormati Ramadan, dengan
menyuguhkan varian program yang relevan dan tak berlebih-lebihan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar