Penegakan Hukum Salah Kaprah terhadap PKL
Hananto Widodo ;
Dosen Hukum Tata Negara Jurusan
Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya
|
JAWA POS, 14 Juni
2016
TINDAKAN Satpol PP Kota Serang menertibkan
seorang pedagang kaki lima (PKL) dengan alasan warung tidak boleh buka di
siang hari selama Ramadan adalah tindakan sewenang-wenang. Bahkan dapat
dikatakan salah kaprah.
Ada argumentasi yang mendasari pernyataan bahwa
tindakan satpol PP tersebut salah kaprah. Pertama, berkaitan dengan prosedur
penertiban. Kedua, berkaitan dengan substansi. Berbicara mengenai penertiban
sebuah warung, tentu harus mengikuti prosedur. Baik yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan maupun prosedur yang mengikuti logika hukum
administrasi.
Dalam logika hukum administrasi, sebuah
tindakan pemerintah yang mengandung sanksi terhadap masyarakat seperti
penertiban PKL (pedagang kaki lima) tentu tidak bisa langsung dilakukan. Harus
ada peringatan terlebih dahulu. Surat peringatan tersebut dibuat oleh pejabat
yang berwenang, yakni wali kota.
Apabila PKL tersebut tidak mengindahkan
peringatan itu, wali kota mengeluarkan surat peringatan kedua. Jika surat
peringatan kedua tersebut juga tidak diindahkan oleh PKL, wali kota dapat
memerintahkan kepada satpol PP untuk melakukan penertiban terhadap PKL yang
tidak taat aturan larangan berjualan di siang hari saat Ramadan.
Penertiban oleh satpol PP tersebut tentu juga
memiliki batas-batas. Satpol PP adalah aparat yang hanya melaksanakan mandat
wali kota. Dengan demikian, satpol PP hanya boleh melakukan tindakan hukum
administrasi.
Artinya, satpol PP tidak boleh melakukan
tindakan yang menjurus ke penegakan hukum pidana. Sebagaimana kita ketahui
dalam kasus di Serang itu, satpol PP telah melakukan penyitaan terhadap
barang-barang dagangan.
Satpol PP secara hukum tidak berwenang menyita
barang-barang dagangan si ibu pemilik warung. Mengapa? Sebab, barang-barang
dagangan seperti gelas dan piring itu bukan hasil kejahatan. Jadi, tidak
boleh disita.
Berbeda jika ada PKL yang menjual
barang-barang bajakan, tentu bisa disita sebagai barang bukti. Sebab, barang
bajakan tersebut merupakan hasil kejahatan. Itu pun, yang menyita bukan
satpol PP, melainkan polisi.
Dengan demikian, tindakan langsung satpol PP
terhadap pemilik warung jika tanpa didahului surat peringatan dari wali kota
tentu dapat dikatakan sebagai bentuk kesewenang-wenangan. Apalagi, satpol PP
telah bertindak di luar batas mandat yang diberikan oleh wali kota dengan
menyita barang-barang dagangan pemilik warung.
Cacat Substansi
Gubernur Banten Rano Karno menyayangkan sikap
satpol PP di Serang yang dianggap terlalu keras terhadap pemilik warung yang
beroperasi di siang hari saat Ramadan. Sikap Rano itu justru menunjukkan
ketidakpahamannya terhadap aturan yang mendasari tindakan satpol PP.
Bagaimanapun, satpol PP bertindak berdasar tugas dari wali kota karena
kewenangan untuk melakukan penertiban ada di tangannya. Satpol PP hanya
melaksanakan tugas dari orang nomor satu di pemerintahan Kota Serang
tersebut.
Tentu ada dasar hukumnya wali kota
memerintahkan satpol PP untuk menertibkan warung-warung yang berjualan di
siang hari saat Ramadan. Yaitu, Perda No 2 Tahun 2010. Yang menjadi
pertanyaan sekarang, kenapa perda tersebut justru bisa berlaku hingga
sekarang? Padahal, perda itu adalah perda yang bisa digolongkan bermasalah?
Perda No 2 Tahun 2010 itu lahir pada masa
berlakunya UU No 32 Tahun 2004. Dalam pasal 145 UU No 32 Tahun 2004,
pemerintah diberi kewenangan untuk melakukan pembatalan terhadap perda yang
diduga bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, perda bisa dibatalkan oleh
pemerintah tujuh hari setelah perda tersebut ditetapkan dan disampaikan oleh
pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Keputusan pembatalan perda ditetapkan dengan
peraturan presiden
paling lama 60 hari sejak diterimanya perda tersebut.
Karena itu, jika dianggap bermasalah, seharusnya Perda No 2 Tahun 2010 dibatalkan
oleh pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono).
Sangat sulit sekarang ini melakukan pembatalan
terhadap Perda No 2 Tahun 2010 melalui mekanisme executive review atau
pembatalan oleh pemerintah pusat. Sebab, waktunya sudah kedaluwarsa. Satu-satunya
jalan yang dapat ditempuh adalah melakukan judicial review terhadap Perda No 2 Tahun 2010 ke Mahkamah Agung.
Adanya Perda No 2 Tahun 2010 tentu merupakan
pelajaran bagi pemerintah sekarang agar lebih cermat dalam meneliti
perda-perda yang dianggap bermasalah. Dengan begitu, ke depan keberadaan
perda-perda seperti itu dapat lebih diminimalkan.
Apalagi dengan berlakunya UU No 23 Tahun 2014
yang menggantikan UU No 32 Tahun 2004, kewenangan pemerintah dalam melakukan
pembatalan perda lebih kuat jika dibandingkan dengan sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar