Pembiayaan Syariah dan Percepatan Infrastruktur
Candra Fajri Ananda ;
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Brawijaya
|
KORAN SINDO, 09 Juni
2016
Pemerintah yang sudah
telanjur banyak menabur janji pembangunan pada akhirnya memilih jalur pintas
melalui utang luar negeri (ULN) untuk membiayai sebagian besar proses
pembangunan infrastruktur.
Presiden Jokowi sudah
sangat giat mempromosikan ke berbagai negara untuk memberikan dana hibah dan/
atau pinjaman kepada Indonesia. Sementara ini hingga akhir kuartal I-2016,
total rasio ULN sudah mencapai 36,5% seiring dengan meningkatnya capaian ULN
pada periode ini sebesar 5,7% (BI, 2016). Rasio ini semakin mengukuhkan
tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap ULN demi menjaga defisit
APBN tetap di bawah 3%.
Pada akhir tahun 2015,
hampir saja kita terancam melebihi ambang batas dengan hasil akhir yang sudah
mencapai 2,8% saat target pajak kita mencapai 70% saja. Kita perlu bersyukur
pada akhirnya pemerintah berhasil mencapai target penerimaan pajak di atas
80%. Akan tetapi jika beban pembiayaan di luar APBN dan APBD sepenuhnya
dicurahkan hanya dari ULN, akan sangat riskan mengingat kita memiliki batasan
rasio ULN terhadap PDB maksimal 60% (UU No. 17 Tahun 2003), selain itu kita
perlu menghindari adanya desas-desus yang mengungkapkan bahwa ULN tidak
terlepas dari tendensi politik dari lembaga/ negara pemberi utang.
Untuk menjawab
tantangan pembiayaan infrastruktur, pemerintah sudah merilis skema creative
financing. Selain sumber pendanaan dari APBN, APBD, dan BUMN, pemerintah akan
berupaya mengembangkan pembiayaan melalui kerja sama pemerintah dengan badan
usaha (KPBU) serta PPP. Beberapa proyek infrastruktur cukup menarik untuk
ditawarkan kepada investor- investor swasta untuk melakukan pembiayaan
bersama khususnya pada jenis proyek yang mempunyai nilai komersial atau yang
bersifat cost-recovery.
Sementara ini upaya
strategis pemerintah melalui wacana tax amnesty sedikit memberikan angin
segar jika berhasil dioperasikan. Walaupun DPR dan Pemerintah masih belum
memberikan kepastian tentang RUU tersebut. Kita perlu paham bahwa tax amnesty
tak ubahnya seperti obat pereda demam karena hanya akan berlaku maksimal satu
tahun. Sebenarnya program yang perlu digalakkan adalah program public-private
partnership (PPP) melalui Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dan Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN) atau yang lebih dikenal sebagai sukuk ritel.
Pertumbuhan nilai sukuk
yang dihasilkan sangat tergantung pada perkembangan industri keuangan syariah
di Indonesia. Apalagi menurut hitungan rasional, instrumen sukuk lebih
menguntungkan daripada obligasi konvensional, seperti nilai return yang lebih
menjanjikan, sistem kepemilikannya, dan keamanan investasi yang ditanggung
pemerintah. Dari beberapa pengalaman yang ada, masih tersimpan beberapa
penyebab yang sangat mungkin menghambat perkembangan sukuk di Indonesia.
Umumnya kendala
tersebut berkutat pada sosialisasi kepada investor, opportunity cost, aspek
likuiditas, hingga faktor regulasi atau perundang-undangan yang mengatur
mengenai sukuk di Indonesia. Pertanyaannya sekarang ini, mengapa instrumen
sukuk perlu ditingkatkan daya tariknya? Ada beberapa alasan di dalamnya yang mengerucut
pada harapan bahwa sistem syariah (termasuk sukuk) dapat menjembatani upaya
pembangunan berkelanjutan (sustainable) dan peningkatan partisipasi
masyarakat.
Menteri Keuangan dalam
berbagai kesempatan selalu menyampaikan instrumen keuangan syariah bisa
berperan lebih besar dalam mendukung Sustainable Development Goal-Sustainable
Development Goals (SDGs) 2030 yang merupakan pengganti dari Millenium
Development Goal Millenium Development Goals (MDGs).
SDGs yang mengangkat
isu kemiskinan, kesenjangan, ketidakadilan, serta perubahan iklim sebagai
topik pembangunan sejalan dengan prinsip-prinsip syariah yang mendorong
inklusi pembangunan dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
tergolong tidak mampu. Tugas ini bisa diawali dengan penguatan sisi
kelembagaan dan perluasan pembangunan infrastruktur secara lebih merata.
Beberapa instrumen
tradisional seperti zakat, sedekah, dan wakaf sudah terbukti berperan dalam
pemerataan kesejahteraan, dan sasaran berikutnya adalah mengembangkan
instrumen sukuk untuk mendukung pembiayaan infrastruktur nasional. Sukuk akan
memperkuat akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembiayaan (investasi)
di bidang infrastruktur. Sukuk tersebut dapat memperkuat masyarakat menengah
ke bawah dan menyediakan kesetaraan akses dalam produk-produk investasi.
Hingga kini,
pemerintah telah menerbitkan delapan seri ritel sukuk yang terutama
diperuntukkan bagi investor individual. Total investor terus mengalami
peningkatan, dari 14.295 orang pada 2008 menjadi 48.444 orang tahun 2016.
Sejak 2008 hingga 10 Mei 2016, pemerintah telah menerbitkan sukuk sebesar
Rp503 triliun atau sekitar USD38 miliar dengan nilai outstanding Rp380
triliun atau USD29 miliar.
Namun, porsi tersebut
baru mencapai 15% dari total penerbitan surat berharga pemerintah
(Kementerian Keuangan, 2016). Oleh karena itu, besarnya potensi sukuk ini
sudah sepantasnya instrumen investasi ini mendapat perhatian yang lebih
tinggi dari sebelumnya. Beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah sebagai
berikut: Pertama, pemerintah sedianya harus mempersiapkan segala ornamen yang
mendorong daya tarik sukuk bisa semakin optimal.
Antara lain
sosialisasi yang lebih gencar, khususnya mengenai untung-rugi dari sistem
sukuk untuk infrastruktur, menjaga kondisi ekonomi makro yang kondusif,
komitmen pemerintah dalam mendukung industri keuangan syariah, menyediakan
kerangka hukum yang tegas dan pasti, serta aspek pendukung operasionalnya.
Kedua, instrumen crowd of business (pembagian risiko) perlu dikembangkan
secara lebih masif. Fenomena ini terus menjadi perbincangan yang menarik
seiring dengan semakin berkembangnya konsep-konsep ekonomi Islam.
Dalam ajaran ekonomi
Islam, ketika sistem bunga dilarang maka para pemilik modal akan didorong
menjadi investor sebagai pengganti peran sebagai kreditur. Perbedaan yang
paling mencolok yakni adanya pembagian risiko atas investasi yang dilakukan, di
mana dalam sistem ekonomi Islam ada prinsip di antara investor dan pengelola
dana investasi untuk berbagi risiko bisnis, termasuk untung atau rugi pada
hasil akhir kegiatan.
Nilai positifnya,
dengan adanya pembagian risiko yang jelas akan mendorong munculnya tanggung
jawab bersama (gotong royong) untuk menjaga kinerja operasional berlangsung
optimal, sehingga harapan untuk meraup keuntungan menjadi lebih besar. Sisi
lain yang perlu diperkuat dari konsep ini ialah menjaga transparansi
informasi pengelolaan dana investasi agar pihak-pihak yang berkaitan mampu
bekerja secara berkesinambungan.
Ketiga, peran Dewan
Syariah Nasional (DSN) perlu diperkuat untuk menjaga kemurnian operasional
sukuk sesuai dengan prinsip syariah. Yang sedang diperbaiki dari sistem
ekonomi yang tengah berjalan dengan diperkuatnya prinsip-prinsip
ekonomiIslamadalahtransaksiyang sifatnya spekulasi dan menghasilkan riba.
Namun, kinerja industri keuangan syariah akan stagnan jika tiga tantangan
utama tidak diatasi, yakni kurangnya inovasi produk, kurangnya ahli keuangan
syariah, dan komitmen kuat yang terstandar.
DSN dapat berperan
untuk mendukung agenda Bank Indonesia yang tengah menciptakan lima pilar
strategis dalam cetak biru keuangan syariah, yang terdiri dari pengembangan
produk dan pasar keuangan syariah, pengembangan SDM, memperkuat kerangka
kerja, pembiayaan untuk sektor riil dan UMKM, serta mempromosikan struktur
industri yang efisien dan mendorong partisipasi.
Kita semua berharap
bahwa Sukuk akan menjadi pemegang peran utama di dalam pembiayaan
infrastruktur yang sangat kita butuhkan untuk mendukung pencapaian
pertumbuhan ekonomi yang sudah ditargetkan.
Walaupun demikian,
kerja sama semua pihak baik pemerintah, Bank Indonesia, OJK (Otoritas Jasa
Keuangan), perguruan tinggi, termasuk pemerintah daerah, akan menjadi kunci
dalam stimulasi peran sukuk dalam pembiayaan pembangunan Indonesia yang lebih
partisipatif dan keberlanjutannya terjaga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar