Pancasila dan Desa
Ahmad Erani Yustika ; Dirjen
Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD)—Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
|
KOMPAS, 02 Juni 2016
Desa telah menjadi
altar baru dalam gempita pembangunan nasional. Seusai aneka percobaan
pembangunan dijalankan dengan hasil yang sebagian mengecewakan, muncul hasrat
baru dengan meletakkan desa sebagai sumbu pembangunan. Namun, di sini muncul
pertanyaan kritis: jika desa ditunjuk sebagai titik tumpu pembangunan, apakah
desa menjadi sekadar lokus pembangunan ataukah filosofi dan kerangka dasar
pembangunan juga berubah?
Pertanyaan ini bukan
cuma penting, tetapi sekaligus penanda ke mana arah pembangunan desa mesti
digerakkan. Warta bagusnya, kita punya stok dasar negara yang amat kukuh
meski selama ini nyaris tak dijadikan sebagai kompas. Hari ini, saat
Pancasila dirayakan di seluruh penjuru negeri, kodratnya sebagai fondasi
bernegara menggema kembali. Oleh karena itu, misi suci pembangunan desa seharusnya
bertolak dari titik ini: menjadikannya satu tarikan napas dalam merawat roh
dasar negara.
Gugusan baru pembangunan
Pada 28 Agustus 1959,
Soekarno menyampaikan Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berencana
kepada Depernas (Dewan Perantjang Nasional): ”..tudjuan dan maksud
pembangunan semesta ialah membangun masjarakat jang adil dan makmur; adil dan
makmur jaitu menurut tindjauan adjaran Pantjasila...” (Departemen Penerangan
RI, 1959).
Setelah hampir 71
tahun merdeka, amanat ini menjadi agenda pokok yang mesti dijawab: apakah
pembangunan sudah bersendikan ajaran Pancasila? Sulit menampik, pembangunan
yang diselenggarakan selama ini telah banyak memproduksi keberhasilan, baik
yang dirasakan khalayak domestik maupun publik negara lain. Namun, ukuran
keberhasilan itu lebih berdasarkan norma yang diterima umum sehingga
parameter yang bersumber dari dasar negara tak banyak mendapatkan ruang.
Implikasinya, jarak antara pencapaian pembangunan dan ajaran Pancasila bisa
berpunggungan.
Di sinilah noktah
terpenting untuk menjaga dan membela Pancasila dalam konteks pembangunan
desa. Afirmasi terhadap pembangunan mesti diletakkan sebagai usaha menegakkan
Pancasila sampai ke akarnya, yang kemudian tumbuh menjadi batang dan ranting
yang kokoh pada setiap lini pembangunan nasional.
Desa menjadi pangkal
harapan karena dua pertimbangan. Pertama, saat perumusan Pancasila kondisi
sosio-ekonomi-politik nasional bisa merujuk kepada situasi desa hari ini
meski tentu saja tak sama persis. Perikehidupan manusia dan alam pada masa
kemerdekaan adalah pantulan derap nadi desa masa kini. Dengan demikian,
menempatkan desa sebagai alas penegakan isi dasar negara merupakan
persinggungan yang layak digelar.
Kedua, persentuhan
desa dengan modernisasi (pembangunan) masih belum begitu jauh sehingga
eksperimen membentuk gugusan baru pembangunan dengan nilai dasar negara
tersebut masih mudah dijalankan.
Sila pertama
”Ketuhanan yang Maha Esa” adalah akar tunjang pembangunan yang tak meletakkan
materialitas sebagai usaha pencapaian puncak tujuan. Prinsip ini meyakini
sumber pembangunan adalah spiritualitas. Agama sebagai mata air spiritualitas
dan moralitas menjadi daya dorong manusia berpikir, berucap, dan bertindak.
Tuhan bersemayam dalam kalbu dan menjadi pandu atas setiap niat dan perbuatan
yang bakal dikerjakan. Sungguh pun begitu, agama tak perlu menjadi asas
kenegaraan formal karena kondisi sosio-politik nasional yang beraneka ragam,
yang terangkum dalam frasa ”Bhinneka Tunggal Ika”.
Dalam banyak segi,
desa dihidupi oleh kekuatan spiritualitas tersebut. Ritual keagamaan menjadi
tradisi, bahkan kemudian menjadi budaya, dan menghidupi gerak masyarakat.
Modal itulah yang membuat desa tak tercerabut dalam kemalangan penyakit
materialitas karena dijaga oleh moralitas agama. Pembangunan merupakan
pendalaman ritual keagamaan itu sendiri. Refleksi pembangunan yang paling
konkret selalu terkait dengan manusia dan hubungan antarmanusia. Dengan
demikian, sila kedua ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” merupakan tangkai
terpenting berhubungan dengan pembangunan. Moda produksi sebagai mata rantai
pembangunan (ekonomi) berurusan dengan modal, tanah, dan tenaga kerja
(manusia). Hanya pada faktor produksi tenaga kerja tersebut terdapat dimensi
sosial, budaya, politik, dan seterusnya.
Maknanya, hubungan
antarmanusia dalam pembangunan tak boleh mereduksi kemanusiaan. Di desa,
hubungan antarmanusia (dalam bingkai ekonomi sekalipun) selalu menganggap
persaudaraan sebagai penanda sikap. Persaudaraan merupakan inti kemanusiaan
sehingga relasi pembangunan tidak menjadi isolasi antarkelas dan menjadi
basis pertarungan. Oleh karena itu, sila ini menjadi pengingat bahwa
pembangunan mesti menjadi pengungkit nilai kemanusiaan dan bukan malah
menggerusnya.
Hasil pembangunan yang
kerap dicemaskan adalah: pertumbuhan menghasilkan peminggiran. Pelaku ekonomi
yang satu tumbuh, lainnya mati. Pembangunan bukan merangkul, melainkan
memisahkan. Itulah deskripsi yang terjadi selama ini. Agenda persatuan
menjadi jauh panggang dari api. Di desa, kosakata gotong royong menggaung
hingga kini meski mulai terkikis oleh sistem persaingan individu yang kian
bengis. Sekurangnya, gotong royong masih menjadi bahasa relasi antarmanusia
di desa. Nilai ini yang harus diselamatkan karena modal sosial ini adalah
sumber keabadian bangsa. Bahkan, ketika Soekarno diminta memeras Pancasila
menjadi Ekasila, yang dia sampaikan adalah kata ”gotong royong”. Jadi, titik
tolak sila ”Persatuan Indonesia” berhulu dari gotong royong tersebut.
Demikian pula pasal 33 ayat 1 yang berbunyi ”Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasar asas kekeluargaan” juga amat dinapasi oleh sila ketiga
ini, seperti diungkapkan oleh Mohammad Hatta.
Persatuan itu masih
terbungkus jejaknya pada saat mengonstruksi kedaulatan rakyat dalam panggung
politik dengan sila yang memiliki bobot dahsyat: ”Kerakyatan yang Dipimpin
oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Persatuan akan
solid apabila keputusan berporos kepada permusyawaratan. Keputusan yang hanya
berlatar kepada kuantitas suara kerap tak berpijak kepada pengetahuan
sehingga memungkinkan terjadinya dikte mayoritas.
Sebaliknya,
permusyawaratan mesti berbasis pengetahuan. Itulah sebabnya frasa ”hikmat
kebijaksanaan” muncul sebagai muara dari pengetahuan. Di desa, praktik
semacam itu terus terjaga, misalnya di desa adat, sehingga setiap pikiran
warga terserap dalam sistem sosial yang dibangun. Musyawarah desa menjadi
salah satu perwujudan sila keempat dan langgeng hingga kini. Nilai dan
kecerdasan lokal yang bersumber dari agama, budaya, dan lain-lain menjadi
dasar lahirnya hikmat kebijaksanaan.
Perayaan Pancasila
Akumulasi dari
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, dan Permusyawaratan bisa terpantul dari
hasil keseluruhan pembangunan. Terma ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia” adalah keagungan dari empat dasar tersebut. Keadilan sosial
memiliki makna yang amat mendalam, yakni kesejahteraan yang tak kehilangan
spiritualitas, manusia tidak dianggap sebagai semata faktor produksi,
penguatan relasi dan distribusi sosial, dan pengejawantahan konsensus
(kedaulatan). Perasaan kehidupan yang makin kering, meskipun kesejahteraan
meningkat, tak menggambarkan adanya spiritualitas, kemanusiaan, persatuan,
dan permusyawaratan tersebut. Tentu saja keadilan sosial menjadi tak bisa
digapai. Oleh karena itu, puncak pembangunan yang dimaknai sebagai adil dan
makmur, seperti diucapkan oleh pendiri negara di atas, sebetulnya merupakan
agregasi dari praktik perikehidupan atas implementasi empat sila sebelumnya.
Bara api Pancasila itu
harus menjadi penyala pembangunan dan pemberdayaan (warga) desa. Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang diberi mandat
memanggul misi ini meletakkan fondasi negara sebagai ajaran yang harus
berdiri tegak. Tiga pilar/matra pembangunan desa yang dikonseptualisasikan
Direktorat Jenderal PPMD (Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa),
yaitu Lingkar Budaya Desa (Karya Desa), Jaring Komunitas Wiradesa (Jamu
Desa), dan Lumbung Ekonomi Desa (Bumi Desa), diabdikan untuk memberi jejak
dasar negara ini.
Budaya yang bersumber
dari agama dan spiritualitas menjadi dasar gerak pembangunan desa (Karya
Desa). Pengabaian terhadapnya membuat pembangunan kehilangan panggung dan
upacara. Pembangunan adalah kerja budaya itu sendiri, di mana keseluruhan
nilai-nilai menjelma menjadi tata cara dan pilihan program yang diambil
warga. ”Jamu Desa” adalah ikhtiar meningkatkan kapabilitas warga (desa)
sebagai esensi pembangunan. Prinsip ini dibangun berangkat dari kesadaran
untuk memuliakan manusia (kemanusiaan), penguatan komunitas (sebagai basis
persatuan), dan pendalaman konsensus (permusyawaratan). ”Balai Rakyat” adalah
agenda yang didorong sebagai pembelajaran mandiri komunitas untuk menambah
bobot stok pengetahuan warga.
Demikian pula Musdes
(musyawarah desa) menjadi napas partisipasi warga dan tidak hanya menjadi
ritual proses perencanaan ketika desa membuat APBDes ataupun RPJMDes sehingga
kedaulatan rakyat terjaga sebagaimana mestinya. Terakhir, ”Bumi Desa”
diturunkan sebagai upaya penguasaan sumber daya (ekonomi) oleh desa dan warga
desa sehingga keadilan sosial dapat dimaklumatkan. Institusi koperasi dan
BUMDes terus dipromosikan untuk memastikan kegotongroyongan menjadi sumbu
ekonomi bagi pencapaian keadilan sosial. Singkatnya, pembangunan desa adalah
perayaan Pancasila. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar