Menyelamatkan APBN
M Ikhsan Modjo ;
Ekonom Senior; Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat
|
KORAN SINDO, 06 Juni
2016
Salah satu pertaruhan
penting dari perekonomian kita pada 2016 adalah bagaimana menerapkan
kebijakan fiskal yang efektif dan aman.
Kebijakan fiskal yang
efektif akan menstimulus pertumbuhan melalui efek multiplier belanjanegara
pada permintaan investasi dan konsumsi masyarakat. Kebijakan fiskal juga
berfungsi sebagai alat pemerataan, melalui belanja sosial dan subsidi negara
pada rakyat dan sektor-sektor perekonomian yang membutuhkan. Dalam hal ini,
pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak awal menganut rezim fiskal
yang agresif.
Tingkat pertumbuhan
dipatok sebesar 5,5% pada 2014, naik menjadi 5,7% pada 2015 dan kemudian direvisi
menjadi5,3% di2016. Dari asumsi ini, penerimaan negara di sektor perpajakan
ditargetkan meningkat 21,6% dari Rp1.246 triliun pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2014 menjadi Rp1.489 triliun pada APBNP
2015, untuk kemudian meningkat lagi menjadi Rp1.547 triliun pada APBN 2016.
Keagresifan rezim
fiskal juga tergambar dari postur belanja negara yang ditargetkan meningkat
sekitar 11,0% dari Rp1.876 triliun pada 2014 menjadi Rp2.096 triliun pada
2016. Untuk membiayai postur agresif ini, pemerintah memperlebar defisit
anggaran dengan mengandalkan pembiayaan dari dalam dan luar negeri. Pos
pembiayaan dalam negeri tercatat meningkat 6,8% dari Rp225 triliun pada 2014
ke angka Rp273 triliun pada 2016. Sementara pos pembiayaan utang luar negeri
meningkat tajam sebesar 32,7% dari Rp54 triliun pada 2014 menjadi Rp75,1
triliun pada 2016.
Sayang, keagresifan
fiskal ini tidak didukung oleh realitas makroekonomi. Asumsi pertumbuhan
dalam APBNP 2014 dan 2015 terbukti meleset dari perkiraan. Realisasi
pertumbuhan pada 2014 dan 2015 tercatat hanya sebesar 5,1% dan 4,8%. Angka
ini lebih rendah di bawah angka yang ditetapkan sebesar 5,5% dan 5,7%. Salah
satu implikasi adalah tidak tercapainya target penerimaan negara. Ini pada
gilirannya menyebabkan peningkatan defisit anggaran.
Realisasi defisit pada
2014 mencapai Rp227 triliun atau 2,3% dari PDB, meningkat menjadi Rp292
triliun atau 2.5% dari PDB pada 2015. Bertambah lebarnya defisit
mengakibatkan angka keseimbangan primer pun memburuk dari minus Rp93,3
triliun pada 2014 menjadi minus Rp136 triliun pada 2015. Pelebaran defisit
agaknya akan berlanjut pada 2016 bila tidak dilakukan langkah antisipasi. Hal
ini didasarkan pada dua hal.
Pertama, pertumbuhan
ekonomi Indonesia diprediksikan tidak akan mencapai target yang diasumsikan
sebesar 5,3% pada APBN 2016. Pertumbuhan triwulan pertama 2016 tercatat hanya
sebesar 4,92%, yang meleset dari angka yang diharapkan. Kedua, kecenderungan
berlanjutnya pelebaran defisit anggaran negara juga diindikasikan oleh angka
realisasi penerimaan dan belanja sampai dengan Maret 2016.
Dari perbandingkan
angka realisasi APBN triwulan pertama di tiga tahun terakhir terlihat bahwa
kemampuan realisasi penerimaan Indonesia terus memburuk. Realisasi pajak yang
mencapai Rp246 triliun (19%) pada 2014 turun menjadi Rp236 triliun (16%) pada
2015, dan terus tergerus menjadi Rp205 triliun (13%) pada akhir 2016.
Demikian pula penerimaan bukan pajak yang sempat meningkat dari Rp42 triliun
(11%) pada 2014, ke angka Rp48 triliun (18%) pada 2015, ternyata kemudian
menurun menjadi Rp43 triliun (13%) pada 2016.
Sementara angka
realisasi belanja cenderung meningkat. Realisasi belanja pemerintah pusat
misalnya naik dari Rp165 triliun (11%) ke angka Rp197 triliun (18%) pada
2015, lalu sedikit turun menjadi Rp194 triliun (16%) pada 2016. Adapun
realisasi belanja daerah walau menurun secara persentase tetap meningkat
secara total selama 2014-2016. Realisasi belanja daerah naik dari Rp122
triliun (19%) pada 2014 menjadi Rp170 triliun (16%) pada 2015 dan Rp197
triliun (13%) pada 2016.
Tren ini
mengindikasikan lampu kuning bagi keuangan negara. Pelebaran angka defisit
dipastikan akan terjadi bila tidak dilakukan penyesuaian. Angka defisit pada
APBN 2016 bahkan bisa menembus batas maksimal sebesar 3% yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Keuangan Negara (UU Nomor 17 Tahun 2003), yang berarti
pemerintah berpotensi melakukan pelanggaran undangundang. Dalam hal ini,
defisit anggaran sendiri bukan suatu hal yang tabu.
Defisit bisa berdampak
positif baik bila diperuntukkan untuk kegiatan produktif
seperti pemberian stimulus bagi perekonomian melalui pembangunan infrastruktur.
Sebaliknya, defisit bisa berdampak buruk bila disebabkan kekurangan
penerimaan negara atau belanja bagi kegiatan yang tidak produktif. Untuk yang
terakhir, perlebaran defisit, atau menambal kekurangan sisi penerimaan
melalui pembiayaan dari utang akan membawa komplikasi lanjutan pada
perekonomian.
Tingginya angka
defisit akan menekan kredit dan meningkatkan suku bunga pinjaman di sektor
swasta, serta menekan tingkat konsumsi dan net ekspor. Ujungnya adalah
tingkat pertumbuhan yang semakin rendah. Dari postur anggaran yang ada,
defisit yang terjadi lebih diperuntukkan pada jenis belanja yang kurang
produktif. Porsi kenaikan belanja terbesar sepanjang 2014-2016 justru belanja
yang sifatnya rutin seperti belanja barang (51%) dan belanja pegawai (29,6%)
pemerintah pusat.
Sementara belanja
modal yang bisa menjadi stimulus hanya mengalami kenaikan 22,6%. Pos belanja
sosial dan subsidi yang dalam jangka pendek bahkan berguna untuk
mempertahankan konsumsi masyarakat, khususnya yang menengah ke bawah,
mengalami pemotongan drastis sebesar berturut-turut 56,6% dan 79,2%.
Peruntukan defisit bagi pembiayaan yang kurang produktif ini juga terungkap
dari pos pembiayaan APBN.
Kenaikan pembiayaan
dari pinjaman luar negeri pemerintah selama 2014-2016 lebih bersifat sebagai
pinjaman program, bukan pinjaman proyek. Pos pembiayaan luar negeri yang
bersifat pinjaman program tercatat meningkat sebesar 77,8% dari Rp16,9
triliun pada 2014 menjadi Rp36,8 triliun pada 2016. Sementara pada periode
yang sama, lonjakan pada pinjaman proyek hanya sebesar 2,8% dari Rp37,2
triliun menjadi Rp38.3 triliun.
Pembiayaan dari utang
luar negeri yang bersifat program ini lebih banyak berfungsi sebagai budget
support dari belanja barang dan pegawai pemerintah ketimbang untuk
pembangunan infrastruktur dan pengentasan kemiskinan secara langsung. Dus,
efektivitasnya sebagai stimulus pertumbuhan hanya bersifat sekunder.
Untuk itu, opsi lain
untuk melakukan fiscal adjustment
di luar pelebaran angka defisit harus diambil. Implementasinya bisa melalui
pengurangan belanja negara atau penambahan penerimaan negara melalui pajak,
atau keduanya. Saat ini pemerintah tengah mengupayakan keduanya yang
rencananya akan diajukan pada APBNP 2016. Beberapa langkah ini antara lain
adalah pemotongan ang-garan kementerian dan lembaga sebesar Rp50 triliun
melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4/2016.
Langkah lainnya adalah
pemotongan dana alokasi khusus daerah sebesar 10% melalui Surat Edaran
Menteri Keuangan SE-10/MK.07/2016, yang bila efektif dilakukan akan memotong
anggaran transfer daerah sebesar Rp21 triliun. Kebijakan tambahan yang tengah
diwacanakan juga adalah pemotongan subsidi BBM lebih lanjut sebesar Rp23,8 triliun.
Di sisi penerimaan,
langkah yang disiapkan pemerintah untuk menggenjot penerimaan adalah
menerapkan kebijakan tax amnesty
atau pengampunan pajak. Pemerintah menargetkan ada tambahan penerimaan pajak
sebesar Rp160 triliun pada revisi APBN 2016 untuk menambal defisit. Dalam hal
ini ada beberapa hal yang bisa disoroti dari langkah penyelamatan ini.
Pertama, fiscal adjustment berupa
pemotongan anggaran belanja pemerintah adalah hal yang tepat. Seyogianya,
langkah ini bisa dibarengi dengan fiscal
switching dari anggaran yang bersifat rutin ke anggaran yang bersifat
memberikan stimulus.
Dengan kata lain,
kesempatan ini bisa digunakan untuk merelokasikan anggaran dari belanja
pegawai dan barang pada belanja yang bersifat modal. Dengan cara ini,
pengurangan belanja negara tidak bersifat kontradiktif, bahkan justru
sebaliknya. Kedua , dari sisi penerimaan, pemerintah perlu menyiapkan langkah
antisipasi bila tax amnesty gagal.
Langkah antisipasi ini diperlukan mengingat terdapat kontroversi dari sisi
hukum, keadilan, dan waktu implementasi yang membuatnya bisa gagal
diterapkan.
Dari sisi hukum,
kebijakan ini berbenturan dengan UU Perpajakan dan UU Perbankan. Tidak ada
waktu cukup untuk merevisi dua UU ini untuk memuluskan kebijakan tax amnesty
. Dari sisi keadilan, ada rasa keadilan sosial yang terkoyak ketika para
pengemplang pajak bisa menghindari sanksi administrasi dan pidana dengan
hanya membayar tarif tebusan sebesar 1-6%.
Begitu juga, oneoff policy ala tax amnesty bisa
menyebabkan rusaknya struktur penerimaan negara pada masa mendatang dengan
membesarnya penerimaan secara tidak proporsional secara tidak
berkesinambungan. Ketiga, terkait dengan poin di atas, seperti ekspektasi
peningkatan penerimaan pajak, ekspektasi tambahan penerimaan negara dari kebijakan
tax amnesty adalah tidak realistis.
Angka estimasi sebesar
Rp160 triliun dirasakan terlampau optimistik oleh banyak lembaga termasuk
Bank Indonesia, yang penerimaan paling tinggi akan berkisar di angka Rp60
triliun. Dengan kata lain, ada kekurangan sekitar Rp100 triliun yang perlu
diantisipasi dengan kebijakan lain. Kebijakan inilah yang perlu segera
dituangkan secara eksplisit sehingga publik bisa menilai keseriusan dari
langkah penyelamatan fiskal yang diambil pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar