Mengapa Harus Daging?
Handrawan Nadesul ; Dokter; Penulis Buku, dan Motivator Kesehatan
|
KOMPAS, 14 Juni
2016
Studi ihwal bahaya
kebanyakan konsumsi daging bagi tubuh manusia sudah banyak dilaporkan. Salah
satunya laporan McGovern yang mengungkap, kendati teknologi kedokteran terus
meningkat, angka kanker tambah banyak karena kebanyakan makan daging.
Kelebihan asupan
protein daging merusak DNA sel; sel onkogen berubah sifat menjadi sel kanker.
Kerja hati dan ginjal juga meningkat bila asupan daging berlebih, selain
darah berubah lebih bersifat asam. Karena tubuh lebih asam, membutuhkan lebih
banyak kalsium untuk menetralkannya. Banyak makan daging tanpa kecukupan
asupan kalsium, tulang jadi keropos (osteoporosis).
"Tiger diet"
Asam amino pembentuk
protein daging tidak semua terserap oleh tubuh karena untuk memecahnya
memerlukan lebih beragam enzim. Kekurangan enzim mengurangi kemampuan
mencerna protein. Akibat tak dicerna sempurna, protein membusuk di usus
menjadi "racun" (indole, H2S, nitrosamin, histamin, radikal bebas).
Selain itu, tubuh butuh kalori lebih besar untuk mengolah sisa cerna daging
yang tidak sempurna, lalu menyisakan lebih banyak radikal bebas.
Kita tahu kini radikal
bebas jadi musuh utama orang sekarang. Membanjirnya radikal bebas dalam tubuh
ikut mencetuskan munculnya semua penyakit degeneratif, selain kanker.
Dilaporkan pula usus
orang Amerika yang tinggi konsumsi dagingnya tidak sebersih usus orang
Okinawa, nelayan di sebuah pulau kecil di Jepang, yang pola makannya lebih
banyak sumber nabati ketimbang hewani. Terungkap pula penyakit usus
diverticulitis selain kanker usus besar, ternyata banyak menimpa penyuka
daging.
Kita perlu belajar
sehat dari orang Okinawa yang umurnya seratusan tahun (centenarian) karena kebiasaan makan yang bersesuaian dengan yang
tubuh manusia butuhkan (studi Harvard selama 25 tahun di masyarakat Okinawa).
Sebaliknya, terungkap bahwa pola makan pengidap kanker terbukti lebih banyak
porsi daging.
Studi di Tiongkok
menambah bukti: asupan daging berlebih mencetuskan kejadian kanker. Kita tahu
orang Tiongkok secara genetik bersifat homogen. Jadi, kalau ada provinsi di
Tiongkok yang angka kankernya lebih tinggi, bukan faktor gen penyebabnya.
Belakangan terungkap, provinsi yang angka kankernya paling tinggi ternyata
paling banyak porsi makan dagingnya (The
China Study, T Colin Campbell).
Gigi manusia sudah
menunjukkan kalau asal nutrisi yang tubuh butuhkan lebih nabati ketimbang
hewani. Jumlah dan susunan gigi-geligi simpanse sama persis dengan gigi
manusia. Kalau simpanse tidak ada yang terserang jantung, atau stroke, itu
barangkali lantaran simpanse tidak makan bistik. Simpanse lebih 95 persen
mengonsumsi nabati, hanya 5 persen mengonsumsi daging dari serangga atau
tikus. Menu orang Okinawa terbilang menu tersehat di dunia karena lebih
banyak memilih ubi ketimbang donat.
Selain angka kanker
orang Okinawa terendah di dunia, pembuluh darahnya juga tergolong paling
bersih tanpa penyumbat karat lemak atherosclerosis. Hal lain, kadar
homocysteine orang Okinawa rendah, bahkan terendah di dunia. Homocysteine
produk ikutan metabolisme protein daging. Penyakit pembuluh darah yang
berujung serangan jantung dan stroke, homocysteine jadi salah satu faktor
pemburuknya. Pola makan ke-"barat-barat"-an dilaporkan meningkatkan
homocysteine darah.
Garis tangan kesehatan
manusia sudah menunjukkan kalau kita bukanlah harimau (animal-based diet), melainkan lebih sebagai kera dan kambing yang
pemakan tumbuhan (plant-based diet).
Kultur yang menciptakan bistik, lapis legit, dan sosis, menu yang betul enak
di lidah, tetapi buruk di badan. Organisasi Kesehatan Dunia tahun lalu
mengingatkan agar menjauhi semua daging olahan karena tinggi kandungan
pencetus kanker (karsinogen). Di antaranya nitritdannitrosamin pada sosis dan
bacon. Pencetus kanker dioxin sebagai limbah bakaran sudah mencemari daging
olahan yang kita konsumsi.
Kembali ke meja makan nenek
Yang dibutuhkan tubuh
itu nasi sepiring, sepotong tempe-tahu, ikan pepes, sayur lodeh, lalap, dan
sayur asam. Menu sejenis itu yang memenuhi kecukupan tigaperlima zat pati,
seperempat protein, dan selebihnya lemak secara berimbang (balance diet).
Komposisi menu seperti itu yang bersesuaian dengan yang diminta tubuh.
Daging dalam bistik
sudah melebihi asupan protein tubuh karena sudah memadai dipenuhi hanya
dengan seperempat total kebutuhan kalori dalam sehari. Lapis legit memasukkan
ke tubuh lebih banyak lemak selain protein telur dan kolesterol mentega.
Sosis memasukkan zat kimiawi tambahan (food additive) yang tak menyehatkan.
Sejatinya tubuh butuh lebih banyak sayur- mayur dan buah, selain umbi-
umbian, kacang-kacangan, dan biji-bijian, seperti lazim isi meja makan nenek
kita dulu.
Tentu tak cukup hanya
tempe-tahu, tubuh kita tetap butuh protein hewani selain dari protein nabati.
Namun, tak perlu menelannya berlebihan, cukuplah dari sekerat daging, dan tak
perlu sebesar potongan bistik.
Sesungguhnya ikan
sebagai sumber protein hewani harus lebih dipilih dibandingkan daging karena
lemak tak jenuh ikan (unsaturated fatty
acid) lebih menyehatkan dibandingkan lemak jenuh daging (saturated fatty acid). Kalau daging
sedang sukar didapat dan harganya makin tidak terjangkau, mengapa kita tidak
menukarnya dengan ikan, yang selain lebih murah juga lebih menyehatkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar