Menakar Pengampunan Pajak
Setyo Budiantoro ;
Peneliti Senior Perkumpulan
Prakarsa dan Komisioner Pengawas Komisi Anggaran Independen (KAI)
|
KOMPAS, 10 Juni 2016
Era
keterbukaan keuangan dunia telah menggetarkan pengemplang pajak. Zaman kegelapan
dan remang-remang keuangan telah berakhir di dunia.
Yurisdiksi
yang dikenal sebagai surga pajak, seperti Singapura, Hongkong, Swiss, dan
Mauritius, bahkan akan membuka informasi rekening warga asing. Organisasi
Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) berhasil menekan melalui skema
common reporting standard (CRS) dan pertukaran informasi otomatis yang
didukung penuh anggota G-20.
AS
memiliki regulasi Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) yang
"mewajibkan" lembaga keuangan di negara mana pun memberikan data
keuangan warga negara Amerika Serikat. Aturan itu tak lain untuk mencegah
pengemplangan pajak. CRS adalah semacam FATCA, tetapi bersifat global. Ini
artinya zaman kegelapan dan remang-remang keuangan telah berakhir. Di tengah
era keterbukaan keuangan ini, secara mengejutkan inisiatif menerbitkan UU
Pengampunan Pajak makin mengemuka. Krisis penerimaan negara jadi alasan.
Diargumentasikan melalui pengampunan pajak, maka aset keuangan di luar negeri
kembali dan penerimaan pajak melambung.
Dana
endapan WNI di negara surga pajak luar biasa besarnya. Dokumen Panama
hanyalah secuil dari puncak gunung es. Pemerintah mengklaim memiliki daftar
lebih lengkap. Kementerian Keuangan menaksir melebihi PDB Indonesia atau
sekitar Rp 11.450 triliun. Diharapkan dengan tarif tebusan superrendah 1-6
persen, dana tersebut akan mudik, pulang kampung.
Jika
logika penerimaan negara menjadi argumentasi utama, hasil pengampunan pajak
sebenarnya bertolak belakang. Rezim keterbukaan keuangan global akan membuka
akses untuk melacak aset finansial WNI di luar negeri sehingga memudahkan
kalkulasi pajak yang harus dibayar. Pengampunan pajak justru menghapuskan
potensi itu. Perkiraan potensi penerimaan pajak akibat amnesti dan repatriasi
dana melalui tarif "superdiskon" terus berubah, tetapi ekspektasi
moderat sekitar Rp 100 triliun. Tahun depan atau tujuh bulan lagi adalah era
dimulainya keterbukaan finansial. Hanya menunggu beberapa bulan, dengan
memanfaatkan mekanisme CRS, potensi penerimaan negara akan jauh lebih besar.
Melalui
pemberlakuan pajak penghasilan sebesar 30 persen dan tanpa menghitung denda 2
persen per bulan dari nilai Rp 11.450 triliun, maka potensi optimal
penerimaan Rp 3.435 triliun. Artinya, hampir 35 kali lipat dari perkiraan
penerimaan melalui pengampunan pajak.
Seandainya
tingkat keberhasilan hanya 20 persen pun, potensi penerimaan mencapai Rp 687
triliun, jauh lebih besar daripada mekanisme pengampunan pajak. Lebih dari
itu, potensi 80 persen lainnya masih bisa dikejar karena statusnya tak
diputihkan. Pengampunan pajak ibarat dongeng menyembelih angsa bertelur emas,
angsa mati dan telur emas tak didapat.
Menelaah
potensi kerugian penerimaan sedemikian besar, tidak pelak keheranan
mengemuka. Pengampunan pajak ini dicurigai pemufakatan oknum pengusaha,
politisi, serta pejabat yang memiliki rekening di luar negeri. Mencuri start
sebelum era terang dimulai, pengampunan pajak diberlakukan untuk memutihkan
jejak hitam di wilayah yurisdiksi surga pajak.
"Yendaka",
"rupiahdaka"
Hal
yang mengherankan, risiko moneter terkait repatriasi dana dari luar negeri
akibat pengampunan pajak kurang diperhitungkan. Banjir bandang likuiditas
valas ke dalam sistem keuangan Indonesia jelas berdampak besar. Entah itu
dimasukkan dalam berbagai instrumen pasar uang, pasar modal, atau bahkan
sektor riil sekalipun. Cadangan devisa Indonesia saat ini sekitar 107 miliar
dollar AS. Seandainya repatriasi hanya berhasil memasukkan 20 persen saja
dari potensi Rp 11.450 triliun, maka valas masuk hampir 200 miliar dollar AS.
Itu berarti nyaris dua kali lipat cadangan devisa. Guncangan moneter akan
terjadi, belum lagi jika para spekulan valas jadi penumpang gelap.
Hal
paling menakutkan dari spekulan adalah fasilitas leverage (pengungkit) yang
bisa mencapai 500 kali. Artinya, satu miliar akan bernilai 500 miliar ketika
fasilitas leverage itu digunakan. Kalau RUU Pengampunan Pajak disahkan dan
terjadi repatriasi, bagi spekulan ini bukan spekulasi lagi, tetapi sebuah
konfirmasi mengambil posisi long atau bullish rupiah. Jika satu dua serigala
spekulan menerkam dan "mangsa" terlihat limbung, ribuan serigala
besar dan kecil pun akan mengikuti. Jepang pernah mengalami mimpi buruk yang
mirip tahun 1980-an. Saat itu, kondisi Jepang mirip Tiongkok dewasa ini, di
mana produk industrinya membanjiri dunia. AS mengalami defisit perdagangan
besar terhadap Jepang dan menyalahkan yen karena nilainya terlalu rendah.
Jepang ditekan menandatangani perjanjian Plaza Accord, lalu pasar uang
diintervensi 10 miliar dollar AS dan diperparah ulah spekulan.
Nilai
yen meroket dan menguat 50 persen terhadap dollar AS. Akibatnya fatal, Jepang
mengalami resesi berkepanjangan karena industri manufaktur terguncang dan
gelembung aset meletus. Era kelam Jepang ini sering disebut "kehilangan
dekade" (lost decade). Suku
bunga acuan bank sentral Jepang kini selalu mendekati nol atau bahkan
negatif, tak lain ini upaya melemahkan nilai yen, di samping mendorong
produksi.
Meroketnya
yen atau sering disebut yendaka bisa terjadi di Indonesia. Meroketnya nilai
tukar rupiah atau rupiahdaka akibat tsunami valas bisa menghantam industri
dan ekspor. Rupiahdaka lebih seketika pengaruhnya dibandingkan "penyakit
Belanda" (Dutch disease).
Terpukulnya sektor industri jelas bertentangan dengan semangat Nawacita yang
memfokuskan produksi, nilai tambah, dan industrialisasi. Target pertumbuhan
industri manufaktur 8,6 persen per tahun tampaknya akan jadi mimpi belaka.
Fenomena sebaliknya terjadi pada Tiongkok yang kini produknya membanjiri
dunia. AS mengalami defisit perdagangan besar sehingga berkolaborasi dengan
Eropa untuk menekan Tiongkok agar menaikkan nilai tukar renminbi. Pengalaman
perjanjian Plaza Accord jelas tak ingin diulang Tiongkok. Ditekan sekuat apa
pun, Tiongkok tetap menjaga nilai renminbi agar tidak overvalue.
Badan Penerimaan Negara
Bapak
pendiri Amerika, Benjamin Franklin, mengatakan dengan tegas, hanya ada dua
hal pasti di dunia, yaitu kematian dan pajak. Ini berarti, pajak bersifat
memaksa. Tak mengherankan jika AS meluncurkan FATCA yang memaksa warga
negaranya patuh bayar pajak, meski di negara antah berantah. Institusi
finansial di Swiss yang terkenal kerahasiaannya pun menyerah.
Pengampunan
pajak di samping memperlihatkan negara lemah terhadap pengempang pajak, juga
tidak adil bagi pembayar pajak patuh. Era keterbukaan finansial seharusnya
dimanfaatkan untuk mengejar pengemplang pajak, bukan justru sebaliknya
memutihkan keculasan. Jika kewajiban tak dipenuhi, daftar tercela pembayar
pajak bila perlu diumumkan dan tindakan tegas harus dilakukan. Untuk
memfokuskan dan memastikan hal ini, Badan Penerimaan Negara (BPN) perlu
segera dibentuk dan ditugaskan. Kementerian Keuangan terlihat kurang fokus
dan bebannya terlalu berat untuk memaksimalkan penerimaan negara. Beberapa
waktu lalu, kementerian ini menyampaikan adanya 2.000 perusahaan asing
mengemplang pajak Rp 500 triliun. Nyaris tak terdengar lagi tindak lanjutnya,
kini justru memfokuskan pengampunan pajak yang potensinya ternyata lebih
kecil dan mudaratnya lebih besar.
Tugas
BPN, di samping menyusun basis data pembayar pajak di luar negeri, juga
pembayar pajak di dalam negeri. Rasio cakupan pemungutan pajak (tax coverage
ratio) yang berkisar 50 persen jelas sangat rendah. Rendahnya rasio ini dan
tingkat kepatuhan menyebabkan penerimaan negara terbatas. Target rasio pajak terhadap
PDB sebesar 16 persen jelas tak akan tercapai apabila tanpa ada terobosan.
BPN
harus diberi target menaikkan rasio pajak dan kepatuhan pembayar pajak setiap
tahun. Pengampunan pajak tak diperlukan. Jika dinilai melanggar aturan pajak,
denda hingga kurungan badan mesti diterapkan. Tak akan lari gunung dikejar,
keterbukaan finansial, audit forensik, dan inspektur pajak tanpa mengenal
batas bisa dimanfaatkan. Tak perlu tergesa, pelan namun pasti semua dikejar,
repatriasi terlalu besar justru bisa mengguncang stabilitas moneter.
Pendataan aset WNI di luar negeri bisa memanfaatkan aturan keterbukaan
finansial dunia. Pendataan dalam negeri perlu bekerja sama dengan Otoritas
Jasa Keuangan agar bisa mengakses rekening di lembaga keuangan bank maupun
nonbank. Melalui basis data yang kuat dan akurat, bisa dipastikan penerimaan
negara akan jauh lebih maksimal dan berkelanjutan.
Jalan
untuk meningkatkan pajak secara permanen tak lain adalah dengan menegakkan
aturan. Pengalaman amnesti pajak di banyak negara juga menemui kegagalan.
Pajak bersifat memaksa, pengampunan pajak hanya memperlihatkan negara lemah
terhadap pencoleng. Membayar pajak tidak akan membuat miskin para pengemplang
pajak yang hartanya melimpah di luar negeri. Apakah kita mengampuni mereka
karena superkaya, pejabat, atau politisi berkuasa? Ini jelas tidak adil.
Pemutihan aset keuangan lebih dari Rp 10.000 triliun akan menjadi skandal
terbesar dalam sejarah, setelah kasus bail out perbankan tahun 1998. Kita
sering mendengar "negara tak boleh kalah dengan preman". Kini, jika
regulasi pengampunan pajak disahkan, negara telah takluk kepada "preman
berdasi". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar