Koruptor Adili Koruptor
Imam Anshori Saleh ;
Pengamat Hukum dan Peradilan
|
KOMPAS, 31 Mei 2016
Dunia peradilan kita
sedang terluka parah. Dua kasus suap yang terkait penanganan perkara di
Mahkamah Agung belum selesai diusut, pada Senin (23/5) lalu dua hakim tindak
pidana korupsi ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di Pengadilan
Negeri Kepahiang, Bengkulu, kota kecil yang sunyi.
Terlepas apakah dua
kasus suap dengan tersangka Andri Tristianto Saputra, pegawai di Mahkamah
Agung, dan Edy Nasution, panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, melibatkan
hakim atau tidak, aroma suap membuat peradilan kita semakin terpuruk. Kasus
tertangkapnya dua hakim tindak pidana korupsi di Kepahiang semakin meyakinkan
bahwa suap-menyuap di pengadilan sudah menjadi kenyataan yang memalukan
sekaligus memilukan.
Lagi-lagi kita
menyebut dua kasus di Jakarta dan satu kasus di Kepahiang itu sebagai ”gunung
es” yang apabila mau serius dikeruk lebih dalam, puluhan bahkan ratusan
”bongkahan es” kasus serupa akan mudah ditemukan.
Sebelumnya, di Medan,
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara juga terjaring operasi tangkap tangan KPK.
Mahkamah Agung tergagap-gagap dan kehilangan kata-kata untuk menjelaskan
mengapa terus terjadi penyuapan terhadap para ”pemegang otoritas” keadilan
itu.
Bagaimana dengan
pengawasan dari Badan Pengawas Mahkamah Agung dan bagaimana pengawasan ketua
Pengadilan Tinggi terhadap hakim-hakim dan aparat pengadilan jajarannya.
Eksternal dan internal
Sejumlah faktor
menjadi penyebab maraknya praktik suap di pengadilan. Tidak perlu jauh-jauh
mencari kambing hitam dari faktor eksternal.
Ada beberapa faktor
internal yang diduga kuat menjadi penyebab suburnya penyuapan kepada aparat
pengadilan. Pertama, tentu rendahnya integritas para hakim. Kedua, karena
serba tertutupnya pengadilan dalam membuka akses informasi yang
diperlukanmasyarakat.
Ketiga, dalam membuat
putusan, para hakim nyaris tanpa pertanggungjawaban kepada institusi
horizontal maupun vertikal. Para hakim begitu mudah ”berlindung” di balik
kebebasan hakim. Siapa pun dan institusi mana pun tidak boleh mencampuri
hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Hal ini yang sering menjadikan
”bungker” bagi para hakim untuk memainkan perkara yang ditanganinya.
Menurut catatan
Koalisi Pemantau Peradilan, dua hakim tindak pidana korupsi (tipikor), Janner
Purba dan Toton, adalah hakim tipikor keenam dan ketujuh yang ditangkap KPK
(Kompas.com, 24/5/2016).
Hakim tindak pidana
korupsi yang pertama terjerat kasus korupsi adalah Kartini Julianna Mandalena
Marpaung. Hakim pada Pengadilan Tipikor Semarang itu ditangkap oleh KPK pada
17 Agustus 2012.
Kartini ditangkap
bersama Heru Subandono yang juga hakim di Pengadilan Tipikor Pontianak.
Keduanya tertangkap tangan seusai melakukan transaksi suap di halaman
Pengadilan Negeri Semarang.
KPK juga pernah
menahan hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Pragsono, yang ditetapkan sebagai
tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara korupsi di DPRD Grobogan, Jawa
Tengah, pada Desember 2013. KPK menetapkan Pragsono sebagai tersangka sekitar
Juli 2013. Dia ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan hakim ad
hocTipikor Palu, Sulawesi Tengah, Asmadinata.
Berikutnya hakim ad
hoc Pengadilan Tipikor Bandung, Ramlan Comel. Ramlan ditahan KPK sebagai
tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara korupsi bantuan sosial diKota
Bandung.
Yang mulia menjadi tercela
Jika yang tertangkap
tangan kebanyakan hakim tipikor yang bertugas mengadili para terdakwa
koruptor, sungguh sangatlah ironis. Hakim yang korup sehari-hari menangani
perkara korupsi. Jadi, hakim-hakim koruptor harus mengadili para koruptor.
Bagaimanapun
hakim-hakim yang bermental koruptor itu akan kehilangan sensitivitas ketika
menangani perkara korupsi, sebab dalam benaknya seolah melakukan korupsi itu
sebagai hal yang biasa. Mereka akan kehilangan penghayatan ketika menuliskan
pertimbangan hukum. Hakim yang diharapkan memutus dengan obyektif
dikhawatirkan akan lebih mengedepankan subyektivitasnya.
Berdasarkan data yang
dikutip dari Pengadilan Negeri Bengkulu, Kamis (26/5/2016), Janner dan Toton
kerap satu majelis mengadili perkara korupsi. Dari ketokan palu keduanya,
umumnya para terdakwa divonis ringan, bahkan sepuluh di antaranya divonis
bebas.
Hakim menghukum ringan
dan membebaskan terdakwa bukanlah hal yang dilarang. Yang tercela adalah jika
hakim menghukum ringan dan membebaskan terdakwa karena hakimnya disuap.
Hakim menerima suap
dan korupsi sangat bertentangan dengan tuntutan profesionalisme hakim.
Profesi hakim adalah benteng terakhir dalam integrated justice system di negara mana pun. Di dalam diri hakim
dipersonifikasikan berbagai simbol kearifan. Kode etik hakim memuat janji
hakim untuk menjalankan profesi luhur (officium
nobile) ini.
Di Indonesia keluhuran
martabat hakim mengacu pada simbol-simbol: kartika, ”cakra”, ”candra”,
”sari”, dan ”tirta”. Sifat ”kartika” (bintang) melambangkan ketakwaan hakim
kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang beradab.
Sifat ”cakra” (senjata
ampuh penegak keadilan) melambangkan sifat adil, baik di dalam maupun di luar
kedinasan. Dalam kedinasan, hakim bersikap adil, tidak berprasangka atau
memihak, bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan, memutuskan
berdasarkan keyakinan hati nurani, dan sanggup mempertanggungjawabkan kepada
Tuhan.
”Candra” (bulan)
melambangkan kebijaksanaan dan kewibawaan. Dalam kedinasan, hakim harus
memiliki kepribadian, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin dan penuh
pengabdian pada profesinya.
”Sari” (bunga yang
harum) menggambarkan hakim yang berbudi luhur dan berperilaku tanpa cela.
Dalam kedinasannya ia selalu tawakal, sopan, bermotivasi meningkatkan
pengabdiannya, ingin maju, dan bertenggang rasa.
”Tirta” (air)
melukiskan sifat hakim yang penuh kejujuran (bersih), berdiri di atas semua
kepentingan, bebas dari pengaruh siapa pun, tanpa pamrih, dan tabah.
Dalam konteks tujuh
hakim tipikor yang tertangkap tangan karena suap dan hakim-hakim lain yang
berperilaku sama, mereka sudah kehilangan sifat-sifat yang seharusnya
disandang seorang pengadil.
Kalau sifat-sifat itu
sudah tidak melekat pada mereka, mereka telah kehilangan predikat ”yang
mulia”. Tugas Mahkamah Agung dan segenap pemangku kepentingan adalah
menyelamatkan ribuan hakim yang masih baik.
Sikap permisif yang
selama ini dikesankan pimpinan MA akan melapangkan jalan bagi hakim-hakim
yang terhormat menjadi tercela. Sebuah negara yang berkeadilan akan semakin
sulit terwujud jika pilar-pilar keadilan, yakni para hakim kita, masih
koruptif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar