Demokrasi Ekonomi Pancasila
Iman Sugema ; Ekonom IPB
|
REPUBLIKA, 30 Mei
2016
Beberapa
waktu yang lalu, kami menyempatkan diri untuk hadir dalam Apel Besar Harlah
ke-93 NU di Pasuruan, Jawa Timur. Tema besar harlah adalah "Meneguhkan Pancasila,
Mengibarkan Merah Putih". Seusai acara tersebut, batin saya
termangu-mangu apakah masih perlu Pancasila untuk kita teguhkan? Mengapa sih
para kiai sepuh dan santrinya begitu repot-repot mengingatkan bangsa ini
mengenai pentingnya Pancasila?
Karena
saya adalah seorang ekonom, pertanyaan itu kemudian memicu
pertanyaan-pertanyaan susulan di bidang ekonomi. Sudahkah kita secara serius merumuskan apa
itu demokrasi ekonomi ala Indonesia atau demokrasi ekonomi Pancasila? Perlu
tidak kita rumuskan? Kalau perlu, apa kira-kira manfaatnya? Akankah kinerja
ekonomi Indonesia berjalan dengan lebih baik kalau kita terapkan Pancasila
sebenar-benarnya?
Jawaban
akan itu mungkin ada dalam observasi berikut ini. Hampir setiap perusahaan
besar telah merumuskan core values atau nilai-nilai dasar yang menjadi
landasan bertindak dari setiap insan yang ada dalam perusahaan tersebut. Pancasila adalah core values dari bangsa
ini yang digali dari dasar perut bumi Ibu Pertiwi. Begitu kata Bung Karno.
Namun, anehnya, hampir tak ada perusahaan yang core values-nya berkaitan
langsung dengan Pancasila.
Dalam
setiap kali kita merumuskan undang-undang di bidang ekonomi, hampir tak ada
naskah akademis yang menghubungkan antara perlunya berbagai pasal dalam
undang-undang tersebut dan cita-cita untuk meneguhkan demokrasi ekonomi
Pancasila. Kalau di bidang yang lain, saya kurang begitu memiliki
pengetahuan. Namun, setidaknya, di bidang ekonomi, belum ada rumusan yang
pasti tentang cara kita mengoperasionalkan demokrasi Pancasila. Yang paling
banyak kita agungkan adalah daya saing, pertumbuhan ekonomi, globalisasi, dan
seterusnya. Pilar-pilar demokrasi Pancasila hampir luput. Padahal,
undang-undang adalah sebuah kontrak sosial agar kita bisa memagari tindak
tanduk pelaku ekonomi agar tidak keluar dari bingkai yang kita sepakati.
Dalam
kaitan itulah, kita sebagai sebuah bangsa sudah sampai pada tingkatan urgensi
yang sangat mendesak untuk segera merumuskan dan menyepakati bingkai
demokrasi ekonomi Pancasila. Ide ini sebenarnya selalu timbul tenggelam
sesuai dengan zaman. Dahulu, Profesor Mubyarto merupakan sosok yang paling
gencar mempromosikan ekonomi kerakyatan sebagai manifestasi dari demokrasi
Pancasila. Untungnya, murid dan kawan beliau di UGM masih terus berupaya
meneguhkan hal tersebut walaupun semakin tergerus dengan liberalisasi dan
globalisasi. Rasanya sih belum ada lagi ide baru menyangkut ekonomi
Pancasila.
Sungguh
fenomena seperti ini merupakan di luar kelaziman bangsa besar. Bangsa besar
yang sekarang ini maju terbelah menjadi dua kutub, yaitu liberal dan komunis.
Demokrasi liberal didasarkan pada spirit untuk menjunjung tinggi perhatian
individual atau kepentingan pribadi. Di lain pihak, yang didaulatkan oleh
paham komunisme adalah kepentingan bersama. Di tengah-tengah itu, ada paham
sosialis demokratis yang dimanifestasikan dalam bentuk negara kesejahteraan
(welfare state). Di manakah letak paham demokrasi ekonomi Pancasila?
Coba
kita lihat sila yang pertama dan kita letakkan dalam aspek perekonomian
supaya jelas bahwa yang kita tuju adalah sangat berbeda dengan ketiga paham
mainstream di atas. Ketuhanan Yang Maha Esa menempatkan kita sebagai makhluk
dari Sang Pencipta. Kita ada di bumi ini karena kehendak-Nya. Karena itu,
self interest merupakan turunan dari the interest of the God. Kepentingan
makhluk tidak boleh bertentangan dengan perintah Tuhan. Segala aktivitas
ekonomi yang kita jalankan dari hari ke hari tidak hanya untuk kepentingan
pribadi atau kepentingan umum, tetapi juga harus dapat dipertanggungjawabkan
di muka Tuhan. Kalau segala niat dan tindakan ekonomi dilandasi oleh sila
ketuhanan, niscaya kita akan memiliki pelaku ekonomi yang sangat mulia dalam
berbisnis dan bertransaksi.
Setidaknya
ada empat pilar yang esensial dari sila ini yang dapat menjadi principal
guidance bagi pelaku ekonomi, yakni bersama dengan Tuhan (billah), berada di
dalam koridor Tuhan (fillah), demi untuk Tuhan (lillah), dan dari Tuhan
(minallah). Karena keterbatasan ruang penulisan, kita ambil contoh salah
satunya saja, yaitu demi untuk Tuhan. Kalau kita menjalankan aktivitas
ekonomi sebagai buruh, pengusaha, atau birokrat semata-mata karena Allah dan
hanya untuk Allah, kita semua akan menjalankannya dengan sebaik-baiknya. Dari
mulai niat, kemudian menjalankannya, dan kelak mempertanggungjawabkannya
harus konsisten hanya untuk Sang Khalik.
Apakah
kemudian kita tidak boleh memiliki self interest atau common interest? Apa
pun kepentingannya harus ada konsistensi linier dengan the interest of the
God. Lalu, bagaimana kita bisa tahu tentang kepentingan dan kehendak Tuhan?
Baca kitab-Nya, baik yang tersurat maupun yang tersirat, di alam semesta.
Mumpung 1 Juni ini adalah Hari Lahir Pancasila dan kemudian disambut dengan
Ramadhan, mari kita giat membaca kitab-Nya agar kehidupan bangsa ini bertambah
mulia. Semoga saja demokrasi ekonomi Pancasila akan bisa segera kita
rumuskan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar