Anti Komunisme yang Salah Arah
Wilson Bhara Watu ; Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik
Ledalero-Maumere
|
INDOPROGRESS, 23
Mei 2016
“Marxisme adalah isi dada
saya” (Soekarno)
KITA
sedang menghadapi satu situasi kontradiktif. Di satu sisi pemerintahan
Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo, berusaha membuka fakta sejarah
dan berdamai dengannya melalui simposium 65. Kegiatan ini diapresiasi karena
melibatkan hampir semua elemen yang punya pengalaman dan pemahaman yang
mendalam terkait peristiwa 65. Namun sayangnya, di sisi lain pada saat yang
sama muncul upaya pembredelan paham komunisme secara berlebihan. Usaha
memagari negara kita dari bahaya laten komunisme ini cukup agresif. Di
beberapa tempat, aksi “penyegelan” pengaruh komunisme ini tidak hanya
terbatas pemusnahan atribut yang berbau komunisme tetapi sudah sampai pada
level penyitaan buku serta pelarangan berbagai aktivitas ilmiah yang dianggap
“menyesatkan”.
Sampai
sekarang belum ada satu fakta pun yang menunjukkan bahwa pengaruh tersembunyi
komunisme sudah bangkit kembali selain munculnya atribut-atribut palu arit
yang berciri simbolis belaka. Sebaliknya, perlawanan terhadap komunisme sudah
bersifat masif, terstruktur, dan destruktif. Masif karena banyak elemen sipil
yang juga terlibat seperti ormas-ormas anti-PKI, terstruktur karena
berdasarkan instruksi negara untuk menggunakan pendekatan legalistik-hukum,
serta destruktif sebab menggunakan cara yang kurang demokratis seperti
berbagai pelarangan aktivitas-aktivitas ilmiah (termasuk penyitaan buku-buku
kiri).
Pendekatan Legal,
Ketakutan Massal
Setelah
mendengarkan arahan Presiden, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan akan
menggunakan pendekatan hukum dalam menghadapi kebangkitan komunisme (CNN
Indonesia, 10/5/2016). Itu artinya negara akan menindak tegas setiap indikasi
bahaya laten komunisme dengan menggunakan pasal-pasal hukum. Dengan
pendekatan legal ketat seperti ini, negara optimis bahwa bahaya laten
komunisme bisa diredam. Namun, solusi tak semudah itu. Pendekatan legal yang
berciri militeristik ini memiliki efek lanjutan. Siklus kekerasan (baik itu
fisik maupun simbolik) akan terbalik. Jika yang awalnya ditakuti adalah
reinkarnasi komunisme maka yang muncul kemudian adalah kebalikannya,
ketakutan akan kelahiran kembali militerisme dan kekerasan sipil. Situasi ini
bisa lebih berbahaya dari orde baru. Jika pada orde baru militer berkuasa
secara monopoli dalam menumpas PKI, pada saat ini situasi akan lebih
mengenaskan. Ormas-ormas fanatik yang mengklaim mewakili masyarakat sipil
seolah-olah mendapat alasan legal dalam upaya menumpas komunis. Tak jarang
mereka menggunakan cara brutal.
Ada
beberapa contoh yang menunjukkan sikap berlebihan (baik negara maupun sipil)
dalam menghadapi munculnya pengaruh komunisme. Di Pemekasan, Madura, Jawa
Timur, Kodim 0862 bahkan menggandeng berbagai organisasi sipil untuk menumpas
pengaruh komunisme (CNN Indonesia, 12/5/2016). Di Bandung, terjadi peristiwa
yang lebih agresif. Ormas Front Pembela Islam (FPI) berusaha membubarkan
aktivitas ilmiah Sekolah Marx karena dianggap berbahaya dan subversive,
padahal yang dilakukan oleh sekolah tersebut merupakan suatu pendidikan
rasional (Viva.co.id, 11/5/2016). Di Yogyakarta hal serupa juga terjadi
bahkan dengan melibatkan aparatur negara. Acara peringatan Hari Kebebasan
Pers Dunia yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang akan
diisi dengan pemutaran film dokumenter “Pulau Buru Tanah Air Beta” dibubarkan
oleh ormas sipil dan aparat keamanan lantaran dianggap menyebarkan benih-benih
komunis (Tempo.com, 3/5/2016). Belum lagi munculnya razia buku-buku kiri
seperti yang dilakukan oleh pihak kepolisian di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Polisi menyita buku-buku yang terindikasi menyebarkan komunisme
(Liputan6.com, 13/5/2016). Yang cukup mengejutkan, toko buku sekelas Gramedia
akhirnya menghentikan penjualan buku-buku kiri sampai akhir bulan sebagai
konsekuensi inspeksi pihak kepolisian beberapa waktu lalu (CNN Indonesia,
14/5/2016).
Beberapa
fakta ini menunjukkan adanya sirkulasi ketakutan massal. Awalnya negara dan
kelompok masyarakat tertentu takut akan bahaya laten komunis. Ketakutan ini
coba diatasi dengan melakukan pendekatan hukum yang ketat. Celakanya
pendekatan hukum yang berciri militeristik ini malah menjadi momok tersendiri
yang jauh lebih menakutkan. Produksi ancaman bukan lagi muncul dari ‘hantu
komunisme’ tetapi diracik oleh negara. Saya berani katakan bahwa negara jauh
lebih garang dari ancaman laten komunis yang belum terbukti sampai sekarang.
Melawan Rasa Takut
Setidaknya
ada dua presiden negara kita yang pernah membaca karya Marx secara serius dan
mendalam. Mereka adalah Soekarno dan Gus Dur. Soekarno bahkan membaca buku
Das Kapital beberapa kali dan secara tegas tanpa tedeng aling-aling
mengatakan, “Ya, Aku Marxis!”. Gus Dur punya cara khas dalam membaca Marx.
Dia katakan “Marx harus diikuti analisisnya terhadap keadaan, tetapi jangan
begitu saja dituruti dalam kesimpulan. Dengan kata lain, Marxisme haruslah
dipahami sebagai kenyataan sejarah, tetapi belum tentu memiliki kebenaran
transendental” (Abdurrahman Wahid, 1999:191). Bagi Gus Dur, belajar dari Marx
tak selamanya harus jadi komunis. Kita cuma meminjam pisau bedah analisisnya
dan menerapkannya dalam konteks Indonesia.
Dengan
cara baca yang brilian terhadap Marxisme apakah kemudian kedua orang ini
(Soekarno dan Gus Dur) dianggap punya pemikiran yang subversif, berbahaya,
dan menakutkan? Sama sekali tidak. Mereka memahami komunisme dari akarnya dan
belajar begitu banyak dari aliran pemikiran itu. Mereka tetap menjadi seratus
persen nasionalis setelah membaca Marx secara mendalam.
Inspirasi
tentang asas kesejahteraan sosial yang Soekarno tekankan secara tegas dalam
pidato lahirnya Pancasila, tak luput dari inspirasi analisis-analisis Marx
atas ketimpangan struktur kelas sosial pada masyarakat Eropa. Soekarno dan
Gus Dur membaca Marx secara produktif dan dialektis. Produktif karena mereka
bisa mengambil ‘pisau analisis’ yang digunakan oleh Marx dan menemukan
‘lahan’ yang tepat untuk membedah dan menemukan suatu kazanah pemikiran dan
solusi yang segar. Dialektis karena mereka berhasil memadukan dua horizon,
yaitu tradisi Marxisme dan semangat gotong royong secara kontekstual dan
tepat sasar.
Belajar
dari kedua tokoh besar bangsa ini, yang seharusnya kita bangun sekarang ini
adalah suatu pendekatan yang menumbuhkan rasa optimis dan rasional ketimbang
terus bertahan pada model pendekatan hukum yang berujung pada sosialisasi
ketakutan secara masif. Kita sudah terlalu lama hidup dalam ketakutan massal.
Sejak Orde Baru komunisme sudah diidentikan dengan setan yang harus ditumpas.
Setan itu mesti dimusnahkan karena menakutkan. Gerenasi sekarang pun mendapat
‘kado sejarah’ ini. Kita sedang mewariskan tradisi takut komunis bagi lapisan
generasi sekarang.
Ini
tentu suatu warisan yang keliru. Kita mesti membuang warisan rasa takut yang
sudah usang ini. Komunisme hanya bisa diatasi dengan, mengutip Franz
Magnis-Suseno, mengetahuinya secara mendalam seluk-beluknya. Itu saja.
Generasi ini perlu dibekali dengan pemahaman yang rasional dan argumentatif
terhadap berbagai aliran pemikiran dunia sehingga mereka tidak cepat
menghakimi suatu pemikiran tanpa alasan rasional melainkan dapat menyikapinya
secara argumentatif.
Berdasarkan
alur pemikiran ini, negara seharusnya perlu membangun suatu tradisi
intelektual yang lebih kokoh dalam menghadapi komunisme, ketimbang pendekatan
militeristik yang hanya menumpas komunisme dengan penuh ketakutan tanpa
mencerahkan. Ini adalah suatu imperatif demokrasi sebab ketakutan dan
kekerasan yang irasional akan berujung pada pembakaran sejarah, sedangkan
pendidikan yang argumentatif dan optimisme akan berbuah pada pembelajaran
sejarah. Ini sangat penting sebab, menutip filosof Spanyol George Santayana,
“mereka yang tidak mengambil pelajaran dari sejarah akan ditakdirkan untuk
mengulanginya”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar