Aktualisasi Gotong-Royong
Sudjito ;
Guru Besar Universitas Gadjah Mada
|
KORAN SINDO, 03 Juni
2016
Tanggal
1 Juni secara resmi ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai
hari lahir Pancasila. Momentum ini penting dan menjadi tonggak sejarah ideologi
bangsa untuk menggelorakan semangat ber-Pancasila dalam segala aspek
kehidupan.
Dalam
kaitan dengan esensi Pancasila, disadari bahwa kooperasi atau kerja sama
secara kodrati merupakan upaya manusia individu daif untuksalingmelengkapiatas
kekurangan masing-masing agar kepentingan bersama (mutual interest) dapat terselenggara dengan mudah dan nyaman.
Itulah
yang disebut gotong-royong. Ir Soekarno pada pidato 1 Juni 1945 di dalam
sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (BPUPKI) berujar: ”Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi
satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan
gotong-royong.
Alangkah hebatnya! Negara
Gotong-Royong!. Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan
keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat
kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris
buat kepentingan bersama!”
Dalam
proses kehidupan, semangat gotong-royong berkembang dinamis, mengedepankan
kebersamaan (mutualism), bernuansa
kekeluargaan (brotherhood), dan
mampu memadukan kekuatan yang tercerai-berai menjadi satu kekuatan yang ampuh
(sinergi ). Analogi sapu lidi, menjadi kuat karena lidi dipersatukan dan ada
suhnya.
Tidak
terbantahkan bahwa di era globalisasi, esensi dan eksistensi gotong-royong
mengalami degradasi. Seiring menguatnya paham individual liberalisme dengan
segala dinamikanya, gotong-royong tergantikan menjadi kompetisi. Kompetisi
kini telah menjadi tren universal menjelajah seluruh penjuru dunia.
Di
balik fenomena itu dapat diduga, ada faktor ideologi politik sebagai kekuatan
raksasa yang menggerakkan-nya. Banyak pihak (negara) yang telah takluk,
terbawa arus, atau tak berdaya menghadapi kompetisi bebas itu. Benarkah
Indonesia kini tergolong negara yang sudah takluk, tidak memiliki ketahanan
nasional, didominasi kekuatan global? Penting diingat, Indonesia sedari awal
kemerdekaannya telah menempatkan Pancasila sebagai dasar negara.
Indonesia
telah didesain oleh para founding
fathers sebagai negara merdeka yang mengedepankan prinsip kooperasi,
kerja sama, kekeluargaan, dan sekaligus menolak dominasi kepentingan
perorangan atau negara lain di atas kepentingan nasional. Berdasarkan
Pancasila, nasionalisme ditempatkan secara proporsional terhadap
internasionalisme.
Kepentingan
nasional diutamakan tanpa mengabaikan kepentingan global. Koeksistensi hidup
damai antara sesama bangsa dan negara lain menjadi bagian dari tujuan
bernegara, sebagaimana tersurat dalam Pembukaan UUD 1945: ”... ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ...”
Dalam
perspektif Pancasila, kompetisi itu kodrati, boleh, bahkan diperintahkan
dilakukan setiap individu, bangsa dan negara, tetapi untuk kebajikan. Sekali
lagi untuk kebajikan. Misal: berlomba menolong membebaskan sandera, bederma
saat terjadi bencana, member ilmu manfaat kepada pihak lain.
Rambu-rambunya
jelas. Bila rambu-rambu ini dilanggar, misal: bersaing untuk menaklukkan, menguasai,
menjajah pihak lain, jelas hal demikian dilarang karena akan menyengsarakan
kehidupan secara umum. Kompetisi tak sehat demikian ditabukan oleh Pancasila.
Kompetisi bebas (free-fight),
rentan muncul dan berkembang, ketika manusia tak mampu mengendalikan hawa nafsu
duniawi.
Manusia
rakus berkeyakinan bahwa untuk dapat survive
dan mampu meraih keuntungan besar, apabila menang dalam kompetisi. Slogannya,
”sebaik-baik manusia adalah mereka yang menang dalam kompetisi”. Manusia
dipadankan sebagai serigala (homo
homini lupus) atau makhluk ekonomi (homo-economicus)
saja. Prinsip kehidupan yang ditonjolkan laissez-faire
laissez passer.
Inilah
dimensi hukum alam, dimensi filsafati, dan dimensi ekonomis yang melahirkan free-market economic system dengan
segala variannya. Salah satu varian menonjol dari free-fight adalah munculnya praktik-praktik hukum yang
dikendalikan kepentingan ekonomi. Fenomena mega-lawyering di Amerika yang
berwatak kapitalistik, kini sudah merambah ke negara lain, termasuk Indonesia.
Mega-lawyering
itu merupakan bagian masuknya kapitalisme ke dalam praktik lawyering.
Pekerjaan hukum tidak dibatasi hanya murni hukum saja, melainkan berjalin dan
berkelindan dengan praktik ekonomi kapitalis. Di situlah hukum, bisnis dan
politik bercampur-aduk. Imbasnya, praktik suap-menyuap kepada aparat penegak
hukum, bisnis perkara, bisnis perundang- undangan, manipulasi anggaran,
korupsi, pencucian uang, dan sederet kejahatan lain, berkembang bak jamur di
musim penghujan.
Dan
bahkan amat sulit diidentifikasi secara positivistik sehingga cenderung gagal
diproses hukum. Mega-lawyering di Indonesia kian ganas dalam berburu
mangsanya. Bermodal segmen organisasi kuat yang bersifat korporatif, mega-lawyer firms beserta mitranya
meluaskan jangkauan ke para politisi dan pejabat publik.
Para
penentu kebijakan (decision makers)
didikte dan dikendalikan cara kerja maupun orientasi kerja, yakni untuk
sebesar-besarnya keuntungan pribadi. Ketika rayuan telah merasuk, maka sejak
itu rakyat dan sumber daya alam dikorbankan demi perolehan keuntungan
pribadi.
Nyata
dan kasatmata bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi yang muncul dalam bentuk
kompetisi berdampak langsung pada hukum dan keadilan. Berbagai peraturan
perundang-undangan terkait dengan sumber daya alam, reklamasi pantai,
perburuhan, dan sektor-sektor lain diduga kuat sarat dengan praktik ekonomi
kapitalistik. Pembuatan dan pelayanan hukum menjadi identik dengan bisnis.
Praktik
hukum dikembangkan sedemikian rupa sebagai siasat untuk memenangkan kepentingan
nasabahnya. Sungguh amat berat menegakkan supremasi hukum demi keadilan di
negeri ini, ketika hukum menjadi obyek bisnis, produk politik, barang mainan,
melalui tafsir-tafsir subyektif, sekuler, dan materialistik.
Hemat
saya, untuk menjawab tantangan global yang semakin kompetitif, gotong-royong
perlu diaktualisasi secara internasional, lintas negara. Alangkah mesra,
akrab, dan kuat bila pergaulan antar bangsa dikelola dalam bingkai semangat
gotong-royong. Gotong-royong merupakan modal ideologis spiritual bangsa
Indonesia dan dunia untuk mewujudkan global
harmony, dan peaceloving nations.
Salam Pancasila. Wallahu alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar