Wajah Baru PKS?
Arief Munandar ;
Doktor Sosiologi Politik dan
Organisasi Universitas Indonesia
|
REPUBLIKA, 15
April 2016
Pascaterpilihnya Salim
Segaf Al Jufri sebagai ketua Majelis Syura PKS medio 2015 lalu, dinamika
internal partai ini menjadi semakin menarik diikuti. Sejak terpilih menjadi
pimpinan tertinggi, Salim terlihat ingin kembali menegaskan komitmen
partainya untuk memperkuat jati diri sebagai partai dakwah yang bersih,
peduli, dan profesional.
Publik pun seolah-olah
disuguhkan warna yang baru dari era kepemimpinan Salim. Ketimbang memicu
pertikaian internal dengan elemen-elemen partai yang mungkin belum bisa
"move on", Salim dan tim memilih melukis dan mewarnai kanvas PKS
dengan coraknya sendiri. Ini strategi yang jitu karena partai politik
sejatinya selalu menjadi arena pertarungan simbolis antarpihak yang mencoba
menyodorkan tafsir atas ideologi partai.
Setiap pihak ingin
agar tafsirnya menjadi rujukan. Setiap tafsir mengundang pendukung dan
penentang. Oleh karena itu, perubahan warna dari masa ke masa adalah niscaya.
Dalam situasi ini, bermain tenang sesuai dengan konstitusi partai adalah
pilihan yang paling masuk akal.
Sebagai nakhoda baru,
Salim berpandangan bahwa PKS membutuhkan etalase yang selaras dengan brand
image partai yang ingin dibangunnya. Bisa dipahami jika pilihan jatuh kepada
Mohamad Sohibul Iman untuk memimpin eksekutif partai sebagai presiden PKS.
Sosok ilmuwan yang menamatkan sarjana hingga doktor di bidang kebijakan
teknologi di Jepang ini awalnya dikenal sebagai akademisi yang tekun
berkarier di BPPT pada era BJ Habibie, sebelum menjadi politisi PKS dan
menjabat wakil ketua DPR periode yang lalu.
Sohibul Iman adalah
sosok yang tampil santun dan sederhana, tapi memiliki gagasan yang berbobot.
Gaya komunikasinya yang tenang, runtut, dan tidak meledak-ledak mengingatkan
publik kepada pendahulunya di Universitas Paramadina, Nurcholis Madjid.
Perjalanan panjang kariernya yang bervariasi, termasuk sebagai mantan rektor
Universitas Paramadina, menandakan Sohibul Iman sangat terbiasa bergaul dan
menjalin komunikasi lintas partai, kelompok, dan golongan. Kalangan yang
dekat dengannya menyebut Sohibul Iman sebagai sosok yang
pluralis-berkarakter, mampu bercampur, tapi tetap berbeda.
Dalam situasi yang
digambarkan di atas, penanganan kasus Fahri Hamzah bisa dimaknai sebagai
upaya untuk menyelaraskan anggota pasukan dengan visi dan misi panglimanya.
Hal ini terlihat dari penjelasan resmi DPP PKS atas kronologis munculnya
keputusan tersebut.
Baru terungkap,
ternyata prosesnya sudah berlangsung sejak tujuh bulan lalu. Inti masalahnya
sangat sederhana dan mendasar: Fahri dinilai gagal menyesuaikan diri dengan
arah dan kebijakan pimpinan baru.
Dalam beberapa kasus,
Fahri terlihat lebih merepresentasikan kepentingan eksternal dibandingkan
partainya. Sebagai contoh, Fahri secara terbuka melakukan pembelaan kepada
koleganya, Setya Novanto, dalam kasus saham Freeport di saat pimpinan PKS
memiliki keputusan yang berbeda. Demikian pula sikap Fahri yang konsisten
ingin melemahkan KPK, padahal pimpinan PKS ingin terus memperkuat peran dan
fungsi lembaga antirasywah ini.
Tampaknya inilah yang
mendorong Ketua Majelis Syura PKS meminta Fahri mundur dari posisinya sebagai
wakil ketua DPR, dan mengarahkannya untuk mau dipindahkan ke alat kelengkapan
dewan lainnya. Namun, Fahri yang semula menyatakan kesediaannya kemudian
berbalik menolak, bahkan melawan keputusan pimpinan secara terang-terangan.
Sehingga, prosesnya berujung pada pemberhentian Fahri dari seluruh jenjang
keanggotaan partai.
Fahri memang sosok
yang fenomenal sekaligus kontroversial. Mungkin publik belum lupa, beberapa
tahun yang lalu, Fahri mengemukakan ide untuk menganugerahkan gelar pahlawan
nasional kepada mantan presiden Soeharto. Sisi kontroversial Fahri diperkuat
dengan diksinya yang kerap tajam dan menyengat, seperti menyebut Presiden
Jokowi "sinting" atau koleganya para anggota dewan
"beloon".
Sebagai ikon PKS,
tentunya sikap Fahri ini berdampak kepada citra partai di benak publik. Tidak
heran jika kesan keras, kontroversial, dan eksklusif lekat dengan wajah lama
PKS.
Dalam konteks itulah,
Fahri dinilai tidak bisa menjadi representasi wajah baru PKS yang lebih
santun, moderat, serta mampu membangun titik temu dan kebersamaan dengan
berbagai kalangan. Gaya Fahri yang meledak-ledak, teatrikal, dan kerap memicu
konflik, dirasa tidak koheren dengan corak lukisan baru yang ingin dituangkan
duet Salim dan Sohibul Iman di atas kanvas PKS hari ini.
Membiarkan Fahri
dengan berbagai manuver khasnya seolah membenarkan tesis sejumlah pakar bahwa
partai politik rentan terjangkiti problem keagenan yang akut, di mana elite
partai kerap tidak merepresentasikan ideologi yang dianut partainya, tetapi
menjadi pelayan dari kepentingan lain di luar partai.
Pimpinan PKS
dihadapkan pada dua pilihan: Fahri mengubah warnanya atau dicarikan pengganti
dengan corak yang lebih pas. Dari kronologi yang berujung pada pemberhentian
Fahri, terlihat bahwa pimpinan PKS mengambil opsi yang pertama.
Dalam rentang waktu
tujuh bulan, diupayakan proses dialog, komunikasi, mediasi, hingga pemberian
kesempatan kepada Fahri untuk membela diri di hadapan mahkamah partai. Namun,
kompromi politik antara pimpinan PKS dan Fahri gagal dicapai. Ruang kompromi
yang ditawarkan pimpinan partai sepertinya tidak mampu melunakkan sikap
"singa" parlemen tersebut.
Pimpinan PKS akhirnya
sampai pada keputusan untuk mencari sosok yang lebih tepat merepresentasikan
wajah baru PKS sebagai partai dakwah yang cerdas, inklusif, dan mengayomi.
Pilihan akhirnya jatuh kepada Ledia Hanifa, satu-satunya perempuan di jajaran
anggota legislatif PKS periode ini. Ia dikenal sebagai perempuan PKS yang
cerdas dan luwes dalam bergaul sehingga diterima oleh kalangan yang luas, di
dalam maupun di luar partai.
Rekam jejaknya cukup
konsisten dalam mengangkat soal-soal perlindungan kaum perempuan, ibu dan
anak, di samping isu-isu keumatan yang krusial, seperti pengelolaan
penyelenggaraan haji dan umrah serta produk halal. Menyodorkan Ledia sebagai
wakil ketua Dewan adalah satu lagi keputusan pimpinan baru PKS yang
unpredictable, tapi brilian.
Banyak kalangan yang
tak pernah menduga PKS akan memberikan ruang dan panggung politik yang luas
bagi kader perempuannya. Secara politis, keputusan ini akan mengubah
positioning dan brand PKS yang semula dikesankan konservatif-patriarkis
menjadi lebih apresiatif terhadap peran politik perempuan.
Dengan wajah barunya
ini, PKS sedang memberikan tawaran yang cukup menggairahkan bagi perpolitikan
Indonesia. Namun, publik tentunya masih butuh pembuktian. Bagi pimpinan baru
PKS, ujian selanjutnya adalah soal konsistensi kebijakan.
Publik perlu
diyakinkan bahwa berkhidmat kepada rakyat sebagai partai dakwah yang bersih,
peduli, dan profesional adalah komitmen yang diamalkan dengan penuh
antusiasme dari waktu ke waktu. Hal itu bukan sekadar jualan politik sesaat,
apalagi hanya sebagai political gimmick. Publik merindukan PKS tampil sebagai
partai yang bersahaja, tapi berlimpah dengan karya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar