Spesialisasi dalam Profesi
Kartono Mohamad ;
Mantan Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia
|
KOMPAS, 08 April
2016
Variabel yang membuat
seseorang menjadi sakit atau sembuh dari penyakit sangat banyak. Ada variabel
fisik atau biologis, ada variabel mental psikologis, ada variabel sosial, dan
juga variabel lingkungan. Tidak mungkin seorang dokter dapat menguasai semua
variabel itu.
Ketika seorang dokter
ingin menguasai hanya satu atau dua variabel saja, tumbuhlah spesialisasi.
Kemudian dia akan mendalami dan mengembangkan ilmu di bidang yang diminatinya
itu semakin dalam dan semakin jauh.
Teknologi pun kemudian
mengikutinya. Jadi, pada dasarnya, spesialisasi kedokteran tumbuh karena
tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi, perubahan kehidupan manusia.
Spesialisasi
kedokteran sebenarnya bertujuan meningkatkan ilmu pengetahuan tentang
penyakit dan penyembuhannya. Bahwa kemudian berakibat pula pada pelayanan
kepada pasien, itu adalah konsekuensi dan bukan tujuan utama spesialisasi.
Namun, di Indonesia biasanya tujuan untuk pelayanan lebih menonjol, apalagi
kalau bidang itu akan banyak mendatangkan materi.
Pelayanan spesialis
akan berkembang, tetapi dalam pengembangan ilmunya, kita cenderung mengikuti
saja apa yang terjadi di negara lain. Sumbangan terhadap kemajuan ilmu
kedokteran dunia tidak terdengar. Kita lebih banyak menjadi negara konsumen
atau peniru dan bukan penemu atau inovator.
Dulu kita mempunyai
Sutomo Tjokronegoro yang teori tentang "trias kanker otak"
dijadikan rujukan dunia. Juga ada Lie Kian Yu yang penelitiannya tentang
cacing tambang masuk dalam buku teks parasitologi dunia. Tokoh-tokoh seperti
itu kini belum ada lagi.
Ditentukan profesi
Jadi, pada intinya
spesialisasi atau percabangan ilmu kedokteran ditentukan kelompok profesi itu
sendiri karena keinginan memperdalam dan menguasai variabel yang diminatinya.
Ketika ilmu tentang penyakit anak menemukan bahwa anak bukanlah miniatur
orang dewasa, muncullah spesialisasi ilmu penyakit anak. Ketika ilmu penyakit
jiwa mempunyai ciri tersendiri, berpisahlah psikiatri dari spesialisasi
neurologi. Uniknya, di abad ke-19, neurologi sendiri merupakan bagian dari
ilmu penyakit dalam. Begitulah seterusnya.
Perpisahan atau
percabangan spesialisasi itu tak selamanya mulus. Hampir selalu ada beda
pendapat di antara profesi kedokteran itu sendiri. Kita mengalami betapa
"perpisahan" ilmu penyakit jantung dari ilmu penyakit dalam
menimbulkan gejolak cukup keras dalam profesi kedokteran Indonesia. Kini
spesialisasi penyakit jantung, penyakit paru, penyakit ginjal, sudah
memisahkan diri dari ilmu penyakit dalam meski tak sepenuhnya.
Kesepakatan biasanya
terjadi setelah dapat dijelaskan ruang lingkup kerja, kompetensi, dan
kurikulum pendidikannya. Selanjutnya akan berjalan secara alami. Pemerintah dan
masyarakat kemudian tinggal memanfaatkan mereka itu semua. Jadi, dalam
pendidikan kedokteran, kalau dianalogikan dengan pembuat pakaian, kelompok
profesi adalah desainer, atau perancang, lembaga pendidikan menjadi
penjahitnya, lalu pemerintah dan masyarakat sebagai pemakainya.
Sebelum tahun 1980-an,
di Indonesia pendidikan spesialis berada dalam "kekuasaan"
perhimpunan spesialis. Mereka itu yang mendidik, menguji, dan memberikan
brevet spesialis. Sesudah 1980-an pemerintah menetapkan bahwa pendidikan harus
dilakukan fakultas kedokteran dan brevet (ijazah) diberikan kementerian
pendidikan.
Untuk mereka yang
lulus sebelum ketentuan itu, dilakukan "pemutihan" oleh kementerian
pendidikan. Namun, percabangan spesialisasi tetap ditentukan kelompok profesi
itu sendiri. Ketentuan tentang lingkup kompetensi dan kurikulum pendidikannya
tetap ditetapkan kelompok profesi. Untuk menjadi penengah antara lembaga
pendidikan dan kelompok profesi, dibentuk Consortium of Medical Sciences
(CMS) yang kemudian dikembangkan menjadi Consortium of Health Sciences (CHS).
Kementerian kesehatan
Dalam pengembangan spesialisasi, kementerian
kesehatan tidak banyak ikut campur karena pada hakikatnya ia hanyalah salah
satu dari pengguna hasil lulusan pendidikan kedokteran. Bukan penentu dokter
apa yang harus diluluskan.
Selain kementerian
kesehatan, institusi pemerintah yang lain (seperti TNI, Polri, dan
kementerian lain) dan masyarakat swasta juga menjadi pengguna. Di institusi
lain tersebut bisa pula berkembang spesialisasi baru, seperti spesialis
penerbangan, penyelaman, kesehatan ruang angkasa, dan sebagainya yang
kementerian kesehatan tidak menggunakannya.
Karena itu, menjadi
aneh ketika pemerintah (kementerian kesehatan) melalui undang-undang
pendidikan dokter menetapkan perlunya spesialisasi baru, yaitu dokter
pelayanan primer. Tanpa jelas ruang lingkup kerjanya, cakupan kompetensinya
dan kurikulum pendidikannya. Bagi kalangan dokter umum, yang sekarang juga
sudah mengembangkan dokter keluarga, lapisan spesialisasi baru ini menjadi
rancu.
Alangkah lebih
bijaksana kalau kementerian kesehatan, sebelum mengusulkan gagasan adanya
spesialisasi dokter layanan primer ini, berbicara dengan kelompok profesi
kedokteran seperti yang dilakukan CMS dulu.
Bagaimana reaksi
fakultas kedokteran dengan istilah baru ini? Karena hal itu dituangkan dalam
UU, beberapa fakultas kedokteran mengklaim bahwa hasil didikannya sudah
memenuhi kriteria dokter layanan kesehatan primer. Entah berdasarkan kriteria
dan kurikulum yang mana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar