"Reshuffle"
Budiarto Shambazy ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 09 April
2016
Sejak merdeka, kultur
kepemimpinan kita agak seperti kerajaan purbakala. Apa pun sistem politiknya,
para pemimpin bertingkah seperti maharaja, lengkap dengan mahapatih, patih,
dan penggawa.
Pemimpin doyan
disanjung-sanjung dan suka gembar-gembor mengenai kehebatan dirinya.
Mahapatih, patih, dan dayang-dayang hidup sejahtera karena rajin ikut sang
maharaja beranjangsana ke mana-mana.
Rakyat praktis jadi
hamba. Meski sudah merdeka dari penjajahan Jepang dan Belanda, rakyat dipaksa
menyembah sang raja.
Dulu, para pemimpin
mengajarkan rakyat untuk saling panggil "bung" atau cukup
"saudara" saja. Belakangan rakyat menghamba menyebut maharaja
"Bapak Pembangunan" atau "Paduka yang Mulia".
Maharaja pertama ahli
merangkai kata-kata jadi cabang-cabang ideologi negara beraneka rupa.
Maharaja pertama penemu Pancasila yang tak pernah diserap-apalagi
dipraktikkan-dan menjadi pemanis bibir saja.
Maharaja pertama
demokratis sekitar 14 tahun usia pertama republik kita. Ia berjuang untuk
negaranya sejak mahasiswa sampai akhirnya lelah.
Setelah 1959, ia hidup
ketika berada di podium dan di hadapan puluhan ribu warga. Sang maharaja
tetap dihormati dan dijunjung tinggi walau selalu menjadi incaran musuh-musuh
besar yang siap menggulingkannya.
Maharaja kedua
kecanduan Pancasila. Ia bertahan sekuat tenaga untuk mengamankan kursi
kebesarannya. Maharaja kedua di hadapan siapa saja menjaga wibawa sembari
mengangguk-anggukkan kepala. Jabatannya oleh pers harus pakai huruf kapital
di depan jadi "Kepala Negara".
Alamat maharaja kedua
disebut "kediaman", tak boleh "rumah". Dia mesti disebut
dengan "bapak" yang sering memberikan petunjuk dan hanya satu kali
dalam lima tahun dipanggil dengan sebutan "saudara" ketika
diwawancarai Ketua/Wakil Ketua MPR yang selalu setuju dengan pencalonannya.
Bukan cuma maharaja
kedua yang berkuasa, melainkan juga para mahapatih, patih, dan penggawa yang
setia. Jajaran kepemimpinan "eselon istimewa" itu bersikap dan
bertindak seolah republik ini milik mereka.
Mereka menyedot habis
dan menjual kekayaan tambang dan membabat sampai botak hutan rimba kita.
Mereka menangkapi hamba-hamba yang tak terbukti bersalah, menculik aktivis
dan mahasiswa.
Bagaimana dengan
maharaja-maharaja selanjutnya? Untung, katanya, kita telah berubah berkat
reformasi tahun 1998 yang dipelopori mahasiswa.
Ternyata, kinerja
maharaja pasca reformasi berubah sedikit alias relatif sama saja. Mereka cuma
berbeda rupa dan ideologi, selebihnya masih menganggap rakyat hamba bodoh.
Mereka memperbanyak
jumlah mahapatih, patih, dan penggawa. Sebagian duduk di kabinet, sebagian di
struktur tentara, sebagian lagi di legislatif ataupun yudikatif, dan banyak
juga yang rajin mengipasi maharaja.
Pada dasarnya mereka
pandai mengumbar janji belaka. Hamba-hamba terpukau dan memilih maharaja
dengan harapan hidup akan sejahtera.
Eh, tak tahunya hamba
salah duga. Maharaja menderita gejala delusion
of grandeur karena merasa berdiri di atas semuanya.
Mereka gemar judul
gombal seperti Kabinet Pembangunan, Pelangi, Bersatu, Ampera, atau Kerja. Tak
laku lagi nama singkat Kabinet Sjahrir atau Kabinet Hatta.
Dulu ada kabinet yang
100 jumlah menterinya. Ada wakil perdana menteri, kementerian koordinator, kementerian
negara, menteri negara, sampai menteri muda.
Jumlah kementerian
penting tak sebanyak yang sia-sia. Ada Departemen Transmigrasi dan Permukiman
Perambah Hutan, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga yang datang dan
hilang, atau Sekretaris Kabinet yang entah apa bedanya dengan Sekretaris
Negara.
Maharaja lupa prinsip
terpenting: setiap menteri pembantu kepala negara. Apa yang dilakukan menteri
itu semata-mata instruksi Istana Merdeka.
Seperti halnya PRT,
kalau tidak becus, majikan tak perlu takut memecatnya. Pakailah peluang ini
untuk memperbaiki Indonesia.
Ada yang layak jadi
kementerian, ada yang tidak juga. Imigrasi serta Bea dan Cukai yang tugasnya
menjangkau dari kepala sampai kaki negeri ini ada di bawah Kementerian Hukum
dan HAM saja.
Ada yang gonta-ganti
nama: Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan jadi Menteri Negara Urusan
Peranan Wanita. Dan seperti biasanya, boros kata-kata perlu biaya.
Ada yang tumpang
tindih, Ketua KONI Pusat dengan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga. Ada
kementerian "kering" atau "basah" dan yang pasti
parpol-parpol berebut minta jatah.
Begitulah
gonjang-ganjing perombakan atau pembentukan kabinet menarik perhatian karena
lebih bercerita soal orangnya-bukan karyanya. Walau kini beredar nama yang
akan keluar-masuk, rakyat lebih suka bekerja saja.
Rakyat mendukung
rencana Presiden Joko Widodo merombak Kabinet Kerja, yang sepenuhnya hak
prerogatif kepala negara. Sudah keburu beredar lima nama menteri yang akan
digantikan atau dimutasikan, yang akan diumumkan segera.
Ibarat PRT, menteri
bisa bermental jongos yang suka nonggo-nonggo di pagar rumah. Biar semangat
ayo nyanyi "Panjang Umurnya" ramai-ramai. "Tukar menteri R,
buang menteri S, ganti menteri Y sekarang juga. Sekarang juga, sekarang
juga.." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar