Refleksi Olahraga Nasional
Tono Suratman ;
Ketua Umum KONI Pusat
|
MEDIA INDONESIA,
13 April 2016
KRISIS sosial berupa
merebaknya aksi-aksi antisosial, tawuran pelajar, deviasi seksualitas, dan
peredaran narkoba mengejutkan kita semua. Terbaru, tertangkapnya Bupati Ogan
Ilir, Sumatra Selatan, Ahmad Wazir Nofiadi karena kasus narkoba, menunjukkan
akumulasi krisis telah mencapai titik gawat. Keteladanan elite hadir sebagai
mitos belaka akibat krisis moral dan kekarut-marutan korupsi yang semakin
mengkhawatirkan.
Kondisi tersebut
mengingatkan kita semua bahwa karakter mental bangsa ini, terutama elitenya,
memprihatinkan. Kejujuran, keadilan, kesantunan sosial, kerja keras, dan
sportivitas sebagai komponen utama manusia berkarakter semakin terabaikan.
Ujungnya, kesejahteraan sosial dan keadaban publik menjadi taruhan.
Kabinet Joko
Widodo-Jusuf Kalla telah mencanangkan pentingnya revolusi mental untuk
mengatasi berbagai persoalan bangsa. Asumsinya jelas: krisis yang melanda
bangsa ini sudah mencapai taraf membahayakan. Perbaikannya tidak boleh
tambal-sulam, tetapi harus sistematis, mendasar, masif, dan berkelanjutan. Di
sinilah pentingnya olahraga.
Peran strategis
Olahraga memainkan
peran strategis bagi pembentukan karakter mental manusia. Berbagai riset
mengungkap olahraga berfungsi untuk menciptakan kebugaran, memacu kerja otak,
dan membentuk karakter bertanggung jawab, disiplin, jujur, serta memajukan
keahlian dan pengetahuan (Huizinga,
1938; Davidson, 2005). Singkatnya, olahraga menyegarkan badan,
mencerahkan pikiran, dan membangun karakter.
Pada level nasional,
olahraga menjadi energi pembangunan dan sumber kehormatan. Presiden Soekarno
meletakkan olahraga sebagai pembentuk karakter bangsa. Olahraga dikembangkan
untuk membangun manusia Indonesia baru, mewujudkan dedikasi dan pengabdian
bagi bangsa, serta menjadi sarana untuk nation
and character building. Tegasnya, olahraga menjadi wadah untuk
melaksanakan Ampera.
Orde Baru memberi
dukungan luas terhadap olahraga. Melalui slogan 'Mengolahragakan masyarakat
dan memasyarakatkan olahraga', Presiden Soeharto membangun olahraga untuk
mendongkrak prestasi dan kehormatan bangsa di mata dunia internasional.
Olahraga dikembangkan untuk mendukung pencapaian atlet-atlet pada ajang
kompetisi olahraga internasional, khususnya SEA Games, Asian Games, dan
Olimpiade.
Tingginya dukungan
negara terhadap olahraga membawa dampak yang menggembirakan bagi pencapaian
prestasi olahraga nasional. Pada 1956, sepak bola Indonesia berhasil menahan
imbang Uni Soviet. Selanjutnya, dalam Asian Games 1958, Indonesia berhasil
meraih posisi tiga besar. Karya monumental Soekarno di bidang olahraga ialah
berdirinya stadion yang hingga kini menjadi simbol kebanggaan nasional, yakni
Gelora Bung Karno.
Prestasi olahraga
nasional terus mengilap di era Orde Baru. Sejak 1979-1999, Indonesia sembilan
kali menjuarai SEA Games. Orde Baru juga berhasil melahirkan atlet-atlet
hebat yang mengharumkan nama Indonesia di jagat global seperti petinju Elyas
Pical dan legenda bulu tangkis seperti Rudi Hartono, Icuk Sugiarto, Lilik
Sudarwati, Susi Susanti, dan Alan Budi Kusuma.
Torehan prestasi
tersebut terhenti sejak Indonesia memasuki era reformasi. Perhatian negara
terhadap olahraga dirasakan kurang memuaskan. Presiden BJ Habibie sama sekali
tak sempat memberi perhatian terhadap olahraga karena krisis sosial-politik
dan masa kepemimpinannya teramat singkat. Presiden Abdurrahman Wahid
membubarkan Kementerian Pemuda dan Olahraga dan berlanjut ke era Presiden
Megawati Soekarnoputri. Olahraga baru mulai mendapat perhatian lagi di era
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan menghidupkan kembali Kementerian
Pemuda dan Olahraga.
Minimnya perhatian
pemerintah terhadap olahraga membawa dampak amat merugikan bagi bangsa
Indonesia. Praktis sejak 1999-2015, Indonesia kehilangan taji dalam
perhelatan olahraga internasional. Di ajang SEA Games, Indonesia kalah
tangguh dari Malaysia dan Thailand.
Di ajang Asian Games,
kondisi Indonesia lebih memprihatinkan lagi. Sebagai contoh, Asian Games XVII
di Incheon, Korea Selatan, pada 2014, Indonesia terpuruk ke posisi 17 dengan
torehan 4 emas, 5 perak, dan 11 perunggu. Kondisi itu turun dari prestasi
Asian Games 2010 di saat Indonesia berada di peringkat 15 dengan 4 emas, 9
perak, dan 13 perunggu.
Pembenahan mendasar
Kenyataan ini kiranya
menginspirasi bangsa Indonesia untuk melakukan pembenahan mendasar terhadap
kebijakan olahraga nasional. Kemauan politik yang kuat, regulasi yang jelas,
dan harmonisasi antara pemerintah, sektor swasta, dan organisasi olahraga
perlu ditingkatkan. Berbagai persoalan yang merintangi pengembangan olahraga,
seperti konflik kepentingan, politisasi, dan minimnya pendanaan, sudah
saatnya diantisipasi. Di saat bersamaan, academic
discourse dan pengetahuan olahraga harus terus dipacu guna melahirkan
gagasan-gagasan, inovasi, dan agenda-agenda konkret untuk memajukan olahraga
nasional.
Indonesia perlu
belajar dari Tiongkok yang total memberikan dukungan terhadap olahraga. Sejak
1950-an, 'Negeri Tirai Bambu' memberikan dana besar untuk memajukan olahraga.
Pada 2015 Tiongkok mengalokasikan 9,2% dana negara untuk membangun olahraga,
budaya, dan media massa. Dukungan tersebut dimaksudkan untuk membentuk
identitas nasional Tiongkok sebagai negara yang kuat, bersatu, pekerja keras,
dan selalu berpretasi, termasuk di bidang olahraga. Bersama AS dan Rusia,
Tiongkok kini menjadi superpower
karena selalu mendominasi perolehan medali di ajang Olimpiade.
Pembenahan kebijakan
olahraga nasional juga diarahkan untuk mencapai dua tujuan: pertama,
mengatasi berbagai krisis sosial yang melanda bangsa Indonesia saat ini.
Merosotnya semangat kebangsaan dan munculnya gerakan radikal seperti
terorisme serta peredaran narkoba yang kian masif merupakan akibat langsung
dari tergerusnya peran strategis olahraga sebagai pembentuk karakter bangsa.
Pemerintah memang
telah bertindak tegas terhadap tindak terorisme dan penyalahgunaan narkoba,
tetapi hal itu perlu diperkuat dengan membangun budaya olahraga. Berbagai
instansi pemerintah dan swasta, dari pusat hingga daerah, harus menerapkan
kebijakan yang mewajibkan masyarakat untuk berolahraga. Lembaga pendidikan
sudah saatnya memberi porsi besar waktu untuk pendidikan dan aktivitas
olahraga.
Hal ini efektif untuk
menyalurkan potensi anak sekaligus meminimalisasi alokasi waktu untuk
aktivitas yang menghambat perkembangan mental. Riset terbaru di Amerika
mengungkap satu dari tiga anak yang kecanduan gim video mengalami gangguan
mental seperti hiperaktif, depresi, gelisah, dan merosotnya prestasi belajar.
Kedua, Asian Games
XVIII akan digelar di Indonesia pada 2018. Momentum tersebut perlu
dimanfaatkan untuk kebangkitan olahraga nasional. Selain sukses sebagai
penyelenggara, Indonesia diharapkan mampu meraih prestasi optimal dalam
perhelatan olahraga terbesar di level Asia tersebut. Itu tentu target besar
yang hanya bisa terwujud jika pemerintah, sektor swasta, dan organisasi
olahraga mampu secara total mengabdikan seluruh karya mereka semata-mata
untuk kejayaan olahraga nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar