Perpustakaan
Putu Setia ; Pengarang;
Wartawan Senior Tempo
|
KORAN TEMPO, 02 April
2016
Romo Imam mengunjungi rumah
saya di kampung, di mana ada satu ruangan di aula untuk perpustakaan umum. Ia
memeriksa rak-rak buku seperti halnya pejabat kabupaten yang sering datang,
cuma melihat-lihat tanpa menyentuh bukunya. Romo sampai pada rak yang ada
kacanya, di sana ada deretan ensiklopedi. "Banyak yang membaca buku
ini?" tanyanya. Saya menjawab jujur: "Sudah 10 tahun saya boyong ke
Bali, tak satu pun ada yang membuka."
Romo tersenyum kaget. Saya pun
menjelaskan ihwalnya. Dulu, awal 1980-an, tatkala saya baru berkeluarga di
Yogyakarta, buku ensiklopedi itu saya beli dengan mencicil. Ada ensiklopedi
umum, ensiklopedi kesehatan dan teknologi. Saya taruh di rak yang menyekat
ruang tamu, kalau ada rapat rukun tetangga saya berharap ada yang memuji
saya. Setidaknya ada yang berkata kalau saya sudah jadi orang terpandang.
Tentu sesekali saya baca.
Begitu pula ketika diboyong ke Jakarta. Tapi kini sudah 10 tahun lebih tak
ada satu pun yang membuka, termasuk saya. "Semuanya sudah ada di Google,
bahkan lebih lengkap dan baru," kata saya. Romo lalu menuju ke rak
buku-buku budaya dan agama. "Wow, ada komik Mahabharata R.A. Kosasih,
lengkap pula. Apa anak-anak kampung ini suka?" tanyanya. Saya jawab:
"Tentu suka Romo. Tapi buku itu tak lagi disentuh. Sudah saya sediakan
flash disk dan anak-anak membaca komik itu di layar televisi LED yang besar.
Semua komik ini sudah ada dalam format pdf." Romo mengalihkan pandangan
pada sudut ruangan yang ada beberapa televisi dan komputer.
"Komputer itu dipakai
untuk download dokumen, e-book, termasuk doa-doa yang tersebar di Internet,
kalau belum ada koleksinya di sini. Lalu pengunjung meng-copy-nya ke
handphone masing-masing," kata saya. "Apa anak-anak kampung ini
punya handphone?" tanya Romo. "Waduh Romo, cucu saya yang baru
empat tahun saja sudah main iPad. Itu dia, asyik menonton Upin Ipin atau
mungkin kartun Mr Bean, meski sesekali meniru doa dalam berbagai irama,"
saya menunjuk cucu di sudut aula. "Membeli iPad atau sejenisnya, paling
menjual dua karung kopi, dan Wi-Fi di sini gratis."
Kami minum kopi luak, asli
produksi kampung. "Kalau begitu, untuk apa anggota Dewan Perwakilan
Rakyat ngotot membangun perpustakaan terbesar di Asia Tenggara? Anggaran
setengah triliun rupiah lebih," tiba-tiba Romo berseru. "Mungkin
untuk menambah tempat tidur," jawab saya.
Karena Romo melongo, saya
jelaskan, ada orang yang tak bisa tidur siang di tempat yang formal meski
mengantuk. Mereka baru bisa tidur jika di ruang rapat atau ruang sidang yang
membosankan, atau di mobil yang terkena macet, atau di pesawat terbang.
Karena itu, banyak anggota DPR yang ketiduran saat rapat paripurna yang tak
ada perdebatan lagi. Saya juga seperti itu. "Siapa tahu di ruang
perpustakaan yang besar dengan disediakan kursi yang lumayan, anggota DPR
bisa rehat dan lelap," sambung saya.
"Ah sampeyan guyu, saya
serius," Romo meneguk kopinya, dan saya menjawab: "Kalau serius,
ya, tak ada gunanya DPR membangun perpustakaan yang lebih besar dari yang
sekarang. Yang ada saja tak dimanfaatkan. Lagi pula, tren ke depan
perpustakaan itu harus digital, bukan deretan buku, melainkan deretan
komputer dan televisi yang kini sudah dilengkapi USB. Sementara pegawai
perpustakaan terus mengkonversi buku-buku tua untuk dijadikan digital dan
pengunjung bisa baca di sana atau meng-copy ke perangkatnya
masing-masing."
Romo menerawang sejenak, lalu
berkata: "Jangan-jangan anggota DPR itu gagap teknologi, kalah sama
anak-anak kampung." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar