Perpustakaan di DPR
Baharuddin Aritonang ;
Anggota DPR 1999-2004
|
REPUBLIKA, 31 Maret
2016
Saya ingin bercerita
apa adanya. Keinginan untuk membangun sebuah perpustakaan terbesar di ASEAN
oleh DPR di Kompleks Perlemen Senayan lebih baik ditangguhkan sampai segala
sesuatunya memungkinkan.
Yang pertama soal
kemanfaatannya. Yang kedua, keadaan keuangan negara yang terasa belum
memungkinkan. Selanjutnya, situasi kurang kondusif untuk melengkapi sarana
dan prasarana bagi DPR (serta dua lembaga lainnya) yang berada di kompleks
lembaga perwakilan di Senayan.
Tentang hubungan
dengan keuangan negara, di kala sulitnya sumber keuangan negara seperti
sekarang ini, yang perlu diutamakan tentu kepentingan rakyat banyak, termasuk
infrastruktur sebagaimana yang diprioritaskan pemerintah.
Lebih dari itu, yang
jauh lebih utama di kalangan DPR dan lingkungan masyarakat Senayan adalah
bagaimana mengembangkan suasana kehidupan yang lebih ilmiah. Artinya, dalam
setiap pembahasan di lembaga itu perlu didukung argumentasi lebih akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Jika suasana seperti
itu berlangsung, niscaya akan muncul kehidupan yang membutuhkan bahan bacaan.
Tradisi membaca akan berkembang. Perpustakaan pun niscaya akan ramai.
Yang terjadi justru
sebaliknya. Jarang ada wacana argumentatif dalam segala hal. Lihatlah di
dalam pembahasan undang-undang atau anggaran. Juga, pengawasan atas jalannya
pemerintahan.
Tak heran bila
sepanjang pengalaman saya menjadi anggota DPR, amat jarang
"masyarakat" Senayan mengunjungj perpustakaan di DPR. Memang, saya
menjadi penghuni kompleks tersebut pada 1999-2004, tapi saya mengunjunginya
secara teratur sampai sekarang. Kalau saya mengunjungi perpustakaan DPR yang
terletak di lantai 5 Gedung Nusantara 1, hanya ada beberapa staf yang membaca
koran. Tidak ada seorang anggota dewan pun yang mampir di situ. Dilihat dari
buku tamu dan daftar nama peminjam buku, jika ada satu dua orang terasa sudah
bersyukur.
Ketika mengakhiri masa
tugas di DPR, sebagian dari perpustakaan itu ditempatkan di lantai 1. Jadi,
di situlah saya menyerahkan beberapa buku yang saya tulis dan buku lain untuk
disumbangkan ke Perpustakaan DPR. Penyerahan itu diterima langsung oleh Ketua
DPR dan dihadiri banyak wartawan.
Tidak lama setelah
itu, perpustakaan kembali ke lantai 5, sehingga tidak terlihat oleh khalayak
ramai. Kalau perpustakaan itu ditempatkan di lantai dasar, katakanlah di
pintu masuk dekat "Pressroom", tentulah akan banyak pengunjungnya.
Kalau bukan anggota DPR dan para staf ahli yang mengunjungi, setidaknya para
wartawan atau pengunjung umum.
Sesungguhnya, itu
pulalah yang terjadi di Library of Congress di Washington DC yang dijadikan
sebagai rujukan ketika konferensi pers tentang pembangunan perpustakaan ini
bahwa perpustakaan itu tidak hanya dimanfaatkan anggota kongres, tapi juga
para ahli dan pengunjung luar. Sebagaimana perpustakaan di seantero Amerika
Serikat, di dekat pintu masuk selalu disediakan lemari atau rak tempat pamer
buku koleksi terbaru atau buku-buku unik. Buku yang dapat dipinjam dengan
izin khusus.
Terkait hal ini, saya
pernah mendapat cerita berkesan. Ketika Pak Agung Laksono (di saat itu ketua
DPR) berkunjung ke Library of Congress yang dikenal sebagai perpustakaan
terbesar di dunia, di pintu masuk pun beliau melihat pajangan buku baru yang
dipamerkan. Salah satu yang dipajang di lemari kaca itu adalah buku Ketawa
Ngakak di Senayan, Humor-Humor Anggota DPR yang saya tulis.
Apakah Anda kirim?
Tanya beliau kepada saya yang sudah menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). "Sama sekali tidak. Bisa jadi, dikirim oleh Kedubesnya di
sini!" balas saya. Ketika baru terbit, buku itu memang banyak diulas.
Bahkan, dijadikan bonus oleh majalah Reader's Digest Indonesia.
Begitulah perpustakaan
dibangun. Dan, itu sejalan dengan kebiasaan hidup masyarakatnya yang suka
membaca. Lihatlah kehidupan di sana, di berbagai tempat akan tampak orang
membaca. Kehidupan di sini justru sebaliknya. Amat jarang orang membaca.
Tradisi diskusi pun
tidak berkembang. Padahal, itulah jalan untuk beradu argumentasi, mengasah
pikiran, serta mencari titik temu dari beragam pendapat yang berbeda.
Kebiasaan ini juga tidak berlangsung di kalangan anggota DPR dan penghuni
Senayan lainnya.
Pada 17 Maret 2016
saya diundang oleh Pusat Kajian Akuntablilitas Keuangan Negara dalam acara
Diskusi Pakar tentang peningkatan dukungan keahlian bagi anggota dewan. Kata
Kepala Pusat yang mengundang, seyogianya peserta diskusi adalah para staf di
lingkungan pusat yang dibentuk setelah Badan Akuntabalitas Keuangan Negara (BAKN)
yang menjadi alat kelengkapan dewan itu dibubarkan serta para tenaga ahli
anggota dewan dan komisi di lingkungan DPR.
Jika staf pusat itu
sekitar 10, tenaga ahli dewan adalah lima orang untuk setiap satu anggota DPR
(berarti tenaga ahli anggota DPR mencapai 500 dikai lima orang) serta tenaga
ahli di komisi yang jumlahnya sekurang-kurangnya 80 orang. Tapi, Anda tahu
berapa orang yang hadir? Dari kalangan tenaga ahli yang mestinya ratusan itu,
hanya hadir tiga orang. Yang aktif berdiskusi hanya seorang, sedangkan dua
orang lagi asyik mengobrol sendiri.
Diskusi dengan topik
yang penting dan menarik begitu saja hanya datang tiga orang, berapalah yang
rajin ke perpustakaan? Padahal, ke perpustakaan bersifat pasif alias
sukarela. Jika anggota DPR dan tenaga ahli tidak tertarik untuk hal-hal yang
menyangkut ilmu pengetahuan, bagaimana mungkin perpustakaan akan dikunjungi?
Sesungguhnya, di dalam
buku saya Dari Uang Rakyat sampai Pasien Politik, Kisah-kisah anggota DPR
sudah saya tulis, bila langkah penting yang harus ditempuh anggota DPR (yang
kemudian niscaya akan menular kepada para staf ahli dan staf sekretariat DPR)
adalah memperbaiki sikap dan perilaku, khususnya dalam memandang posisisnya
sebagai wakil rakyat yang memiliki rasa tanggung jawab.
Kerangka berpikir
begitu yang membuat anggota DPR merupakan pekerjaan yang harus dilakukan di
dalam hidup keseharian. Kerjanya adalah membaca dan berpikir, menghadiri
rapat dan berdiskusi, untuk menyusun legislasi, membahas anggaran, dan
mengawasai jalannya pemerintahan. Aspeknya teramat luas, menjangkau seluruh
daerah dan rakyat di nusantara ini.
Dengan begitu,
perhatian akan terfokus ke Senayan. Di situlah titik sentral kehidupan mereka
di saat menjabat sebagai wakil rakyat. Kalaupun ada kunjungan kerja (kunker)
tetaplah menjadi bahan untuk dibahas di Senayan. Kompleks lembaga perwakilan
di Senayan itu akan menjadi rumah utama di saat menjabat.
Dengan dasar berpikir
seperti itulah akan menghargai segala sarana dan prasarana yang tersedia.
Termasuk, ruang rapat, ruang kerja, kantin, poliklinik, dan perpustakaan.
Jika Kompleks Senayan ini hanya dijadikan sebagai "tempat singgah"
secara fisik, tapi menjadi tambang penghasilan maka niscaya hasil kerja
mereka tidak akan dirasakan rakyat. Dengan begitu, rakyat akan melihat bahwa
perpustakaan megah itu tidak perlu dibangun. Karena, yang ada saja tidak
dimanfaatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar