Perdagangan Manusia ke Suriah
AM Sidqi ;
Diplomat di KBRI Damaskus,
Suriah
|
KOMPAS, 14 April
2016
Nama Sri Rahayu binti
Masdin Nur, tenaga kerja Indonesia asal Sumbawa di Suriah, mencuat ke publik
setelah berhasil diselamatkan Kedutaan Besar RI di Damaskus, Suriah, dari
”ibu kota” Negara Islam di Irak dan Suriah di Raqqah. Sri Rahayu pun telah
dipulangkan ke Tanah Air pada gelombang ke-273 repatriasi pada 28 Maret lalu.
Faktanya, Sri Rahayu
adalah satu nama dari ribuan warga negara Indonesia (WNI) yang berhasil
diselamatkan KBRI Damaskus dari Suriah. Sejak konflik bersenjata melanda
Suriah, Pemerintah Indonesia telah mengevakuasi/repatriasi besar-besaran:
12.316 WNI di Suriah dipulangkan ke Tanah Air dalam 273 gelombang.
Pemerintah pun telah
menerapkan moratorium (penghentian sementara) pengiriman TKI/penata laksana
rumah tangga (PLRT) ke Suriah sejak September 2011. Moratorium tersebut
diperkuat jadi penghentian permanen sejak 2015. Sejak penerapan moratorium
dimaksud, TKI yang dikirim ke Suriah dinyatakan sebagai korban perdagangan
manusia (tindak pidana perdagangan orang/TPPO) karena dikirim melalui cara
yang tidak prosedural dan ilegal.
Repatriasi, TPPO, dan FTF
Namun, ironisnya, di
saat rakyat Suriah mengungsi ke luar negeri akibat konflik berkepanjangan,
arus pengiriman korban TPPO berkedok penempatan TKI ke negara berbahaya ini
terus berlangsung.
Dapat dibayangkan,
pada satu sisi pemerintah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk
merepatriasi seluruh WNI/TKI dari Suriah, tetapi pada sisi lain korban
perdagangan manusia terus dikirim secara ilegal ke negara konflik ini. Sejak
pemerintah menerapkan moratorium pengiriman TKI/PLRT ke Suriah, KBRI Damaskus
telah menangani 153 kasus TPPO, dengan rincian: pada 2012 ada satu kasus; 2013
(26 kasus); 2014 (16 kasus); 2014 (85 kasus); dan hingga April 2016 sudah
tercatat 25 kasus.
Berdasarkan pengakuan
para korban dan pengamatan di lapangan, biasanya para perekrut di daerah
selalu mengiming-imingi korban dengan gaji besar untuk bekerja di Uni Emirat
Arab, Qatar, atau Oman sebagai TKI/TKW. Namun, pada kenyataannya, para korban
malah dikirim ke Suriah.
”Jalur tradisional”
pengiriman perdagangan manusia ke Suriah adalah melalui Kuala Lumpur ke
Dubai/Abu Dhabi/Doha/Muscat ke Damaskus. Mereka berangkat tanpa kontrak
resmi, tanpa prosedur, dan tanpa keahlian, sehingga kerap dianiaya majikan
dan sering ditemukan berpenyakit hepatitis, TBC, dan HIV, tetapi dipaksa
terus bekerja. Pada 2015, empat korban perdagangan manusia meninggal dunia di
Suriah karena penyakit kronis. Sementara pada Januari 2016, dua WNI korban
perdagangan manusia meninggal dunia di Suriah karena stroke dan bunuh diri.
Pada awal 2016, KBRI
Damaskus menemukan indikasi jalur baru pengiriman korban TPPO ke Suriah.
Berbeda dengan ”jalur tradisional” via negara-negara Teluk, kini ditemukan
jalur baru melalui Istanbul. Jalur Istanbul dikenal sebagai jalur Foreign
Terorist Fighter (FTF) yang akan bergabung dengan kelompok teroris di Suriah,
seperti Negara Islam di Irak dan Suriah atau Jabhat al-Nusra.
Dengan makin
bertambahnya jalur pengiriman korban perdagangan manusia ke Damaskus via
Istanbul, patut diduga terdapat pembauran pengiriman korban TPPO dengan FTF
ke Tanah Syam ini. Hal ini kian mengkhawatirkan karena sulit dibedakan antara
korban TPPO dengan FTF. Ditambah lagi, penyelamatan korban TPPO ke wilayah
yang dikuasai kelompok teroris semakin sulit dilakukan atau bahkan korban
dapat dipekerjakan sebagai budak seks.
Asimetri persepsi Indonesia-Suriah
Di mata Pemerintah
Indonesia, ”tenaga kerja” yang dikirim pasca moratorium penempatan TKI jelas
merupakan korban perdagangan manusia. Akan tetapi, Pemerintah Suriah masih
memandang korban TPPO itu merupakan ”tenaga kerja resmi” karena dikirim
dengan paspor asli Indonesia dan dibuatkan visa serta izin tinggal oleh
agen/majikannya di Suriah.
Asimetri persepsi
antara Indonesia-Suriah ini disebabkan belum terdapat kesepakatan antara
kedua negara dalam bentuk perjanjian internasional tentang pengiriman tenaga
kerja. Pada 2008, Pemerintah Indonesia secara sepihak menetapkan Suriah
sebagai negara penerima/tujuan penempatan TKI. Selanjutnya, dengan sepihak
Pemerintah Indonesia menghentikan penempatan TKI sementara (2011) dan
permanen (2015). Sebaliknya, Pemerintah Suriah secara sepihak belum mau
mencabut Indonesia dari daftar enam negara pengirim pekerja rumah tangga
(Nigeria, Indonesia, Banglades, Nepal, Sri Lanka, dan Vietnam).
Akibat dari asimetri
persepsi ini, KBRI Damaskus menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam
memenuhi pengaduan/permintaan agar korban perdagangan manusia segera
dipulangkan dari Suriah. Bagi Pemerintah Indonesia, korban TPPO harus segera
dipulangkan, tetapi Pemerintah Suriah tidak mau menerbitkan exit permit bagi
para korban sebelum ”masa kontrak”-nya selesai.
Di samping isu
terorisme, masalah nyata perlindungan WNI di tengah gejolak konflik Suriah
adalah perdagangan manusia yang sejatinya bersumber dari Tanah Air. Karena
itu, guna meneguhkan kehadiran negara, diperlukan keseriusan pencegahan
permasalahan TPPO secara komprehensif dan holistik dari hulu, sebagaimana
yang diamanahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO dan Perpres
No 69/2008 tentang Gugus Tugas Nasional Pencegahan dan Penanganan TPPO. Hal
yang tidak kalah penting, pemerintah harus kembali memulai pembicaraan
tingkat tinggi dengan Suriah untuk menuntaskan program repatriasi dan
perlindungan WNI di tengah gejolak konflik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar