Pembajakan Brahma 12
Bayu A Yulianto ;
Mengajar Sosiologi Maritim di
Fakultas Manajemen Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia
|
KOMPAS, 05 April
2016
Pembebasan para pelaut
Indonesia yang berada di kapal tunda Brahma 12 memerlukan kecermatan dan
kehati-hatian tingkat tinggi karena pelakunya merupakan kombinasi antara
perompak dan kelompok teroris. Karena Filipina merupakan negara yang
berdaulat, koordinasi dan kerja sama dengan mereka adalah sebuah keniscayaan,
karena hal yang sama bisa saja terjadi pada Indonesia.
Meski demikian, dalam
beberapa segi, aparat keamanan Pemerintah Indonesia harus tetap melakukan
upaya pengumpulan informasi yang sifatnya independen. Hal ini penting
mengingat lokasi penyanderaan awak kapal itu diduga berada di wilayah selatan
ataupun barat daya Filipina. Wilayah yang keamanannya bisa dikatakan belum
100 persen dikendalikan oleh Pemerintah Filipina. Kompleksitas permasalahan
atas kasus ini menyebabkan tidak cukup jika hanya mengandalkan rasa percaya
kepada Pemerintah Filipina. Pemerintah Indonesia harus juga memiliki
persiapan khusus untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Terorisme maritim
Setelah lama tidak
terdengar, aktivitas perompakan yang disertai pembajakan serta penyanderaan
kembali dialami oleh pelaut-pelaut Indonesia. Terakhir adalah kejadian
perompakan yang dialami MV Sinar Kudus di perairan Somalia pada 2011.
Bedanya, kejadian yang dialami oleh MV Sinar
Kudus tidak bisa digolongkan sebagai satu tindakan terorisme maritim, karena upaya
pembajakan dan penyanderaan ini motifnya murni dilatarbelakangi oleh
persoalan finansial semata, tanpa ada satu landasan perlawanan yang sifatnya
politik ideologis.
Terorisme maritim
merupakan salah satu representasi dari bentuk peperangan generasi kelima, di
mana negara menghadapi aksi teror aktor non-negara yang memiliki keterkaitan
dengan kelompok kriminal. Aksi ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
pendanaan dari kelompok teroris itu sendiri.
Dalam konteks
Indonesia, perompakan yang diduga didalangi kelompok Abu Sayyaf ini lebih
mirip dengan perompakan yang terjadi pada MT Pematang milik Pertamina pada
2004 yang dilakukan kombatan Gerakan Aceh Merdeka di perairan Sumatera Utara.
Karakteristik perompakan antara yang semata berbasis finansial dan yang
bercampur dengan aspek-aspek ideologis jelas memiliki perbedaan yang sangat
kuat.
Yang berbasis ideologi
biasanya lebih memiliki kekuatan perlawanan yang lebih militan ketimbang yang
hanya berbasis ekonomi semata. Mereka juga lebih terorganisasi dan menyerupai
aksi-aksi teror yang sering mereka lakukan. Karena arenanya di laut,
aksi-aksi mereka kerap dijuluki aksi terorisme laut atau terorisme maritim.
Secara sosiologis,
aksi penyanderaan yang diiringi dengan permintaan uang tebusan juga
menandakan bahwa dukungan pendanaan bagi kelompok Abu Sayyaf dari
simpatisannya semakin minim. Meskipun belum berhasil menumpas kelompok Abu
Sayyaf, di satu sisi hal ini membuktikan bahwa upaya Pemerintah Filipina
untuk memutus dukungan pendanaan ke kelompok tersebut tampak mulai membuahkan
hasil.
Kelompok Abu Sayyaf
sendiri memiliki sejarah cukup panjang terkait aksi-aksi terorisme maritim.
Peledakan kapal penumpang Superferry 14 pada 2004 di Teluk Manila, pengeboman
MV Doulos pada 1991 di Zamboanga City, serta aksi-aksi penculikan turis asing
di resor-resor wisata pantai di wilayah Filipina selatan dengan menggunakan
kapal-kapal cepat membuktikan bahwa aksi terorisme maritim memang memiliki
akar pada kelompok ini.
Meski kejadiannya
sama-sama berada di luar wilayah Indonesia, konteks politik pembajakan MV
Sinar Kudus dengan Brahma 12 sangat berbeda. Pertama, karena Somalia termasuk
kategori negara gagal yang pemerintahan nasionalnya bisa dikatakan sama
sekali tak berfungsi, sedangkan Filipina negara berdaulat dan seperti
Indonesia, sama-sama anggota ASEAN.
Dalam konteks ini,
pendekatan politik relevan untuk dikedepankan, meski penggunaan pendekatan
keamanan juga tetap harus disiapkan skenarionya dengan lebih matang.
Terlebih, urusan perompakan memiliki dimensi geopolitik yang cukup besar,
karena biasanya hal ini tidak hanya menyangkut kepentingan satu negara saja,
melainkan banyak negara, baik itu negara pemilik kapal, negara awak kapal,
negara pemilik barang, negara tujuan barang, maupun negara tempat aksi
perompakan berlangsung. Memastikan kepentingan setiap pihak terjaga adalah
salah satu persoalan yang harus bisa dikelola dengan baik dalam kerangka
manajemen krisis pembajakan kapal.
Tak perlu tebusan
Pelajaran berharga
dari penyelamatan sandera MV Sinar Kudus adalah kenyataan bahwa, di luar
kendali Pemerintah Indonesia, pihak pemilik kapal dan pemilik barang
melakukan upaya pembayaran uang tebusan yang diminta para perompak. Hal ini
sedikit banyak telah mencederai kehendak Indonesia untuk tidak berkompromi terhadap
aksi-aksi yang mengancam keamanan warganya.
Untuk itu ada baiknya,
dalam konteks pembajakan Brahma 12 ini, Pemerintah Indonesia menegaskan untuk
tidak akan menggunakan opsi pembayaran tebusan bagi para sandera.
Pertama, karena tidak
ada jaminan sama sekali dari para perompak bahwa setelah uang tebusan
diterima para sandera akan dibebaskan. Kedua, pemberian uang tebusan hanya
akan menjadi preseden buruk di mata dunia internasional, bahwa Indonesia
bersikap toleran terhadap aksi-aksi terorisme.
Ketiga, pembayaran
uang tebusan akan memperkuat basis finansial kelompok Abu Sayyaf yang secara
genealogis memiliki keterkaitan dengan jaringan terorisme Asia Tenggara
lainnya termasuk yang berada di Indonesia. Kelima, pembayaran tebusan bukan
tak mungkin menginspirasi aksi teror serupa di masa depan.
Selain upaya politik,
terbuka kemungkinan melakukan operasi militer selain perang yang dilakukan
oleh TNI dengan catatan hal itu mendapat persetujuan dari Pemerintah
Filipina. Operasi ini bisa saja dilakukan bersama-sama dengan otoritas
terkait di Filipina. Bagi Indonesia operasi ini ditujukan untuk membebaskan
sandera, sementara bagi Filipina bisa dijadikan jalan untuk masuk ke jantung
pertahanan kelompok Abu Sayyaf.
Di masa depan,
Pemerintah Indonesia perlu mendorong adanya forum dialog yang lebih intensif
di ASEAN terkait upaya penanggulangan aksi-aksi perompakan dan terorisme
maritim yang terjadi di perairan Asia Tenggara. Patroli bersama dan
pertukaran informasi yang telah sukses dijalankan oleh angkatan laut empat
negara di Selat Malaka dalam menekan aksi-aksi perompakan juga bisa
diterapkan di perairan sekitar Laut Tiongkok Selatan yang masuk wilayah
Indonesia, Vietnam, Filipina, Kamboja, dan Thailand.
Antisipasi jangka
panjang lainnya adalah membuka kemungkinan Indonesia untuk menandatangani
konvensi internasional terkait dengan keselamatan navigasi maritim (Convention on Supression of Unlawful Act
of Violence Against the Safety of Maritime Navigation). Dibandingkan
dengan UNCLOS, konvensi ini lebih detail dalam mengatur dan menangani
aksi-aksi perompakan di atas kapal. Ratifikasi aturan ini cukup penting
karena kita tidak pernah tahu kapan dan di mana aksi perompakan dan
pembajakan kapal bisa dialami oleh para pelaut kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar