Membaca Sumber (Ketidak)Waras(an)
Refly Harun ;
Praktisi; Dosen Hukum
Tatanegara di Program Pascasarjana UGM
|
MEDIA INDONESIA,
18 April 2016
SIAPA yang benar siapa
salah? Siapa yang menang siapa yang akan kalah? Akhirnya, siapa yang waras dan siapa yang
tidak waras?
Pertanyaan-pertanyaan
ini penting dikemukakan saat mengkaji masalah pembelian lahan RS Sumber Waras
oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (Pemprov DKI).
Pembelian ini telah
memicu pro dan kontra antara Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK menilai pembelian lahan RS Sumber Waras
telah merugikan keuangan negara karena tidak didasarkan pada nilai jual objek
pajak (NJOP) yang sebenarnya. NJOP yang digunakan Pemprov DKI ialah NJOP
lokasi tanah dengan alamat di jalan utama (Jalan Kyai Tapa). Nilainya memang
tidak tanggung-tanggung, Rp 20,755 juta meter persegi berdasarkan penghitungan NJOP 2014.
Versi BPK berbeda dan
sangat jauh perbedaan angkanya. Versi BPK, NJOP yang seharusnya digunakan
ialah NJOP dengan lokasi di Jalan Tomang Utara, yang notabene bukan jalan
utama, senilai Rp7 juta per meter persegi menurut NJOP 2013. Dengan perbedaan
patokan NJOP ini, sudah tentu terjadi disparitas luar biasa antara
penghitungan Pemprov DKI dan BPK. Terlebih bila diterjemahkan ke dalam luas
tanah yang lebih dari 36 ribu meter persegi.
Tiga dimensi
Membaca sengkarut
lahan Sumber Waras setidaknya ada tiga dimensi yang layak diuji, yaitu
dimensi teknis-administratif, dimensi pidana, dan yang tidak kalah pentingnya
dimensi politik. Secara teknis-administratif, soal ini seharusnya lebih mudah
diklarifikasi, tinggal dilihat di mana letak alamat lahan tersebut. Menurut
dokumen yang beredar, yang juga dikatakan Ahok, lahan beralamat di Jalan Kyai
Tapa, yang tidak lain ialah jalan arteri (utama). Saat bertemu dengan salah
seorang staf Ahok beberapa bulan lalu sebelum kasus ini meledak seperti
sekarang, saya pernah diberi tahu bahwa Pemprov DKI tak akan membeli tanah
tersebut bila tidak ada akses ke Jalan Kyai Tapa. Sebab, bila aksesnya ke
Jalan Tomang Utara, hal itu tak ada gunanya karena hanya akses ke
perkampungan penduduk.
Pesoalannya, mengapa
BPK kemudian memiliki kesimpulan sendiri bahwa NJOP yang harus digunakan
ialah NJOP Jalan Tomang Utara, yang memang jauh lebih murah jika dibandingkan
dengan NJOP Jalan Kyai Tapa? Apakah ketika melakukan pemeriksaan BPK tidak
melihat alamat yang tertera di atas lahan tersebut ialah alamat di Jalan Kyai
Tapa?
Selain itu, siapa yang
sebenarnya berhak menentukan NJOP suatu lokasi, apakah BPK? Apakah Pemprov
DKI? Sependek pengetahuan dan
informasi yang saya peroleh, yang tidak mendalami soal-soal administrasi
perpajakan, penetapan NJOP ialah kewenangan Pemprov DKI via Kepala Dinas
Perpajakan.
Kengototan BPK untuk
menyatakan NJOP yang seharusnya digunakan ialah di Jalan Tomang Utara dan
menyimpulkan telah terjadi kerugian negara yang berjumlah ratusan miliar
tentu mengundang pertanyaan besar tentang motif di balik itu. Apakah BPK
bekerja secara profesional ataukah berdasarkan pesanan-pesanan tertentu.
Dimensi pidana
Motif BPK tersebut
menjadi penting untuk melihat dimensi kedua, yaitu soal dimensi pidana. Kerugian
negara ialah salah satu unsur dari tindak pidana korupsi, selain unsur
melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan dan unsur memperkaya diri
sendiri atau orang lain. Sekadar terpenuhinya unsur tindak pidana, mudah
sekali menjerat seseorang sebagai tersangka korupsi.
Andai bisa ditemukan
prosedur menyimpang, salah, atau tidak benar dalam proses pembelian lahan RS
Sumber Waras, unsur melawan hukum sangat mungkin terpenuhi. Bila unsur
melawan hukum terpenuhi, unsur memperkaya setidak-tidaknya orang lain pasti
juga terpenuhi. Demikian pula dengan unsur merugikan keuangan negara, sudah
pasti juga akan terpenuhi karena tidak perlu actual loss (kerugian
senyatanya), tetapi cukup potential
loss (kerugian potensial).
Bila penegak hukum mau
maju selangkah dengan teori pemenuhan unsur-unsur tersebut, mudah sekali
menjadikan Ahok sebagai tersangka.
Perkara apakah Ahok
memang melakukan tindak pidana korupsi atau tidak biarlah menjadi pekerjaan
pengadilan nantinya. Itu pun pengadilan sendiri belum tentu bertindak lurus
dan benar.
Bila perspektif
tersebut yang digunakan penegak hukum nantinya untuk menyelesaikan masalah
lahan Sumber Waras, negara ini sudah sangat salah arah dalam menebaskan
pedang keadilan. Pedang hukum bukan menebas pejabat-pejabat yang korup dan
memang jahat, tetapi sekadar mencari mereka yang bersalah secara
administratif. Dengan catatan, kesalahan administratif itu sendiri sering
bukan karena kesengajaan, melainkan karena tumpang-tindihnya aturan.
Dimensi politik
Dalam konteks seperti
ini, dimensi ketiga dari masalah Sumber Waras menjadi penting, yaitu dimensi
politik. Pada Februari 2017 akan digelar perhelatan pemilihan kepada daerah
(pilkada) serentak gelombang kedua.
DKI ialah salah satu
provinsi yang akan menggelar pemilihan gubernur.
Berdasarkan beberapa
survei, antara lain survei yang pernah dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Ahok masih
menjadi yang terdepan dalam Pilkada DKI 2017.
Saat ini sudah mulai
bermunculan nama-nama yang bakal menjadi penantang Ahok. Mulai pakar hukum
tata negara Yusril Ihza Mahendra, pengusaha Sandiaga Uno, mantan menteri
Adhiyaksa Dault, hingga artis Ahmad Dhani. Kendati nama-nama itu sudah sangat
kondang, sama terkenalnya dengan Ahok, mereka nyatanya belum bisa menggoyang
Ahok sebagai kandidat terkuat pemenang Pilkada DKI 2017. Ada kecenderungan
Ahok dikeroyok. Terlebih sikap Ahok yang sedari awal mengatakan akan maju
melalui jalur independen atau perseorangan.
Saat ini, Teman Ahok,
sukarelawan pendukung Ahok untuk maju sebagai calon Gubernur DKI Periode
2017-2022, sudah mengumpulkan lebih dari 500 ribu tanda tangan warga DKI,
syarat yang dibutuhkan untuk maju sebagai calon perseorangan. Selagi
calon-calon lain masih bingung untuk mencari kereta yang akan membawa mereka
ke pencalonan, Ahok sudah mantap maju sebagai calon melalui jalur
perseorangan itu.
Namun, geliat Ahok
yang didukung Teman Ahok bukan tanpa hadangan. Kalangan DPR sudah mewacanakan
untuk memperberat persentase calon perseorangan, dari sebelumnya antara
6,5$-10% menjadi angka yang kurang lebih serupa dengan persentase yang
diperlukan parpol.
Saat ini untuk maju
sebagai calon dari jalur parpol dibutuhkan dukungan 20% kursi atau 25% suara
dalam pemilu legislatif sebelumnya. Ada wacana untuk mengurangi persentase
itu menjadi 15-20%, yaitu 15% kursi dan 20% suara.
Logika yang berkembang
kemudian, bila persentase syarat dukungan parpol menjadi 15%-20%, sebesar itu
pula seharusnya dukungan bagi calon perseorangan. Syarat tersebut terbilang
tidak masuk akal karena akan membunuh calon independen. Hampir muskil calon
independen dapat memenuhi angka yang sedemikian besar, terutama di
daerah-daerah yang penduduknya terbilang banyak seperti DKI.
Walaupun dibantah
sana-sini oleh politisi di DPR, sulit dibantah wacana menaikkan persentase
dukungan calon perseorangan itu terkait dengan geliat Ahok. Sebab, sebelum
wacana menaikkan persentase itu muncul, ada diskursus tentang deparpolisasi.
Beberapa tokoh partai merasa calon perseorangan merusak sistem kepartaian dan
menjauhkan masyarakat dari partai dalam konteks politik Indonesia.
Ada pembonceng?
Jika dikaitkan dengan
dimensi politik tersebut, apakah kasus Sumber Waras memang sengaja digoreng
atau menggiring Ahok ke status tersangka? Kita memang tidak boleh menjerat
BPK dengan spekulasi itu.
Namun, perlu juga
diingatkan BPK juga tidak boleh menyodorkan diri menjadi kuda troya
kepentingan politik dari siapa pun atau partai apa pun.
Model pengisian
anggota BPK yang selama ini membolehkan calon-calon dari parpol, bahkan
menjadikan keanggotaan BPK menjadi bancakan politisi yang tidak terpilih
dalam pemilu, sudah seharusnya ditinjau ulang.
Anggota BPK seharusnya
bersih dari orang-orang partai. Kalaupun ada yang berasal dari partai,
setidaknya harus sudah pensiun selama lima tahun terakhir sebelum menjadi
anggota BPK. Syarat yang sama hendaknya berlaku pula dengan keanggotaan di
lembaga-lembaga nonpolitik lainnya, seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi
Yudisial (KY), Mahkamah Agung (MA), dan bermacam-macam lembaga independen
lainnya yang sering disebut sebagai state
auxiliary agency.
Karier politik seorang
politisi terbentang luas mulai jabatan sebagai presiden/wakil presiden, para
menteri, para pembantu presiden lainnya, anggota DPR, anggota DPD, gubernur,
bupati/walikota, hingga puluhan ribu kursi anggota DPRD baik di provinsi
maupun di kabupaten/kota. Sudah seharusnya lembaga-lembaga nonpolitik seperti
BPK diisi orang-orang profesional yang tidak berpolitik dan berafiliasi
dengan kekuatan politik apa pun.
Tulisan ini menjadi
tidak adil bila tidak pula mengkritik atau memberikan masukan kepada Ahok. Kepada
Ahok, sederhana saja, bila Anda memang tidak melakukan korupsi, tidak
kongkalikong (misalnya, melancarkan bisnis etnik Tionghoa yang kadang secara
spekulatif sering saya dengar), masyarakat pasti tetap akan mendukung. Di
negeri yang tingkat korupsinya masih tinggi ini, pemimpin lurus dan bersih
pasti tidak disukai. Saya berharap, seperti banyak dipersepsi, Anda tetap
lurus dan bersih dan (kalau bisa) kurangi sedikit emosi. Mudah-mudahan Anda
tetap menjadi 'sumber waras' bukan 'sumber ketidakwarasan'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar