Kita Butuh UU Buku, Bukan Perpus DPR
Muhidin M Dahlan ; Pendiri
@radiobuku; Tinggal di Jogjakarta
|
JAWA POS, 30 Maret
2016
KITA selalu memberikan
apresiasi kepada semua kalangan untuk memajukan dunia literasi di Indonesia.
Termasuk anggota parlemen dengan impian spektakuler: membangun perpustakaan
DPR termegah se-Asia Tenggara.
Saya selalu memuji website
dpr.go.id, terutama saat mereka mengunggah edisi daring (dalam jaringan)
seluruh produk staatsblad sejak Indonesia merdeka (1945) hingga kini. Itu
pekerjaan luar biasa maju. Rupanya, membangun dokumen raksasa via daring tak
cukup bagi legislator pengesah anggaran apa pun dari eksekutif itu.
Jika angan-angan punya gedung
sendiri sejak satu dekade silam selalu mentok karena ditolak rakyat banyak,
kini DPR meniti jalan memutar dan terkesan mulia: bangun perpustakaan
termegah.
Sudah tersedia site plan?
Itu tak terlalu penting. Namun,
angan-angan memiliki infrastruktur bangunan baru saya catat sebagai impian
laten DPR. Dengan mengendarai buku dan bangunan sucinya, mereka berharap
masyarakat berbondong-bondong memberikan dukungan. Hasil akhir: Citra DPR
bisa terkerek.
Sampai di sini, DPR alih-alih
mendapatkan simpati, malah melakukan blunder. Apalagi, alasan yang diberikan
salah seorang pimpinan legislator, Fahri Hamzah, menggelikan. Yaitu,
perpustakaan DPR sebagai upaya mengembalikan anak-anak remaja dari gadget ke
buku. Padahal, di antara mereka yang tiap hari muncul di televisi, tak
seorang pun yang mengepit buku, hatta seeksemplar novel pop.
Blunder itu makin terlihat saat
kita memperhadapkan impian "termegah" tersebut dengan Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia (PNRI). Mestinya, jika mau, DPR mendorong secara
maksimal sesuai kewenangannya "mengintervensi" anggaran PNRI untuk
menjadi perpustakaan terlengkap, termegah, ternyaman, terkreatif se-Asia.
PNRI adalah representasi terdepan bagaimana negara menghormati buku dan
kultur merawatnya.
Mestinya DPR kembali ke fungsi
utamanya jika memang ngotot "bermain" di dunia buku. Sebagai
penggodok dan pengesah staatsblad, mestinya insan-insan DPR kolektor buku
semacam Fadli Zon mendorong lahirnya UU perbukuan nasional.
Mestinya mereka juga tahu,
sudah lebih dari satu dekade rencana undang-undang itu mangkrak sebagai draf.
Godoklah undang-undang buku yang mampu mengawal dan mengantisipasi perubahan
zaman hingga satu abad ke depan.
Kalaupun ngotot memiliki
perpustakaan, buatlah pusat data daring raksasa untuk menampung seluruh
database kegiatan parlemen sehingga mudah dan cepat diakses masyarakat. Jika
hanya soal itu, mudah.
Tak perlu infrastruktur
miliaran rupiah dihabiskan. Yang diperlukan adalah server tanpa batas. Untuk
menyimpan server, tak perlu juga sok bangun gedung bertingkat-tingkat.
Pasrahkan saja di gedung cyber atau server kepunyaan negara yang dijaga
secara ketat oleh ahli cyber.
Sebab, memang menjadi lain jika
infrastruktur yang menjadi incaran DPR untuk direalisasikan di kompleks
Senayan. Namun, lagi-lagi infrastruktur perpustakaan itu irelevan.
Sebab, yang mendesak
diperjuangkan DPR hingga tetes keringat dan urat malu penghabisan adalah
sebuah gedung baru yang representatif. Sebab, gedung yang mereka tempati saat
ini pada awalnya dibangun bukan untuk parlemen. Melainkan untuk kegiatan
olahraga, untuk sport, untuk Ganefo.
Yang lebih masuk akal adalah
membuat banyak taman bermain jika ada kunjungan anak-anak TK dan siswa SD
serta ruang olahraga yang terbuka maupun tertutup. Banyak duduk, terpapar
udara pendingin, tapi jarang sport bisa membikin tubuh menjadi layu. Tubuh
yang layu dan darah yang mampat tak baik untuk modal bersidang dan
bersitegang.
Kita berharap DPR secepatnya
mencopot mimpi mulianya itu. Biarlah mimpi perpustakaan terlengkap, termegah,
ternyaman, dan terkreatif se-Asia menjadi domain PNRI, yang merupakan
representasi perpustakaan negara dan kebanggaan rakyat Indonesia.
Jika DPR tetap keukeuh kerjaan
mereka dilihat dan dibaca hingga tiga milenium ke depan, join saja dengan
PNRI atau Arsip Nasional. Buat satu ruang tersendiri yang terdiri atas ribuan
loker nama-nama anggota DPR dan dokumentasi kerja mereka di pelbagai media
dalam bentuk teks berita, video, foto, pin, dan plakat.
Untuk bisa demikian, komisi
terkait cukup memanggil ketua PNRI. Tanyakan berapa dana yang dibutuhkan
untuk menjadi terlengkap, termegah, ternyaman, dan terkreatif se-Asia!
Sungguh, PNRI butuh DPR untuk mewujudkan itu.
Sederhana sekali, bukan!? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar